BUS PENYELAMAT - PART 24
“Selamat pagi adik-adik semuanya, apakah gerangan yang membuat kalian datang ke tempat ini? Apakah ada suatu hal yang bisa saya bantu?” tanya sang penerjemah. Dia mempersilahkan Sindi dan dua orang temannya itu duduk di kursi kayu yang melingkar di ruangan tamu rumahnya. Setelah itu, kemudian muncullah Nenek tua dari dalam kamarnya. Beliau juga ikut duduk di hadapan mereka.
“Maaf jika kedatangan kami yang mendadak ini sedikit membuat Paman dan keluarga menjadi kaget.” Sindi membenahi tempat duduknya. Pria yang bernama Tanjo itu hanya tersernyum kecil sembari menganggukkan kepalanya. Menyimak.
“Jadi, maksud kedatangan kami kesini hari ini ialah untuk meminta bantuan kepada Paman Tanjo untuk menemani kami mewawancarai para warga di desa ini, karena di pagi ini Buyung dan Ole tidak muncul sama sekali, entah kemana pergi mereka, kami tidak tahu” Sindi mengutarakan maksud dari kedatangannya. Meri juga turut mengangguk kecil sambil tersenyum mengiyakan perkataan Sindi.
“Owh begitu, tentu saja bisa. Siapa sajakah orang yang akan kalian wawancarai hari ini?” Tanya Paman Tanjo. “Ada dua orang warga lagi yang akan kami wawancarai, setelah itu kami akan melanjutkan lagi menemui kepala desa dan beberapa perangkat desa untuk meminta tanda tangan dari mereka” jawab Sindi.
“Saya ingin memohon maaf sebekumnya. Jika sekedar untuk menemani kalian mewawancarai para warga mungkin saya bisa membantu, akan tetapi kalau menemui kepala desa dan para perangkat desa sepertinya saya tidak dapat membantu kalian” kata Paman Tanjo dengan raut mukanya yang tampak sedikit berubah. Sepertinya ada sesuatu hal beliau sembunyikan di dalam hatinya.
“Ohw begitu, ya. Gak papa, Paman cukup temani kami untuk mewawancarai para warga tersebut, untuk menemui kepala desa dan perangkat desa biar kami bertiga saja yang akan pergi, karena kebetulan kepala desa Serampeh juga bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Akan tetapi mohon maaf sebelumnya, maukah Paman memberitahu kami alasannya mengapa Paman tidak mau menemui kepala desa? Apakah ada sesuatu hal yang terjadi di antara kalian berdua? Sekali lagi maaf jika pertanyaan Sya ini terkesan sedikit lancang, Paman.” Sindi sedikit membungkuk dan menyesal setelah melemparkan pertanyaan tersebut kepada Paman Tanjo.
“Baiklah, karena perkataanku tadi telah membuat kalian menjadi bingung, maka untuk menjawab kebingungan kalian itu sepertinya saya harus menceritakan semuanya kepada kalian” Paman Tanjo berpindah dari posisi bersandar ke posisi duduk yang lebih dekat dengan mereka. Begitupun dengan sindi dan dua orang temannya itu, mereka juga tampak sedikit maju untuk mendekatan telinga mereka.
Paman Tanjo mulai membuka ceritanya. “Hubungan saya dan Pak Karay atau Kepala Desa itu beserta dengan bawahannya itu sedang tidak baik, karena kami terlibat perselisihan panjang yang sepertinya sudah tidak bisa lagi untuk didamaikan. Saya dan keluarga adalah orang yang sangat menentangnya, karena Pak Karay itu adalah orang yang sangat jahat.” Paman Tanjo bahkan sampai menggingit bibirnya saat mengucapkan nama Karay. Sepertinya dia sangat membenci pria itu. Sindi dan dua orang temannya itu masih terdiam di tempat duduk mereka. Menyimak.
“Dia adalah seorang pembunuh yang kejam. Dalam lima belas tahun terakhir ini, aku telah mencatatnya dengan detail di dalam buku ini” Paman Tajo mengeluarkan sebuah buku dari dalam lemarinya dan kemudian meperlihatkannya kepada mereka. Mendengar hal tersebut, wajah Irma langsung berubah pucat seketika. Sementara itu Sindi dan Meri hanya terdiiam di tempat duduk mereka.
“Irma, apakah obatmu masih ada?” Tanya Meri dengan setengah panik. Irma mengangguk pelan. “Ceat, minum obatmu itu, aku tidak mau penyakitmu itu kambuh lagi, karena kita akan segera menghadapi suatu hal yang belum pernah kita hadapi sebelumnya” Meri sedikit terdesak meraih gelas air putih dan kemudian memberikannya pada Irma. Dengan muka yang pucat itu Irma pun segera buru-buru mengeluarkan obatnya dari dalam tas, ia langsung meneguknya dengan air putih tersebut.
Irma memiliki penyakit di jantungnya. Ia tidak bisa kaget dan apalagi mengalami rasa takut yang terlalu berlebihan, karena itu dapat membuatnya jantungan. Apabila ia sudah over, maka puncaknya kadang-kadang dia akan pingsan, kejang-kejang, dan bahkan mengigau di malam hari seperti sleep walking. Itulah yang ditakutkan oleh Meri dan Sindi. Beruntunglah saat itu kondisi Irma masih agak mendingan.
