BUS PENYELAMAT - PART 28
“Oh tidak, di mana kamu, Irma!” Meri benar-benar panik. Berbagai dugaan pun mulai berdatangan menghujam kepala mereka. Apakah dia telah diculik oleh kaum pemuja setan yang kejam itu? Jangan-jangan Irma telah dibunuh oleh mereka untuk dijadikan tumbal dan penyubur tanaman? Dua orang sekawan itu benar-benar diselimuti oleh rasa takut yang begitu luar biasa.
“Oh tidak, dia pasti sleep walking lagi. Ini semua adalah gara-gara kejadian yang terjadi menimpa kita di siang tadi, dia tidak bisa mengalami hal-hal yang menegangkan seperti itu” Sindi mencemaskan temannya. Mereka berdua masih berada di balkon rumah sambil mengarahkan cahaya senter ke arah jalan dan juga halaman rumah. Irma benar-benar sudah lenyap.
“Kenakkan pakaianmu, cepat! Ayo kita cari dia keluar sana” Meri berlari menuju kamar untuk mengambil jacketnya. Sindi juga menyusul dari belakang. Setelah itu, mereka berdua segera keluar dari rumah itu untuk mencari Irma yang telah menghilang entah kemana.
Saat itu jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga dini hari. Kabut malam sudah menyebar luas di mana-mana menyelimuti pedesaan dan juga pepohonan. Suasana malam di luar sana benar-benar sangat memprihatinkan. Sindi bahkan sampai kesulitan untuk mengarahkan cahaya senternya itu, karena cahayanya tertahan oleh kabut malam yang begitu pekap. Dua orang sekawan itu baru saja keluar dari halaman rumah menuju jalan desa.
Angin malam yang dingin terus berhembus meniupi pepohonan, suaranya semakin membuat suasana terasa begitu mencekam. Saat Meri melemparkan wajahnya ke langit, satu pun tidak ada cahaya bintang-gemintang yang terlihat memancar. Awan hitam bertumpuk-tumpuk di angkasa, satu dua kilatan petir yang disertai suara gemuruh pun kini juga sudah mulai terlihat dan terdengar menghiasi malam. Tidak lama lagi, sepertinya hujan deras akan segera turun menimpa desa. Dengan hanya mengandalkan cahaya senter yang berkekuatan 150 waat dan lampu flash kamera handphone android tersebut, mereka berdua terus berjalan menyusuri malam yang kelam itu untuk mencari teman mereka, Irma.
“Bagaimana jika meminta bantuan kepada Buyung dan Ole, barangkali saja mereka mau membantu kita?” Meri memberikan usulannya sembari terus berjalan menenteng lampu kecil kamera ponselnya. Saat itu mereka sudah berjalan sejauh 50 meter dari rumah Buk Tiah. Mendengar usulan tersebut, Sindi langsung menghentikan lagkahnya. “Tidak! Aku tidak mau meminta bantuan sama mereka lagi, mereka itu adalah orang jahat, Meri!” Sindi kembali melangkahkan kakinya setelah mengucapkan kalimat tersebut. Meri hanya terdiam dan segera menyusul Sindi dari belakang.
Sekitar 20 meter di depan sana, terlihat ada beberapa rumah warga yang bersusun di tepi jalan. Dari celah-celah dinding papan rumah tersebut, terlihat pancaran cahaya lampu minyak yang cukup terang dari dalam sana. Mereka berdua pun memutuskan pergi mengetuk rumah-rumah tersebut untuk meminta bantuan.
“Permisi! Permisi..” Meri mengetuk pintu salah satu rumah tersebut. Sekitar beberapa menit kemudian, terdengarlah bunyi sahutan dari dalam. Suara itu sangat pelan dan cukup aneh, sehingga membuat mereka tidak memahami sedikitpun tentang maksud dari ucapan penghuni rumah tersebut. Mereka berdua hanya terdiam di depan pintu, menunggu tuan rumah membukakannya.
Benar, tidak lama kemudian pintu pun dibuka. Muncullah sososk seorang pria dewasa yang mengenakkan baju singlet putih dan celana pendeknya yang selutut. Sepertinya pria itu baru saja terbangun dari tidur.
“Maaf pak, apakah bapak bisa berbahasa Indonesia?” tanya Meri sambil memberikan isyarat dengan tangannya. Pria itu terpaku menatap mereka berdua selama beberapa saat. Tidak lama kemudian, pria itu pun menggelengkan kepalanya. Sepertinya ia tidak bisa berbahasa Indonesia. Akan tetapi, pria itu memberikan isyarat dengan kedua tangannya seakan-akan menyuruh Meri dan Sindi menunggunya sebentar di tempat itu. Meri dan Sindi pun menganggukkan kepala mereka. Pria itu segera berlalu menuju kamar.
Dari mulut pintu depan yang menganga itu, terdengar suara pria itu yang sedang membangunkan seseorang. Sindi dan Meri sangat berharap orang yang dibangunkan oleh pria tadi bisa berbahasa Indonesia dan juga dapat membantu mereka untuk mencari Irma. Begitulah Irma, dia tidak bisa mendengar bentakan dan juga merasa terancam, karena hal tersebut dapat membuat pikirannya terganggu. Jika pikiran dan mentalnya sudah terganggu, maka dia sering kali kehilangan kesadaran seperti pingsan, kejang-kejang, dan bahkan adalah sleep walking dengan mata yang terpejam. Dia sering kali berjalan dalam keadaan tertidur. “Semoga saja dia baik-baik saja” Meri berdoa di dalam hati.
