BUS PENYELAMAT - PART 32

 Pagi sudah tiba. Sang matahari terbit dengan cahaya terindahnya di ufuk timur. Satu dua burung-burung mulai terdengar berkicau riang dari atas pepohonan, seakan tak peduli dengan kondisi Meri dan Sindi yang pada saat itu masih juga dilanda badai yang dahsyat.

Bus Penyelamat Part 32


Sudah lebih dari setengah jam waktu berlalu, satu dua warga mulai berdatangan dan kemudian berkumpul di depan rumah Buk Tiah, termasuk juga dengan Pak Karay sang Kepala desa. Saat jalan dan halaman depan rumah Buk Tiah sudah ramai dipenuhi oleh para warga yang terus berdatangan, maka Buyung pun segera maju ke tengah-tengah mereka untuk memberikan sebuah pengumuman. Dia berdiri dan kemudian berbicara dalam bahasa setempat dengan sesekali memainkan tangannya. Meri dan Sindi hanya duduk dalam keadaan lesu melihatnya dari atas balkon rumah sambil berharap emoga teman mereka itu dalam keadaan baik-baik saja. Pak Karay menemui mereka berdua ke atas balkon, beliau menyuruh mereka berdua untuk beristirahat dan menyuruh mereka untuk tidak mencemaskan teman mereka tersebut, beliau juga berjanji akan segera menemukan Irma secepatnya. Setelah itu, pencarian itu pun mulai dilakukan.

Suasana rumah Buk Tiah saat itu sungguh begitu tenang dan juga sepi. Buk Tiah dan semua orang yang ada di sana pergi berpencar untuk mencari Irma. Tidak ada orang lain yang berada di sana selain dari pada mereka berdua. “Sindi.. Bagaimana? Jika kau ingin melakukan semua rencana itu, mungkin inilah waktu yang paling tepat untuk kita memulainya.” Meri menanyai Sindi yang pada saat itu masih terdiam dengan wajah yang bingung.

“Entahlah, aku tidak tahu, Meri. Entah mengapa tiba-tiba saja saat ini aku merasakan seluruh isi kepala dan hatiku ini berubah total.” Sindi masih terdiam dalam tatapan kosong menghadap ke halaman rumah. “Apa maksudmu, Sindi?” Meri tampak sungguh kaget setelah mendengar ucapan Sindi yang terdengar begitu aneh tersebut.

“Iya, aku sungguh begitu bingung, Meri. Aku bingung karena tidak bisa membedakan siapakah yang harus aku percayai. Mereka semua tiba-tiba terlihat baik di mataku, baik itu Buyung, Buk Tiah dan semua warga desa yang ada di sini. Lihatlah mereka, betapa mereka sungguh begitu tulus membantu kita berdua untuk mencari Irma yang sampai pada saat ini belum juga ditemukan. Bukankah mereka semua itu adalah orang-orang yang baik? Lalu mengapa kita harus takut kepada orang baik?” Sindi meluahkan isi hatinya.

“Mengapa kita harus percaya dengan semua ucapan yang dikatakan oleh Paman Tanjo dan keluarganya yang aneh itu? Bukankah kita belum mengenal mereka dengan baik? Sepertinya tidak, kita baru saja mengenal mereka dalam beberapa hari terakhir ini. Akan tetapi lihatlah Buyung, Ole, dan juga Buk Tiah, aku dan kita semua telah lama mengenal mereka. Bukankah mereka lebih pantut dan juga pantas untuk kita pecayai, bukan?” Sindi kembali mengungkapkan isi hatinya itu pada Meri. Wajahnya benar-benar tampak sungguh begitu murung, semurung hati dan akalnya yang saat ini dilanda oleh sebuah dilema yang besar.

Mendengar semua ucapan temannya itu, Meri pun terdiam menutup mulutnya. Ia terdiam untuk kembali memikirkan semuanya dengan baik menggunakan akal sehatnya. Ia mengenang setiap kejadian dan momen yang ia lihat dengan mata dan kepalanya, baik itu tentang Buyung, Ole, Buk Tiah, maupun Tanjo dan keluarganya yang lain. Sejauh ini, tampaknya ia juga sependapat dengan Sindi, bahwa Buyung dan seluruh warga lebih pantas untuk mereka percayai daripada Tanjo dan keluarganya. Akan tetapi ada sebuah hal yang membuat hatinya merasa tidak nyaman, yaitu saat mengenang kejadian yang terjadi di beberapa malam yang lalu. Saat itu Buyung dengan lancangnya masuk ke dalam kamar mereka dan kemudian meraba-raba tubuh mereka dengan seenaknya, itulah yang membuat hati Meri terbalik dan tidak setuju dengan perkataan Sindi tersebut.

“Tidak, Meri! Kau harus membuka kembali hatimu itu. Aku tahu saat ini kau sedang bingung dan bimbang untuk menentukan pendirian hatimu itu. Ketahuilah, Sindi, saat ini pikiranmu itu sedang kacau karena sebuah kebaikan mereka yang tadinya kau lihat itu-padahal kau belum tahu apakah mereka semua benar-benar sedang membantu kita untuk menemukan Irma dan ataukah sebaliknya ternyata semua ini hanyalah setingan belaka untuk menjebak dan juga menipu kita berdua?” Meri membantah semua ucapan temannya itu. Ia mencoba untuk kembali menyadarkan Sindi yang menurutnya sedang tidak baik-baik saja.

“Bagaimana mungkin kau bisa berkata demikian? Apakah kau punya bukti bahwa Buyung dan semua warga desa ini bukan orang yang baik? Lihatlah apa yang mereka lakukan pada kita, mereka menolong kita untuk menemukan Irma. Jika kau masih tak percaya dengan Buyung dan para warga yang lain, coba kau ingat Rame dan ayahnya itu tadi malam. Bukankah mereka juga membantu kita untuk mecari Irma di malam tadi? Padahal malam tadi itu sudah larut dan mungkin mereka semua masih begitu ngantuk, akan tetapi mengapa mereka juga mau membantu kita? Bukankah itu adalah sebuah ketulusan? Apakah kau masih juga bersikeras menganggap bahwa itu semua adalah setingan? Bagaimana mungkin mereka bisa mengatur semuanya dengan begitu rapi seperti ini? Coba tanyakan kembali pada hatimu itu, Meri” Nada suara Sindi terdengar meninggi dan tidak seperti biasanya ketika ia mengucapkan semua kalimat tersebut. Sepertinya ia agak emosi, begitulah perkiraan Meri. Meri pun tak mau berkomentar, ia memutuskan untuk diam dan mengalah.

“Baiklah, Sindi. Aku aku percaya padamu” Wajah Meri tampak sedikit memerah. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin dia katakan, akan tetapi melihat reaksi temannya itu yang begitu sensitif tersebut, akhirnya dia pun terpaksa memendam semuanya. Dalam beberapa menit kemudian, suasana di rumah Buk Tiah berubah menjadi semakin dingin dan senyap.

“Sindi, bagaimana kalau paman Tanjo dan Nenek tua itu membohongi kita? Jika benar demikian, lalu apakah tujuan dan juga keuntungan yang mereka dapatkan? Bagaimana menurutmu?” Meri berusaha untuk mencairkan kembali suasana yang sudah terasa semakin beku itu.

Sindi masih terdiam selama beberapa saat. Goresan murung di wajahnya itu perlahan-lahan mulai lenyap. “Benar, jika mereka membohongi kita, lalu pertanyaanya adalah untuk apakah mereka membohongi kita? Apakah keuntungan yang mereka dapatkan?” Sindi kini juga tampak sedang berpikir untuk menemukan jawabannya.  Dua orang sekawan itu masih terdiam dan tenggelam dalam imajinasi mereka.

“Bagaimana jika semua cerita Buyung itu memang benar? Bahwa Tanjo dan keluarganya itu adalah keluarga penyihir yang jahat?” Meri berusaha untuk membongkar isi kepala temannya itu. Sindi pun segera membuka suaranya setelah mendengar ucapan temannya itu. “Tidak, itu tidak mungkin. Menurutku Tanjo dan keluarganya itu bukanlah keluarga penyihir ataupun keluarga yang jahat” ujar Sindi membantah ucapan Meri. Mendengar ucapan temannya itu, Meri pun merasa lega. Ia merasa seakan-akan menemukan sebuah celah kecil untuk kembali meluruskan pikiran temannya itu.

“Jika mereka itu bukan orang yang jahat dan bukan juga keluarga penyihir, lalu untuk apakah mereka membohongi kita? Apakah mereka akan mendapatkan keuntungan? Menurutku mereka tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun. Jika seandainya pun mereka itu adalah keluarga penyihir yang jahat, lantas untuk apakah mereka menyuruh kita semua pergi secepatnya dari desa ini sebelum malam bulan purnama yang ke tujuh belas? Menurutku, jika mereka adalah keluarga penyihir dan juga orang yang jahat, pastilah mereka dapat dengan mudah menyihir dan juga menangkap kita saat kita berada di rumah mereka di hari kemarin, bukan? Menurutku mereka adalah orang-orang yang baik, mereka berusaha untuk membantu kita agar kita semua dapat selamat dari marabahaya yang akan segera datang menimpa kita” Meri menatap mata temannya itu dalam tatapan yang dalam. Ia berusaha untuk masuk ke dalam hati dan pikirannya.

“Benar, mereka tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun.” Akhirnya Sindi pun setuju dengan ucapan Meri. Saat itulah Meri kembali mengeluarkan kata-kata mutiaranya itu. “Sindi, coba dengarkan aku, sebentar. Apakah kau tidak ingat dengan semua kejanggalan yang telah kita lihat di beberapa malam yang terakhir ini? Bukankah Buyung dan semua teman-temannya itu sungguh begitu kejam dan tidak punya hati nurani sedikit pun ketika mereka membantai anjing-anjing yang tidak bersalah itu? Mereka dengan bangganya meneguk darah anjing-anjing itu tanpa sedikit pun rasa jijik. Coba kau pikirkan baik-baik dengan otakmu yang cerdas itu, bagaimana mungkin mereka menjadikan darah dan air pencuci daging sebagai pupuk untuk menyuburkan tanaman? Bukankah itu adalah sebuah hal yang janggal dan tidak masuk akal? Bahkan di malam itu saat kalian berdua tidur, dengan mata dan kepala ini aku melihat Buyung berdiri di depan pintu dan kemudian masuk ke dalam kamar lalu meraba-raba tubuh Irma, kau dan juga aku. Coba kau renungkan sikap Buk Tiah kemarin sore yang begitu emosional meneriaki kita bertiga saat pulang dari rumah Paman Tanjo? Bagaimanakah menurutmu? Apakah mereka semua pantas untuk kita percayai?” Meri masih tak mau beranjak dari bola mata temannya itu.

Sindi segera memalingkan wajahnya, dan kemudian mengangkat kepalanya jauh ke langit untuk memikirkan semua ucapan temannya itu. Tak lama kemudian, Sindi pun mengangguk. “Benar, mereka semua tak pantas untuk dipercayai” Sindi tiada henti menganggukkan kepalanya. Kini, wajah murungnya itu benar-benar telah menghilang. Mereka berdua kembali mengatur rencana yang sebelumnya sempat tertunda itu.

Penulis : Zain Losta Masta

PART 1       PART 2     PART 3     PART 4

PART 5       PART 6     PART 7     PART 8

PART 9       PART 10   PART 11   PART 12 

PART 13     PART 14   PART 15   PART 16

PART 17     PART 18   PART 19   PART 20

PART 21     PART 22   PART 23   PART 24

PART 25     PART 26   PART 27   PART 28 

PART 29     PART 30   PART 31   PART 32 

PART 33     PART 34   PART 35   PART 36

PART 37     PART 38   PART 39   PART 40

PART 41     PART 42   PART 43   PART 44

PART 45     PART 46   PART 47   PART 48

PART 49     PART 50   PART 51   PART 52

PART 53     PART 54   PART 55   PART 56

PART 57     PART 58   PART 59   PART 60

PART 61     PART 62   PART 63   PART 64

PART 65     PART 66   PART 67   PART 68

PART 69     PART 70   PART 71   PART 72 

PART 73     PART 74   PART 75   PART 76

PART 77     PART 78   PART 79   PART 80

PART 81     PART 82   PART 83   PART 84

PART 85     PART 86   PART 87   PART 88

PART 89     PART 90   PART 91   PART 92

PART 93     PART 94    PART 95


LIHAT CERITA LAINNYA




Comments

Popular posts from this blog

ISIM MUFRAD, MUTSANNA, DAN JAMAK

Kisah pertarungan burung srigunting vs elang siraja udara

TERNYATA KEBERADAAN TEMBOK YA'JUJ WA MA'JUJ ADA DI....