Paman Tanjo kembali lagi melanjutkan ceritanya. “Dia telah membunuh lebih dari enam ribu ekor binatang yang tidak bersalah, dan dia juga telah membunuh sekitar 24 orang wanita perawan yang berasal dari luar daerah. Dia adalah penganut aliran sesat, dia adalah pemuja setan, dia menganggap bahwa air darah dan air pembasuh daging adalah pupuk dan obat yang sangat baik untuk menghasilkan pertanian yang berlimpah, akan tetapi semua itu adalah sebuah dalihnya untuk menjalankan ritual biadabnya, yaitu untuk memberikan tumbal kepada setan yang mereka sembah.” Paman Tanjo menatap satu persatu wajah tamunya itu dengan tatapan yang tajam.
Sindi dan teman-temannya itu sungguh terhenyak, mereka tidak menyangka kepala desa Serampeh yang sungguh begitu baik dan ramah itu akan tega berbuat hal yang sebegitu biadabnya. Dia benar-benar adalah orang yang sangat kejam.
“Kenapa Paman tidak melaporkan hal ini kepada polisi dan juga memberitahu para warga desa yang lain untuk mengusir mereka semua pergi dari desa ini?” Meri memberanikan dirinya untuk bertanya.
“Haahaha, benar sekali. Mengapa aku tidak melaporkan hal ini kepada polisi? Itu adalah pertanyaan yang paling sering aku dengar dari para pendatang asing yang datang ke desa ini. Begini, mereka telah membatasi pergerakanku, mereka selalu mengawasiku. Aku tidak bisa keluar dari desa ini, jika kalian tahu, sebenarnya desa ini adalah sebuah penjara bagiku. Aku tidak bisa berbuat banyak, karena mereka punya lebih dari sembilan ratus orang pengikut yang setia.” Paman Tanjo tertawa kecil mengakui kekalahannya.
“Paman, dari data yang telah aku kumpulkan, jumlah masyarakat di desa ini hampir mencapai 1200 orang? Bukankah masih ada lagi sekitar 250 warga lain yang belum ikut bergabung dengan mereka? Mengapa Paman tidak mengumpulkan mereka semua untuk membuat sebuah strategi rahasia agar dapat melarikan diri dan pergi meninggalkan desa ini untuk melaporkan kasus ini pada aparat kepolisian?” Sindi tampak sangat bersemangat memberikan pendapatnya tersebut.
Paman Tanjo terdiam sesaat sebelum mejawab pertanyaan dari Sindi. Setelah berpikir-pikir sejenak dan menarik nafasnya yang dalam, Paman Tanjo pun kembali melanjutkan ceritanya.
“Benar sekali, itu adalah sebuah ide yang sangat bagus. Masih ada sekitar 250 orang lagi yang belum ikut bergabung bersama mereka. Baiklah, aku akan memberitahu kalian, dari 250 orang tersebut, 210 orang di antaranya itu adalah para pekerja yang bekerja menggarap ladang-ladang mereka. Mereka tidak berani untuk membuka mulut mereka, karena mereka takut para bos mereka tidak mau memberi gaji mereka, dan yang paling inti dari hal tersebut adalah sebenarnya mereka semua tidak punya nyali untuk melakukan sebuah hal besar sebagaimana yang kau utarakan tadi. Sedangkan 40 orang di antaranya itu adalah beberapa orang tunawisma, anak-anak dan juga orang tua renta yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Setelah aku menghitungnya, orang-orang yang memiliki keinginan dan keberanian seperti kami ini jumlahnya adalah sekitar 22 orang termasuk dengan keluargaku. Kami semua tidak bisa berbuat banyak, karena para orang jahat itu selalu mengawasi pergerakan dan juga membatasi komunikasi di antara kami. Itulah yang membuat kami semua menjadi terpisah-pisah dan tidak punya kekuatan untuk melakukan apa pun.” Paman Tanjo mengelus kepalanya dengan kedua tangan. Tampaknya beliau benar-benar sudah kehabisan ide.
Suasana di ruangan tamu rumah kayu itu berubah menjadi hening selama beberapa saat. Sepertinya semua orang tampak sedang berpikir-pikir untuk menemukan jalan keluar dari masalah yang amat serius tersebut.
“Benar sekali apa yang telah kau katakan tersebut, Paman. Aku dan Sindi telah menyaksikan langsung dengan mata dan kepala kami sendiri tentang ritual purnama mereka yang biadab itu dalam dua malam yang terakhir ini. Mereka membunuh beberapa ekor anjing dan kemudian dengan tanpa rasa jijik sedikit pun mereka juga meminum darahnya.” Keheningan di ruangan tamu itu kembali menjadi cair kembali. Semua mata tampak menyorot ke wajah Meri, termasuk Irma.
“Apa yang telah kalian lihat? Mengapa kalian tidak memberitahuku tentang hal tersebut?” Wajah Irma tampak memendam rasa kesal kepada dua orang temannya itu. Mendengar perkataan Irma yang bernada tinggi itu, Meri dan sindi langsung terdiam dan saling melempar pandang antara satu sama lain. Mereka tidak tahu bagaimanakah caranya untuk menjelaskan semua hal tersebut kepada Irma.
Penulis : Zain Losta masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
Comments
Post a Comment