Sungguh begitu sial nasib mereka. Semua rencana yang telah mereka susun dengan begitu rapi sejak satu hari yang lalu itu, kini semuanya benar-benar gagal total. Kasus hilangnya Irma di malam itu benar-benar telah mengubah semuanya. Niat hati mereka untuk segera pergi dari desa itu pun akhirnya terpaksa mereka urungkan. Rasa takut dan cemas mereka terhadap kaum pemuja setan yang sadis itu kini juga terpaksa mereka ketepikan, karena satu-satunya yang ada di dalam hati dan benak mereka pada saat itu ialah bagaimanakah cara menemukan Irma secepatnya.
Suara gemuruh terdengar semakin nyaring di langit, kilatan cahayanya tampak menyilaukan. Angin malam semakin kencang berhembus, hawa dingin menyeruak menyengati kulit, suasana malam benar-benar terasa begitu mencekam.
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya pria itu pun keluar dari kamarnya bersama seorang remaja laki-laki yang sepertinya baru berusia 12-13 tahun. Remaja tersebut masih tampak begitu ngantuk, dia bahkan sampai beberapa kali menguap menahan ngantuknya.
Pria dewasa itu kemudian segera memberitahu anaknya tentang kedatangan Meri dan Sindi, anak itu pun segera mendongak keluar untuk melihat mereka. “Adek, nama kamu siapa? Apakah kamu bisa berbicara dengan bahasa Indonesia?” tanya Sindi dengan suara yang begitu lembut dan juga sopan. Anak itu pun mengangguk-kan kepalanya. Mereka berdua pun akhirnya merasa lega.
“Namaku Rame, kak” jawab anak tersebut dengan suara kecilnya. “Rame, maukah kamu membantu kakak?” tanya Sindi lagi pada anak tersebut. rame pun menganggukkan kepalanya. “Begini, tolong beritahu ayahmu, bahwa kami ingin meminta tolong padanya untuk menemani kami berdua pergi mencari teman kami, karena teman kakak hilang sekitar beberapa jam yang lalu” Sindi memasang wajah tersedihnya. Ia berusaha untuk membujuk anak tersebut. Ank itu pun segera memberitahu ayahnya tentang hal tersebut.
Ayah Rame pun kembali menanyai anaknya itu dengan bahasa daerah yang mereka gunakan. Rame pun segera menyampaikan pertanyaan yang diucapkan oleh ayahnya itu, “Bagaimana dia bisa hilang? Apakah kalian meninggalkannya? Dan dimanakah lokasi tempatnya menghilang?”
“Meri pun segera memberitahu anak tersebut. Ia menyampaikan bahwa mereka berdua juga tidak tahu kenapa dia menghilang, mereka juga tidak meninggalkan Irma, dan tempat Irma menghilang adalah di rumah Buk Tiah saat mereka berdua sedang tertidur. Selain itu, Meri juga memberitahu anak tersebut bahwa Irma sering mengigau dan bahkan tidur dalam keadaan berjalan tanpa sadar. Anak itu pun segera memberi tahu ayahnya perihal hal tersebut. Mendengar penjelasan dari anaknya itu, ayah Rame pun segera bergegas menuju kamarnya. Sepertinya dia sedang bersiap-siap.
Benar sekali, pria itu pun kembali keluar dengan mengenakkan jacket dan senter di tangannya. Di pinggangnya, terlihat ada sebuah golok yang telah diikat dengan tali. Melihat hal tersebut, sebenarnya ada sedikit rasa ngeri yang mereka berdua rasakan, akan tetapi mau bagaimana lagi, sepertinya saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menakuti sebuah hal yang tidak pasti. Selain itu, pria tersebut juga tidak terlihat seperti tampang orang jahat, dia bahkan mau membantu Meri dan Sindi untuk mencari teman mereka yang hilang tersebut.
Setelah bersiap-siap, pria itu un pergi mengetuk pintu rumah warga yang ada di sebelah rumahnya. Ayah Rame yang baik hati itu memberitahu kepada para tetangganya itu tentang kejadian tersebut, beliau juga mengajak mereka semua untuk turut membantu Sindi dan Meri mencari teman mereka. Syukurlah tim pencari pun bertambah lagi sebanyak 4 orang. Kini, jumlah mereka semua adalah delapan orang termasuk Rame. Pencarian pun mulai dilakukan.
Ayah Rame memimpin jalan di bagian depan menggunakan senter yang terang di tangannya, begitupun dengan para warga yang lain. Mereka semua mulai berteriak memanggil-manggil nama Irma. “Irma.. ! Irma..! Di mana kamu?” Sindi dan Meri tak henti-hentinya berteriak memanggil nama temannya itu.
Jauh di depan sana, terlihat ada seperti bayangan seseorang yang sedang berdiri di dalam gelap. Sosok tersebut berdiri di belakang cahaya lampu yang memancar dari sebuah rumah warga yang menggunakan lampu listrik. “Siapa itu?” Meri bertanya-tanya di dalam hati mencoba untuk melihatnya dengan jelas.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment