BUS PENYELAMAT - PART 27
Waktu terasa berputar dengan begitu pelan. Angin malam di luar sana masih berdesis meniupi daun-daunan yang rimbun. Pintu depan terus berdendang digedor-gedor oleh Buk Tiah yang sepertinya sudah tidak sabaran lagi ingin segera masuk ke dalam rumah. Tidak mau berlama-lama dan menimbulkan masalah yang baru, Sindi pun segera membukannya.
“Huuuuhhhhhff” Suara angin malam yang bertiup masuk ke dalam ruangan. Tidak ada siapapun yang berada di luar sana. Balkon depan tampak kosong. Halaman depan juga lengang. Sekujur bulu kuduk Sindi langsung berdiri tegak. Ia segera kambali masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Sebelum ia menutup pintu, tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang aneh. Ternyata kayu jemuran di balkon rumah sudah terlepas dari talinya, sehingga membuatnya terhuyung-huyung ditiup oleh angin dan kemudian menghantam pintu depan. Ternyata kayu itulah yang menggedor-gedor pintu rumah sejak tadi. Sindi menarik nafas yang dalam setelah mengetahui hal tersebut. Setelah itu ia pun segera kembali menutup pintu masuk ke dalam kamar.
Meri masih berdiri mematung di depan pintu untuk menunggu penjelasan dari Sindi. Ia mengangkat kepala dan menaikkan alis matanya menanyai Sindi tentang hal tersebut. “Gak ada apa-apa. Ternyata itu adalah suara kayu jemuran yang sudah terlepas talinya, kemudian tertiup angin sehingga menghantam pintu rumah. Jangan khawatir, aku sudah mengikatnya dengan teguh” Sindi segera berlalu masuk ke dalam kamar. Meri menyusul dari belakang.
“Sindi, aku sudah tidak kuat lagi berada di sini. Pokoknya besok kita harus segera pulang” Irma menggerutu sambil menangis. Semua cerita yang telah ia dengar dan semua kejadian yang telah terjadi di hari itu benar-benar membuat kondisi Irma menjadi berubah drastis. Wajahnya tampak begitu pucat. Ia diselimuti oleh rasa takut yang luar biasa.
“Iya, aku janji, pokoknya besok kita akan pulang dengan selamat. Kamu jangan takut lagi, ya. Tidurlah, istirahatkan dirimu, aku tahu kau sudah lelah” Sindi memeluk temannya itu dengan begitu erat. Ia berjanji di dalam hatinya, bagaimanapun caranya ia harus berhasil membawa mereka semua keluar dari desa tersebut, karena dialah yang telah membuat kedua temannya itu terjebak di dalam desa yang suram itu.
“Pukul berapa kita akan memulai semua rencana ini?” Tanya Sindi pada Meri. Kali ini raut muka Sindi benar-benar tanpak berbeda dan tidak seperti biasanya. Ia benar-benar sudah tidak tahan lagi berada di sana, ia telah membulatkan niat dan tekadnya untuk segera pergi dari desa tersebut secepatnya.
“Pagi-pagi besok, sekitar pukul lima lewat. Ingat, kalian berdua harus berakting dengan baik, jangan sampai kita ketahuan. Karena kesempatan ini hanya sekali, jika kita gagal dan kedapatan berbohong, maka mereka pasti tidak akan pernah lagi percaya dengan semua alasan apa pun yang telah kita buat.” Meri menatap wajah kedua temannya itu.
“Iya, kami akan berusaha sebaik mungkin. Begitupun dengan dirimu, kau juga harus berpura-pura pingsan dan jangan pernah membuka matamu itu sedikit pun sebelum kita keluar dari desa ini.” Sindi juga tak lupa untuk mengingatkan Meri.
“Baiklah, sebaiknya kita segera berkemas-kemas dari sekarang, supaya di pagi besok kita tidak terburu-buru.” Meri mengingatkan sebuah hal yang hampir saja terlupakan. Namun Sindi segera melarangnya. Menurutnya, “Lebih baik tidak usah mengemas-ngemas semua barang, supaya mereka semua tidak curiga kepada kita dan mengira kita akan segera kembali ke sini untuk mengambil barang-barang kita. Sebaiknya bawa saja barang yang paling penting, seperti Hp, Kamera dan juga pakaian yang akan kita kenakkan di pagi besok.” Meri dan Irma pun setuju dengan usulan yang diberikan oleh Sindi tersebut. Setelah semua rencana itu benar-benar matang, mereka bertiga pun segera beranjak untuk tidur, karena di pagi besok mereka harus bangun lebih awal untuk menjalankan semua rencana tersebut.
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Irma sudah tertidur pulas di kasur nya. Sindi dan Meri masih bergolek-golek di ranjang tidur, mereka belum juga bisa memejamkan mata mereka. Dua orang sekawan itu tampak benar-benar gelisah memikirkan semua rencana mereka di pagi besok. Bagaimana jika semua rencana itu gagal? Bagaimana jika mereka semua mengetahui kebohongan yang mereka buat? Pikiran mereka benar-benar kacau. Waktu terus berputar, malam kian larut dan larut ke penghujungnya, tanpa sadar akhirnya dua sekawan itu pun tenggelam di dalam tidur mereka.
Dalam samar-samarnya cahaya lampu minyak yang menyala di ruangan kamar, antara sadar dan tidak sadar tiba-tiba saja Meri mendengar ada bunyi suara pintu kamar dan juga pintu depan yang dibuka. Di luar sana, angin malam masih berhembus meniupi dedaunan pohon yang tumbuh di seberang jalan dan juga di halaman depan rumah. Ia menyimpulkan bahwa suara itu adalah suara kayu jemuran yang sudah terlepas talinya dan kemudian menghantam pintu. Atau mungkin juga itu adalah Buk Tiah yang baru saja pulang dari suatu tempat. Ia pun kembali memejamkan kedua matanya.
Saat itu, tiba-tiba saja dia teringat dengan sesuatu. Pukul berapa ini? Jangan-jangan hari sudah pagi dan mereka telah kesiangan? Oh tidak. Hal tersebutlah yang kemudian mendesaknya segera bangun dari tidur untuk melihat jam kecil yang melingkar di tangannya. Syukurlah, ternyata saat itu jarum jam masih menunjukkan pukul dua belas lewat dini hari. Ternyata baru satu jam lebih dia tertidur, akan tetapi entah mengapa rasanya sudah begitu lama waktu berlalu.
Ia segera bangun dan kemudian berjalan menuju jendela kayu untuk mengintip keluar sana apakah para pemuja setan itu masih melaksanakan ritual purnama mereka? Setelah cukup lama berdiri mengintip dan melempar pandang ke semua arah, aneh sekali ternyata situasi di luar sana pada malam itu tampak begitu lengang. Apakah mereka libur? Dan ataukah mereka mengadakannya di tempat lain? Entah lah, Meri masih dipenuhi oleh berbagai pertanyaan di dalam kepalanya.
Seakan masih ada sesuatu hal yang terasa menggajal di dalam hatinya, Meri pun kemudian segera berpindah untuk memeriksa pintu depan menggunakan cahaya flash kamera ponsel nya. Dengan sungguh begitu pelan dan penuh kehati-hatian dia melangkahkan kakinya itu di atas lantai kayu tersebut, ia tidak mau suara langkah kakinya itu akan membuat Buk Tiah mendengarnya jika seandainya benar beliau telah pulang.
Ruangan tamu tampak sungguh begitu gelap dan mencekam. Tidak ada bunyi suara apapun yang terdengar. Ia terus melangkah pelan menuju pintu depan. Saat ia tiba di depan pintu tersebut, ia mendapati ternyata pintu itu dalam keadaan yang tidak terkunci dan juga sedikit menganga. Dari celah-celah pintu iu, terasa ada hembusan angin malam yang dingin membelai kulit kakinya. Berbagai perasaan pun mulai datang menggeluyuti dadanya. Rasa takut perlahan-lahan mulai menjalar dan melumpuhkan nyalinya. Meri menguatkan hati dan memberanikan dirinya untuk menutup pintu itu dan kemudian menguncinya kembali. Setelah itu, ia pun segera buru-buru kembali menuju kamarnya.
Sebelum ia kakinya itu tiba melewati mulut pintu kamar, Meri pun tersentak kaget melihat sosok seorang wanita yang berdiri di depannya. Hampir saja ia menjerit, akan tetapi beruntunglah sosok tersebut segera menyapanya. “Apa yang kalian berdua lakukan?” Tanya suara itu dengan setengah berbisik. Meri langsung menghembuskan nafas panjang sembari mengelus dadanya. Lega. Ternyata sosok tersebut adalah Sindi, temannya.
“Apa maksudmu, Sindi?” tanya Meri sambil melangkah pelan memasuki pintu kamar. Wajahnya tampak memendam sedikit rasa bingung. “Apa yang kalian berdua lakukan di sana?” sekali lagi Sindi mengulang pertanyaanya. Meri langsung menaikkan alis matanya. “Apa? Berdua? Siapa maksudmu kalian berdua? Tidak ada, Cuma aku sendiri” Jawab Meri sambil kembali meletakkan ponselnya itu di dalam tas kecil miliknya.
“Hah? Apa maksudmu? Lalu di manakah Irma? Bukankah dia pergi keluar bersamamu?” Sindi mulai menunjukkan ekspresi kalutnya. Mendengar nada pertanyaan Sindi yang sudah berubah itu, Meri langsung memalingkan wajahnya ke arah sebuah kasur yang terletak di sudut kamar. Saat itulah wajah Meri langsung berubah. Dia benar-benar kaget setengah mati. Ternyata sejak tadi Irma sudah menghilang dari tempat tidurnya. Bagaimana mungkin dia tidak mengetahui hal tersebut? Meri mulai menjadi panik.
“Di luar, ayo cepat kita cari dia di luar sana!” Meri dengan panik segera berlari sambil berteriak histeris keluar dari kamar dan langsung membuka pintu depan yang baru saja ia kunci tersebut. Sindi juga ikut menyusulnya dari belakang dengan membawa senter terang yang berkekuatan 150 watt. Saat mereka berdua tiba di balkon rumah, ternyata di luar sana tampak begitu lengang dan juga sunyi. Tidak ada siapapun yang terlihat.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment