BUS PENYELAMAT - PART 29
“Hey, lihat itu..” Meri memberitahu para warga yang lain tentang sosok yang dilihatnya tersebut. Saat itu juga, satu dua tetes hujan mulai berjatuhan dari langit. Sangat cepat, dalam bebrapa detik kemudian hujan rintik-rintik itu pun telah berubah menjadi hujan yang begitu deras. Ayah Rame dan para warga yang lain segera berlarian menuju sebuah atap rumah kosong untuk berteduh di bawahnya.
Saat Meri kembali menoleh ke ujung jalan, ternyata sosok yang berdiri di balik gelap itu telah lenyap entah kemana. Tiba-tiba salah satu dari tetangga Ayah Rame yang berdiri di posisi paling ujung sana berjalan mendekati Sindi dan kemudian menanyakan sesuatu dalam bahasa mereka. Setelah itu, Rame kemudian segera menerjemahkan ucapan dari pria tersebut. Pria itu bertanya mengenai warna baju yang dikenakkan Irma. Sindi pun kemudian memberitahu mereka, bahwa Irma mengenakkan baju kaos yang berwarna hitam. Pria itu pun tampak sedikit mengeluh setelah mendengar penjelasan dari Rame. Tampaknya mencari seseorang yang mengenakkan baju yang berwarna gelap di malam hari memang susah, karena mata sulit membedakan warnanya.
Suara petir di ujung malam itu terdengar semakin menjadi-jadi, hujan lebat yang disertai angin terus-menerus berkecamuk tiada henti. Beruntunglah saat itu mereka berdua telah mengenakkan jacket yang tebal, sehingga membuat mereka tidak menggigil disapu oleh hawa dingin yang begitu menyengat.
Hampir satu jam waktu berlalu, dan mereka semua masih terjebak di tempat itu tanpa beranjak walau sedikitpun. Hujan masih tak mau memberikan jalan kepada mereka. Saat itu jarum jam di tangan Sindi sudah menunjukkan pukul empat lewat. Ayah Rame dan para tetangganya itu tampak sudah mulai gelisah, sehingga mereka pun memutuskan untuk pamit pulang kepada Sindi dan Meri, mereka semua berjanji akan membantu dua orang sekawan itu untuk menemukan teman mereka di pagi besok. Apa boleh buat, mereka berdua pun tak bisa menahannya. Singkat cerita, Ayah Rame dan para tetangganya itu pun segera berlari menembus hujan pulang menuju rumah mereka masing-masing. Tinggallah mereka berdua yang masih bertahan di tempat itu tanpa beranjak walau sedikitpun.
Pukul 04:30 pagi. Malam masih tetap begitu gelap seperti yang sebelumnya, begitu pun dengan hujan yang masih juga tak mau reda walau barang sedetik pun. Mereka berdua kini telah berpindah posisi ke tepi dinding rumah kosong tersebut untuk menghindari tampias hujan yang jatuh tertiup angin.
“Bagaimana ini? Aku bingung, aku sungguh tidak menyangka semua ini terjadi menimpa kita” Meri tampak begitu sedih dan menyesali semuanya. Ia meratap di bawah atap rumah kosong itu sembari memeluk bahu temannya. “Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Aku sungguh menyesal karena telah mengajak kalian berdua datang ke tempat ini, aku memang salah” Sindi juga mulai kehilangan semangatnya.
“Aku bahkan masih belum bisa melupakan tragedi silam yang menimpa kita, kini sebuah hal buruk itu kembali lagi datang menimpa kita berdua.” Tatapan mata Sindi jatuh kedalam tetes-tetes hujan yang berjatuhan di depan sana. Mereka berdua mulai meratapi nasib dalam penyesalan dan kesedihan.
Malam masih terasa begitu mencekam. Tiba-tiba terdengarlah bunyi suara sesuatu tang berasal dari dalam ruangan rumah kosong tersebut, sehingga membuat mereka berdua pun menjadi kaget. “Apakah kau juga mendengarnya?” Tanya Meri dengan setengah berbisik. “Ssst, matikan cahaya sentermu itu, cepat!” Sindi segera menempelkan telinganya itu ke dinding rumah untuk mendengarnya lebih jelas.
Suara misterius itu pun kembali terdengar. Meskipun agak pelan karena terhalang oleh suara ribut hujan yang jatuh menimpa atap, akan tetapi mereka berdua masih bisa mendengarnya dengan jelas. Itu adalah suara senandung wanita misterius yang seringkali mereka dengar dari jendela kamar. Wanita itu bernyanyi dengan suara yang begitu indah dan merdu. Ada sesuatu hal yang aneh, semkin indah nyanyian wanita tersebut, entah mengapa suasana malam terasa menjadi semakin suram dan juga mencekam. Suara itu membawa sebuah aura yang begitu kuat, bahkan sekujur bulu roma mereka pun sampai berdiri tegak menahan takut.
“Ohhh... kayo ngan kuaso. Lbek lbeklah kaau uje, timbolah dahah nga bucice di tanah. Ibleih lah tibo mao pede. Anok-anok gadeih lahay lah, ngimbaalah iko jauh-jauh, nyawo idak nyo duo, ideuk cuma sekalai” Suara wanita itu pun mulai melemah dan menjauh seakan terbawa oleh angin malam yang berhembus. Mereka berdua tak bisa lagi mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh wanita tersebut.
“Itu adalah suara misterius yang seringkali ku dengar dari jendela kayu kamar kita” Meri berkata dengan setengah berbisik. “Benar, itu adalah suara wanita tersebut” Sindi menganggukkan kepalanya. “Apakah kau tahu siapakah sosok wanita tersebut?” Meri tampak sedikit pensaran. “Tidak, aku tidak tahu pasti siapakah sosok wanita tersebut. Hanya saja aku pernah mendengar Buyung bercerita tentang kisahnya, bahwa itu adalah suara seorang gadis yang bernama Puti. Dia adalah korban pembunuhan yang dibunuh oleh keluarga Tanjo. Akan tetapi untuk saat ini, aku tidak begitu percaya lagi dengan cerita tersebut” Sindi kembali menempelkan telinganya ke dinding papan. Wanita itu terus bersenandung dengan nada yang sungguh begitu menyayat. Sesekali terdengar pula isakan tangisnya yang begitu memilukan.
“BRRUUKKK” Tiba-tiba saja Meri terperosok ke dalam rumah kosong tersebut. Ia tak menyangka, ternyata pintu rumah tempatnya bersandar itu tidak dikunci. Ia bahkan sampai menjerit kesakitan. Melihat kejadian yang begitu mengejutkan tersebut, Sindi pun langsung masuk dan kemudian segera menolong temannya itu untuk bangun. Beruntunglah Meri baik-baik saja.
Saat itu juga, tiba-tiba suara wanita misterius itu lenyap tanpa tersisa. Ruangan di rumah kosong itu tampak sungguh begitu gelap, sehingga mereka tidak bisa melihat apa pun yang ada di dalam sana. Sindi segera menyalakan senternya, begitupun dengan Meri. Seketika itu juga ruangan yang gelap gulita itu pun langsung berubah menjadi terang, dan mereka dapat melihat seluruh isi ruangan dengan begitu jelas.
Kursi-kursi tua tampak masih berjajar rapi dalam posisi yang melingkari sebuah meja di ruangan depan. Kayu-kayunya sudah banyak yang dilahap oleh rayap. Sarang laba-laba menjalar di mana-mana. Ruangan itu tampak sudah berdebu dan kumuh, sepertinya sudah lama sekali ditinggalkan oleh pemiliknya.
Di dinding ruangan, terpampang beberapa kepala binatang yang telah diawetkan, seperti kepala babi, rusa dan juga anjing. Selain itu, terlihat juga ada beberapa foto lama yang sudah rusak dan masih menempel di dinding. Di dalam foto-foto tersebut tampak seorang pria dan wanita yang sedang menggendong anak kecil mereka. Sepertinya, itulah sang pemilik dari rumah tersebut.
Beberapa foto lain sudah tak bisa lagi dilihat dengan jelas, karena gambarnya telah hancur dilumuri oleh tinta yang berwarna kemerahan. Mereka berdua segera beranjak menuju ke ruangan selanjutnya. Ruangan yang kedua itu terlihat sungguh berantakan. Lantai semennya itu sudah tampak menghitam dan juga sedikit berlumpur. Ada banyak sekali tikus di tempat itu, Meri bahkan sampai kaget melihatnya.
Rumah tua itu benar-benar sudah terbengkalai dan juga tidak terurus. Pecahan kaca juga berserakan memenuhi lantai. Sekitar enam meter di depan sana, terlihat pula ada dua kamar yang seukuran empat kali empat. Salah satu pintu kamar itu tampak sudah jebol dan menganga, sedangkan satu pintu yang lainnya masih terkunci rapat. Mereka berdua segera melangkah menuju ke salah satu ruangan kamar tersebut.
Ketika mereka tiba di depan mulut pintu, seketika itu juga aroma busuk langsung menyeruak memenuhi hidung mereka. Sindi dan Meri bahkan sampai menutup hidung mereka dengan tangan karena tak sanggup mencium aroma busuk yang begitu menyengat. “Bau apa ini?” Sindi bertanya sambil membekap hidungnya itu dengan kerah bajunya. Meri hanya menggelangkan kepala sembari menunjukkan ekspresi jijiknya. Mereka berdua terus melangkah dan kemudian masuk ke dalam ruangan kamar yang busuk tersebut.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment