Sejarah Desa Koto Petai
A. Profil Desa Koto Petai
Desa Koto Petai adalah nama sebuah Desa yang terletak di Kabupaten Kerinci, Jambi, Indonesia. Daerah ini tepatnya berada di Kecamatan Danau Kerinci. Jumlah Penduduk di desa Koto Petai lebih kurang mencapai 1061 jiwa, yang terdiri dari 517 laki-laki dan 544 perempuan.
Keberadaan Desa Koto Petai cukup m
enarik dan juga strategis, yaitu berdampingan langsung dengan bibir Danau Kerinci. Hal inilah yang membuat banyaknya kaum bapak-bapak di desa ini yang memilih berprofesi sebagai nelayan—walaupun sebenanrnya nelayan adalah pekerjaan sampingan bagi mereka.
Sebagian besar profesi masyarakat di desa ini terdiri dari : Petani, Buruh, Pekerja Kantoran, Pegawai Negeri, Pelajar, dan juga Nelayan. Bisa dikatakan, angka pengangguran di desa ini sangatlah kecil. Hanya berkisar 3% dari 100%. Jadi, 97% masyarakat di desa ini sudah memiliki profesinya masing-masing.
Wilayah Desa Koto Petai tepatnya ialah berada di wilayah Tanco (Tanah Cogok). Wilayah Desa Koto Petai di bagian Timur berbatasan dengan persawahan dan sebagian danau kerinci, bagian Barat berbatasan dengan desa Ujung Pasir, bagian Utara berbatasan dengan desa Koto Salak, dan di bagian Selatan berbatasan langsung dengan Danau Kerinci.
Jika mendengar nama desa Koto Petai, secara tidak langsung maka orang-orang akan menduga bahwa nama tersebut menunjukkan nama buah-buahan, yaitu buah Petai. Akan tetapi realitanya sekali-kali bukanlah demikan.
Mayoritas penduduk yang ada di desa Koto Petai semuanya adalah Muslim. Masyarakatnya adalah penganut Islam yang taat. Yang dimaksud dengan taat disini ialah budaya Islam di desa ini masih amat kental dan juga masih terjaga dengan baik. Hal tersebut dapat kita temukan jika kita berkunjung langsung ke desa ini.
Di desa Koto Petai, semua wanita-wanita di sini selalu mengenakkan hijabnya walaupun sebenarnya tidak ada peraturan desa dan juga peraturan adat yang mengharuskannya. Di malam hari, maka kita akan mendapati nuansa yang sangat berbeda sekali di sini, kita akan mendengar suara mikrofon yang saling bersahutan untuk melantumkan bacaan ayat-ayat suci alqur’an.
Disamping itu juga, di Desa Koto Petai juga tidak dibolehkan organ band. Jika ada pemuda-pemudi di desa ini yang menikah, maka tidak boleh mengundang organ tunggal—karena hal tersebut hanya menghambur-hamburkan uang. Selain itu juga para ulama dan adat setempat juga melarang bermain musik—karena menurut mereka bahwa lebih dari separuh musik itu dapat membawa kita kepada syetan dengan jalan ratapan.
Jika kita ingin bermain gitar di desa ini, maka janganlah di tempat umum. Jika ingin bermain gitar haruslah secara diam-diam supaya tidak ketahuan oleh orang-orang, karena bila kita kedapatan bermain gitar—maka kita akan di denda oleh adat.
Kentalnya Islam di desa ini, semuanya tidak lepas dari peran-peran para ulama terdahulu yang begitu serius dalam menanamkan nilai-nilai Islam di desa ini. Peran ulama tersebut diwacanakan ke dalam pendidikan pondok pesantren yang ada di desa Koto Petai.
Menurut Abdul Salam salah satu warga desa Koto Petai, beliau mengatakan bahwa sekitar 40 tahun yang lalu, di desa Koto Petai ini masih berdiri sebuah pesantren yang cukup besar pada masa itu. Nama pesantren tersebut ialah Pesantren Tarbiyah Islamiyah. Kini telah berubah nama menjadi pesantren Almuhsinin.
Pesantren Tarbiyah Islamiyah berdiri pada tahun 1940 oleh seorang ulama besar di desa ini, yaitu KH. Abdul Malik Imam. Beliau adalah alumni dari Pesantren padang panjang. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan beliau di sana, lalu beliau kembali pulang dan mendirikan sebuah pesantren yang dinamai dengan pesantren Tarbiyah Islamiyah.
Pesantren ini cukup besar pada waktu itu, karena jumlah muridnya hampir mencapai 1000 santri. Mayoritas para santrinya ialah berasal dari desa Koto Petai, Desa sekitar dan bahkan ada juga yang berasal dari luar daerah Kabupaten Kerinci.
2. Sejarah Desa Koto Petai
Koto Petai, mendengar nama desa tersebut—maka secara langsung kita menduga bahwa nama tersebut di amabil dari nama buah-buahan, yaitu buah Petai. Namun dugaan tersebut benar-benar salah dan amat jauh berbeda dari realita yang sebenarnya.
Mengenai sejarah asal-usul nama desa Koto Petai, kami selaku peneliti dan juga penulis mendapatkan beberapa sumber tentang sejarah desa Koto Petai, yaitu sebagai berikut :
1). Teori Kotak peti tempat penyimpanan barang
Menurut Abdul Majib, seorang sesepuh desa yang telah meninggal pada beberapa waktu yang lalu, sebelum itu secara tidak sengaja kami sempat mewawancarai Almarhum dan juga sempat menanyakan tentang asal-usul nama desa Koto Petai kepada beliau.
Mengenai sejarah asal-usul nama desa Koto Petai, beliau mengatakan bahwa nama desa Koto Petai itu diambil dari kata “Kutok Petai” yang berarti Kotak Peti.
Selain itu, menurut sejarah dan juga beberapa sumber dari tokoh adat setempat, seperti tokoh adat Jalaluddin (Almarhum) dalam wawancara oleh Abdul Salam pada tanggal 25 Desember 2008, beliau mengatakan bahwa nama desa Koto Petai diambil dari kata Petai yang berarti Peti dalam bahasa Indonesia.
Peti yang dimaksudkan disini ialah peti-peti yang digunakan oleh masyarakat pada zaman dahulu untuk menyimpan barang-barang berharga milik mereka.
(Foto Kotak Peti Kuno di Desa Koto Petai)
Menurut para sesepuh desa (Hj. Aminah 79 tahun), semua rumah pada zaman dahulu di desa Koto Petai memiliki beberapa peti khusus yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyimpan barang-barang berharga milik keluarga mereka. Peti tersebut umumnya terbuat dari besi.
Ukuran peti tersebut tidak bisa ditetapkan, karena ukurannya berbeda-beda. Mulai dari yang lebarnya 40 cm dan panjangnya 70 cm—hingga yang panjangnya mencapai 150 cm atau lebih. Kebanyakan peti-peti tersebut terbuat dari besi.
Karena desa ini terkenal dengan banyaknya peti-peti, maka akhirnya desa ini dijuluki dengan nama desa Koto Petai.
Koto Petai, terdiri dari dua kata, yaitu Koto dan Petai. Selain dari pada pendapat pertama yang mengatakan bahwa asal-usul kata Koto adalah diambil dari kata Kutok (Kotak). Ada-pula pendapat kedua yang mengatakan bahwa kata Koto itu berasal dari bahasa minang, karena pada masa dulu, kerinci berada dalam kawasan sumatera barat, maka karena itulah budaya dan bahasa kerinci banyak memiliki kesamaan dengan budaya dan bahasa minang. Pendapat ketiga, kata "koto" itu diambil dari kata Koto itu sendiri tanpa merubah sedikitpun penyebutannya.
Dalam bahasa Kerinci, kata Koto seringkali dikaitkan dengan makna yang menunjukkan kepada sesuatu yang banyak. Contohnya ialah desa Koto Salak (Tetangga desa Koto Petai) yang di ambil dari nama pohon salak, karena pada masa dahulu konon di Desa Koto Salak terdapat banyak sekali pohon salak, namun kini telah punah dan menghilang.
Maka dinamakanlah desa tersebut dengan desa Koto Salak untuk menunjukkan bahwa di daerah tersebut pada zaman dahulu banyak terdapat pohon-pohon salak.
Contoh lain ialah desa Koto Padang. Desa ini hanya berjarak sekitar 4 Kilometer dari desa Koto Salak. Nama Koto Padang diambil dari kata Padang yang jika dibahasa Indonesiakan akan berarti Pedang.
Jadi, pada zaman dahulu di desa ini banyak sekali orang-orang yang pandai besi yang memiliki kelihaian dalam membuat pedang dan alat-alat perkakas lainnya.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat masyarakat desa Koto Padang dizaman sekarang, mereka juga masih membudayakan budaya tersebut secara turun temurun kepada generasi ke generasi.
Jika kita lewat di desa Koto Padang, maka kita akan mendapati banyak sekali orang-orang yang membuat pedang dan parang di sepanjang jalanan pendesaan tersebut. Karena banyaknya orang yang pandai membuat pedang di desa ini, maka desa ini-pun diberi nama dengan desa Koto Padang, yang menunjukkan bahwa di desa tersebut banyak terdapat Pedang.
Jadi, desa Koto Petai-pun juga demikian. Nama desa tersebut diambil dari kata Kotak Peti yang menurut cerita pada zaman dahulu di desa ini banyak sekali terdapat peti-peti yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyimpan barang-barang mereka. Maka menurut teori pertama ini nama Desa Koto Petai diambil dari kata Kotak Peti.
2. Teori Koto Pantai
Pendapat ini pertama-tama diambil dari letak wilayah desa Koto Petai yang pada era dahulu memiliki bibir danau (Pantai) yang sangat indah.
Jika melihat wilayah di desa Koto Petai pada masa sekarang ini, maka kita juga akan menemukan hal yang sama. Sampai pada saat ini, di desa Koto Petai pun masih terdapat pantai yang berdampingan langsung dengan bibir danau kerinci, hanya saja lokasi tersebut terdapat perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan zaman dulu.
Pada era tahun 1980-an, pantai yang terletak di Desa Kotai ini masih sangat bagus dan indah.
Namun pada tahun-tahun berikutnya hingga sampailah pada saat ini, lokasi tersebut telah mengalami evolusi lingkungan yang sangat-sangat luar biasa.
Pada masa dahulu, tanah adat desa Koto Petai masih panjang mencolok kedalam danau kerinci.
Menurut beberapa orang yang kami tanyakan dalam wawancara tanggal 1 Mei 2019, banyak yang mengatakan bahwa sebenarnya tanah adat desa Koto Petai masih terbentang luas hingga kedalam permukaan danau kerinci saat ini.
(Potret Gambaran Pantai di Desa Koto Petai)
Mereka mengatakan bahwa sebelum adanya proyek pengambilan pasir yang secara besar-besaran menyedot pasir di perairan pantai desa Koto Petai pada tahun 1980-1990, dahulu lebih dari 100 meter tanah tersebut masih utuh dan terbentang luas hingga 100 meter lebih kedalam danau kerinci.
Namun kini setelah adanya proyek pengambilan pasir tersebut, maka tanah adat tersebut-pun menjadi hilang karena tidak ada lagi pasir yang menahan hempasan ombak selama bertahun-tahun. Hal tersebutlah yang membuat tanah adat yang indah tersebut menjadi terkikis sedikit demi sedikit dan akhirnya lenyap dan hilang.
Menurut masyarakat setempat, tanah adat yang dahulunya membentang kedalam danau kerinci saat ini memiliki panorama yang sangat indah. Ada ratusan pohon kelapa yang memenuhi bibir danau, serta juga memiliki pasir putih yang sangat banyak. Namun kini tanah adat tersebut telah menghilang, yang tersisa hanyalah pantai yang selebar 10 meter.
3). Menilik kesimpulan oleh peneliti
Melihat beberapa pendapat di atas mengenai asal-usul nama desa Koto Petai, maka kami selaku penulis tidak bisa memutuskan pendapat manakah yang paling benar. Karena masing-masing pendapat tersebut memiliki bukti-bukti yang sangat kuat dan kongkrit.
Namun jika ingin berpendapat, maka menurut pedapat kami mengenai dua pendapat tersebut di atas yang paling logis dan kuat ialah pendapat yang pertama. Mengapa demikian? Karena pendapat pertama memiliki beberapa bukti yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada pendapat yang kedua.
Teori pertama yang mengatakan bahwa desa Koto Petai di ambil dari kata Kotak Peti—sangatlah kongkrit. Karena pada saat ini-pun masih ada beberapa orang warga yang menggunakan Kotak Peti tersebut. Hanya saja Kotak Peti tersebut tidaklah banyak seperti pada masa dulu.
C. Fase Perkembangan Kotak Peti di Desa Koto Petai
Pada masa dahulu, selain dari pada lemari-lemari—masyarakat desa Koto Petai lebih banyak yang menggunakan peti-peti untuk menyimpan barang-barang mereka. Karena menurut mereka bahwa menyimpan barang-barang di dalam kotak peti jauh lebih aman. Karena Kotak Peti tersebut terbuat dari besi yang kuat serta juga memiliki kunci.
Selain itu juga, kelebihan menyimpan barang-barang di dalam Kotak Peti menurut mereka dapat membuat kita mudah untuk membawanya kemanapun jika kita ingin pergi.
Selain itu juga, pada masa dahulu masyarakat desa Koto Petai belum mengenal lemari-lemari seperti yang dipakai oleh masyarakat di zaman sekarang ini, maka dari itulah mereka menggunakan peti-peti untuk menjadi tempat penyimpanan barang.
Fase-fase perkembangan budaya kotak peti di desa Koto Petai :
1.) Abad ke 17-18 (sebelum kemerdekaan Indonesia)
Menurut Pak Sukani (76 Tahun) mengatakan bahwa perkembangan kotak peti telah dimulai sebelum beliau lahir.
Karena banyaknya sesepuh desa dan tokoh adat yang sudah meninggal, jadi kami sangat kesulitan untuk mendapatkan sumber-sumber yang begitu kongkrit mengenai perkembangan kotak peti di masa ini dengan maksimal.
Namun jika mendengar kebanyakan cerita dari sesepuh desa yang masih tersisa saat ini, kebanyakan mereka mengatakan bahwa kotak peti telah ada sebelum masa kelahiran mereka. Dan masyarakat desa koto petai pada zaman dahulu sangat banyak yang menggunakan peti untuk menyimpan barang-barang di rumah mereka.
2). Mulai Abad ke 19 - pada masa kemerdekaan Indonesia
Menurut Pak Sukani yang lahir tiga tahun sebelum tahun kemerdekaan Indonesia—beliau mengatakan bahwa pada masa ini penggunaan kotak peti berada pada puncak eksistensinya.
Karena saat itu adalah pada masa kecil beliau, beliau melihat setiap rumah warga pada masa tersebut semuanya menggunakan kotak peti untuk menjadi alat ataupun tempat penyimpanan barang milik mereka.
Juga menurut Hj. Aminah yang lahir 6 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia (79 tahun yang lalu), beliau juga mengatakan hal yang sama ketika ditanyakan mengenai hal tersebut. Bahwa pada masa itu semua rumah di Desa Koto Petai menggunakan kotak peti sebagai alat untuk menyimpan barang-barang berharga meilik mereka.
3). Setelah masa kemerdekaan sampai pada tahun 1965.
Pada masa ini perkembangan kotak peti di desa Koto Petai masih sangat marak sekali. Masyarakat juga masih menjaga tradisi tersebut dengan sangat baik seperti para pendahulu mereka.
Mereka juga menggunakan peti-peti sebagai alat untuk menyimpan barang-barang berharga milik mereka. Seperti perhiasan, buku-buku, dan juga pakaian-pakaian milik mereka.
4). Tahun 1965 sampai 1990.
Pada awal-awal masa ini, entah mengapa minat masyarakat desa Koto Petai kepada lemari-lemari yang sebelumnya tidak mereka hiraukan itu justru menjadi minat mereka. Satu persatu rumah di desa Koto Petai mulai menggunakan lemari sebagai alat untuk menyimpan barang-barang mereka.
Kendati demikian, pada awal-awal masa ini masyarakat desa Koto Petai sebenarnya juga masih tetap menggunakan peti-peti sebagai tempat penyimpanaan barang mereka—walaupun mereka juga menggunakan lemari. Jadi pada awal masa ini mereka menggunakan dua alat untuk menyimpan barang berharga milik mereka. Yaitu kotak peti dan lemari.
5). Mulai tahun 1990 hingga sekarang.
Di ujung fase yang sebelumnya, minat masyarakat desa Koto Petai terhadap kotak peti sudah mulai menurun. Sehingga pada awal masa ini (1990) kebanyakan mereka sudah banyak yang tidak menggunakannya lagi sebagai alat untuk menyimpan barang.
Seiring berkembangnya zaman, lemari-lemari terlihat semakin menarik sehingga mengalahkan eksistensi kotak peti.
Kotak peti yang pada awalnya digunakan sebagai tempat penyimpanan barang berharga justru berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan alat-alat perkakas seperti parang, makanan dan juga buah-buahan.
Hingga sampailah pada saat sekarang ini, kotak peti di desa Koto Petai semakin sedikit dan semakin susah untuk dicari. Kebanyakan masyarakat sudah lama tidak menggunakannya lagi.
Dan sampai pada saat penelitian ini, tercatat adalah beberapa orang warga yang masih menyimpannya dirumah. Hanya saja fungsinya sudah berubah. Bahkan ada yang menggunakan peti tersebut untuk memerang buah kuaini yang belum masak.
Itulah sejarah mengenai budaya dan asal-usul nama desa Koto Petai, yaitu di ambil dari kata Kotak Peti.
Desa Koto Petai adalah nama sebuah Desa yang terletak di Kabupaten Kerinci, Jambi, Indonesia. Daerah ini tepatnya berada di Kecamatan Danau Kerinci. Jumlah Penduduk di desa Koto Petai lebih kurang mencapai 1061 jiwa, yang terdiri dari 517 laki-laki dan 544 perempuan.
Keberadaan Desa Koto Petai cukup m
enarik dan juga strategis, yaitu berdampingan langsung dengan bibir Danau Kerinci. Hal inilah yang membuat banyaknya kaum bapak-bapak di desa ini yang memilih berprofesi sebagai nelayan—walaupun sebenanrnya nelayan adalah pekerjaan sampingan bagi mereka.
Sebagian besar profesi masyarakat di desa ini terdiri dari : Petani, Buruh, Pekerja Kantoran, Pegawai Negeri, Pelajar, dan juga Nelayan. Bisa dikatakan, angka pengangguran di desa ini sangatlah kecil. Hanya berkisar 3% dari 100%. Jadi, 97% masyarakat di desa ini sudah memiliki profesinya masing-masing.
Wilayah Desa Koto Petai tepatnya ialah berada di wilayah Tanco (Tanah Cogok). Wilayah Desa Koto Petai di bagian Timur berbatasan dengan persawahan dan sebagian danau kerinci, bagian Barat berbatasan dengan desa Ujung Pasir, bagian Utara berbatasan dengan desa Koto Salak, dan di bagian Selatan berbatasan langsung dengan Danau Kerinci.
Jika mendengar nama desa Koto Petai, secara tidak langsung maka orang-orang akan menduga bahwa nama tersebut menunjukkan nama buah-buahan, yaitu buah Petai. Akan tetapi realitanya sekali-kali bukanlah demikan.
Mayoritas penduduk yang ada di desa Koto Petai semuanya adalah Muslim. Masyarakatnya adalah penganut Islam yang taat. Yang dimaksud dengan taat disini ialah budaya Islam di desa ini masih amat kental dan juga masih terjaga dengan baik. Hal tersebut dapat kita temukan jika kita berkunjung langsung ke desa ini.
Di desa Koto Petai, semua wanita-wanita di sini selalu mengenakkan hijabnya walaupun sebenarnya tidak ada peraturan desa dan juga peraturan adat yang mengharuskannya. Di malam hari, maka kita akan mendapati nuansa yang sangat berbeda sekali di sini, kita akan mendengar suara mikrofon yang saling bersahutan untuk melantumkan bacaan ayat-ayat suci alqur’an.
Disamping itu juga, di Desa Koto Petai juga tidak dibolehkan organ band. Jika ada pemuda-pemudi di desa ini yang menikah, maka tidak boleh mengundang organ tunggal—karena hal tersebut hanya menghambur-hamburkan uang. Selain itu juga para ulama dan adat setempat juga melarang bermain musik—karena menurut mereka bahwa lebih dari separuh musik itu dapat membawa kita kepada syetan dengan jalan ratapan.
Jika kita ingin bermain gitar di desa ini, maka janganlah di tempat umum. Jika ingin bermain gitar haruslah secara diam-diam supaya tidak ketahuan oleh orang-orang, karena bila kita kedapatan bermain gitar—maka kita akan di denda oleh adat.
Kentalnya Islam di desa ini, semuanya tidak lepas dari peran-peran para ulama terdahulu yang begitu serius dalam menanamkan nilai-nilai Islam di desa ini. Peran ulama tersebut diwacanakan ke dalam pendidikan pondok pesantren yang ada di desa Koto Petai.
Menurut Abdul Salam salah satu warga desa Koto Petai, beliau mengatakan bahwa sekitar 40 tahun yang lalu, di desa Koto Petai ini masih berdiri sebuah pesantren yang cukup besar pada masa itu. Nama pesantren tersebut ialah Pesantren Tarbiyah Islamiyah. Kini telah berubah nama menjadi pesantren Almuhsinin.
Pesantren Tarbiyah Islamiyah berdiri pada tahun 1940 oleh seorang ulama besar di desa ini, yaitu KH. Abdul Malik Imam. Beliau adalah alumni dari Pesantren padang panjang. Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan beliau di sana, lalu beliau kembali pulang dan mendirikan sebuah pesantren yang dinamai dengan pesantren Tarbiyah Islamiyah.
Pesantren ini cukup besar pada waktu itu, karena jumlah muridnya hampir mencapai 1000 santri. Mayoritas para santrinya ialah berasal dari desa Koto Petai, Desa sekitar dan bahkan ada juga yang berasal dari luar daerah Kabupaten Kerinci.
2. Sejarah Desa Koto Petai
Koto Petai, mendengar nama desa tersebut—maka secara langsung kita menduga bahwa nama tersebut di amabil dari nama buah-buahan, yaitu buah Petai. Namun dugaan tersebut benar-benar salah dan amat jauh berbeda dari realita yang sebenarnya.
Mengenai sejarah asal-usul nama desa Koto Petai, kami selaku peneliti dan juga penulis mendapatkan beberapa sumber tentang sejarah desa Koto Petai, yaitu sebagai berikut :
1). Teori Kotak peti tempat penyimpanan barang
Menurut Abdul Majib, seorang sesepuh desa yang telah meninggal pada beberapa waktu yang lalu, sebelum itu secara tidak sengaja kami sempat mewawancarai Almarhum dan juga sempat menanyakan tentang asal-usul nama desa Koto Petai kepada beliau.
Mengenai sejarah asal-usul nama desa Koto Petai, beliau mengatakan bahwa nama desa Koto Petai itu diambil dari kata “Kutok Petai” yang berarti Kotak Peti.
Selain itu, menurut sejarah dan juga beberapa sumber dari tokoh adat setempat, seperti tokoh adat Jalaluddin (Almarhum) dalam wawancara oleh Abdul Salam pada tanggal 25 Desember 2008, beliau mengatakan bahwa nama desa Koto Petai diambil dari kata Petai yang berarti Peti dalam bahasa Indonesia.
Peti yang dimaksudkan disini ialah peti-peti yang digunakan oleh masyarakat pada zaman dahulu untuk menyimpan barang-barang berharga milik mereka.
(Foto Kotak Peti Kuno di Desa Koto Petai)
Menurut para sesepuh desa (Hj. Aminah 79 tahun), semua rumah pada zaman dahulu di desa Koto Petai memiliki beberapa peti khusus yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyimpan barang-barang berharga milik keluarga mereka. Peti tersebut umumnya terbuat dari besi.
Ukuran peti tersebut tidak bisa ditetapkan, karena ukurannya berbeda-beda. Mulai dari yang lebarnya 40 cm dan panjangnya 70 cm—hingga yang panjangnya mencapai 150 cm atau lebih. Kebanyakan peti-peti tersebut terbuat dari besi.
Karena desa ini terkenal dengan banyaknya peti-peti, maka akhirnya desa ini dijuluki dengan nama desa Koto Petai.
Koto Petai, terdiri dari dua kata, yaitu Koto dan Petai. Selain dari pada pendapat pertama yang mengatakan bahwa asal-usul kata Koto adalah diambil dari kata Kutok (Kotak). Ada-pula pendapat kedua yang mengatakan bahwa kata Koto itu berasal dari bahasa minang, karena pada masa dulu, kerinci berada dalam kawasan sumatera barat, maka karena itulah budaya dan bahasa kerinci banyak memiliki kesamaan dengan budaya dan bahasa minang. Pendapat ketiga, kata "koto" itu diambil dari kata Koto itu sendiri tanpa merubah sedikitpun penyebutannya.
Dalam bahasa Kerinci, kata Koto seringkali dikaitkan dengan makna yang menunjukkan kepada sesuatu yang banyak. Contohnya ialah desa Koto Salak (Tetangga desa Koto Petai) yang di ambil dari nama pohon salak, karena pada masa dahulu konon di Desa Koto Salak terdapat banyak sekali pohon salak, namun kini telah punah dan menghilang.
Maka dinamakanlah desa tersebut dengan desa Koto Salak untuk menunjukkan bahwa di daerah tersebut pada zaman dahulu banyak terdapat pohon-pohon salak.
Contoh lain ialah desa Koto Padang. Desa ini hanya berjarak sekitar 4 Kilometer dari desa Koto Salak. Nama Koto Padang diambil dari kata Padang yang jika dibahasa Indonesiakan akan berarti Pedang.
Jadi, pada zaman dahulu di desa ini banyak sekali orang-orang yang pandai besi yang memiliki kelihaian dalam membuat pedang dan alat-alat perkakas lainnya.
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat masyarakat desa Koto Padang dizaman sekarang, mereka juga masih membudayakan budaya tersebut secara turun temurun kepada generasi ke generasi.
(Peti kuno desa koto petai) |
Jika kita lewat di desa Koto Padang, maka kita akan mendapati banyak sekali orang-orang yang membuat pedang dan parang di sepanjang jalanan pendesaan tersebut. Karena banyaknya orang yang pandai membuat pedang di desa ini, maka desa ini-pun diberi nama dengan desa Koto Padang, yang menunjukkan bahwa di desa tersebut banyak terdapat Pedang.
Jadi, desa Koto Petai-pun juga demikian. Nama desa tersebut diambil dari kata Kotak Peti yang menurut cerita pada zaman dahulu di desa ini banyak sekali terdapat peti-peti yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyimpan barang-barang mereka. Maka menurut teori pertama ini nama Desa Koto Petai diambil dari kata Kotak Peti.
2. Teori Koto Pantai
Pendapat ini pertama-tama diambil dari letak wilayah desa Koto Petai yang pada era dahulu memiliki bibir danau (Pantai) yang sangat indah.
Jika melihat wilayah di desa Koto Petai pada masa sekarang ini, maka kita juga akan menemukan hal yang sama. Sampai pada saat ini, di desa Koto Petai pun masih terdapat pantai yang berdampingan langsung dengan bibir danau kerinci, hanya saja lokasi tersebut terdapat perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan zaman dulu.
Pada era tahun 1980-an, pantai yang terletak di Desa Kotai ini masih sangat bagus dan indah.
Namun pada tahun-tahun berikutnya hingga sampailah pada saat ini, lokasi tersebut telah mengalami evolusi lingkungan yang sangat-sangat luar biasa.
Pada masa dahulu, tanah adat desa Koto Petai masih panjang mencolok kedalam danau kerinci.
Menurut beberapa orang yang kami tanyakan dalam wawancara tanggal 1 Mei 2019, banyak yang mengatakan bahwa sebenarnya tanah adat desa Koto Petai masih terbentang luas hingga kedalam permukaan danau kerinci saat ini.
(Potret Gambaran Pantai di Desa Koto Petai)
Mereka mengatakan bahwa sebelum adanya proyek pengambilan pasir yang secara besar-besaran menyedot pasir di perairan pantai desa Koto Petai pada tahun 1980-1990, dahulu lebih dari 100 meter tanah tersebut masih utuh dan terbentang luas hingga 100 meter lebih kedalam danau kerinci.
Namun kini setelah adanya proyek pengambilan pasir tersebut, maka tanah adat tersebut-pun menjadi hilang karena tidak ada lagi pasir yang menahan hempasan ombak selama bertahun-tahun. Hal tersebutlah yang membuat tanah adat yang indah tersebut menjadi terkikis sedikit demi sedikit dan akhirnya lenyap dan hilang.
Menurut masyarakat setempat, tanah adat yang dahulunya membentang kedalam danau kerinci saat ini memiliki panorama yang sangat indah. Ada ratusan pohon kelapa yang memenuhi bibir danau, serta juga memiliki pasir putih yang sangat banyak. Namun kini tanah adat tersebut telah menghilang, yang tersisa hanyalah pantai yang selebar 10 meter.
3). Menilik kesimpulan oleh peneliti
Melihat beberapa pendapat di atas mengenai asal-usul nama desa Koto Petai, maka kami selaku penulis tidak bisa memutuskan pendapat manakah yang paling benar. Karena masing-masing pendapat tersebut memiliki bukti-bukti yang sangat kuat dan kongkrit.
Namun jika ingin berpendapat, maka menurut pedapat kami mengenai dua pendapat tersebut di atas yang paling logis dan kuat ialah pendapat yang pertama. Mengapa demikian? Karena pendapat pertama memiliki beberapa bukti yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada pendapat yang kedua.
Teori pertama yang mengatakan bahwa desa Koto Petai di ambil dari kata Kotak Peti—sangatlah kongkrit. Karena pada saat ini-pun masih ada beberapa orang warga yang menggunakan Kotak Peti tersebut. Hanya saja Kotak Peti tersebut tidaklah banyak seperti pada masa dulu.
C. Fase Perkembangan Kotak Peti di Desa Koto Petai
Pada masa dahulu, selain dari pada lemari-lemari—masyarakat desa Koto Petai lebih banyak yang menggunakan peti-peti untuk menyimpan barang-barang mereka. Karena menurut mereka bahwa menyimpan barang-barang di dalam kotak peti jauh lebih aman. Karena Kotak Peti tersebut terbuat dari besi yang kuat serta juga memiliki kunci.
Selain itu juga, kelebihan menyimpan barang-barang di dalam Kotak Peti menurut mereka dapat membuat kita mudah untuk membawanya kemanapun jika kita ingin pergi.
Selain itu juga, pada masa dahulu masyarakat desa Koto Petai belum mengenal lemari-lemari seperti yang dipakai oleh masyarakat di zaman sekarang ini, maka dari itulah mereka menggunakan peti-peti untuk menjadi tempat penyimpanan barang.
Fase-fase perkembangan budaya kotak peti di desa Koto Petai :
1.) Abad ke 17-18 (sebelum kemerdekaan Indonesia)
Menurut Pak Sukani (76 Tahun) mengatakan bahwa perkembangan kotak peti telah dimulai sebelum beliau lahir.
Karena banyaknya sesepuh desa dan tokoh adat yang sudah meninggal, jadi kami sangat kesulitan untuk mendapatkan sumber-sumber yang begitu kongkrit mengenai perkembangan kotak peti di masa ini dengan maksimal.
Namun jika mendengar kebanyakan cerita dari sesepuh desa yang masih tersisa saat ini, kebanyakan mereka mengatakan bahwa kotak peti telah ada sebelum masa kelahiran mereka. Dan masyarakat desa koto petai pada zaman dahulu sangat banyak yang menggunakan peti untuk menyimpan barang-barang di rumah mereka.
2). Mulai Abad ke 19 - pada masa kemerdekaan Indonesia
Menurut Pak Sukani yang lahir tiga tahun sebelum tahun kemerdekaan Indonesia—beliau mengatakan bahwa pada masa ini penggunaan kotak peti berada pada puncak eksistensinya.
Karena saat itu adalah pada masa kecil beliau, beliau melihat setiap rumah warga pada masa tersebut semuanya menggunakan kotak peti untuk menjadi alat ataupun tempat penyimpanan barang milik mereka.
Juga menurut Hj. Aminah yang lahir 6 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia (79 tahun yang lalu), beliau juga mengatakan hal yang sama ketika ditanyakan mengenai hal tersebut. Bahwa pada masa itu semua rumah di Desa Koto Petai menggunakan kotak peti sebagai alat untuk menyimpan barang-barang berharga meilik mereka.
3). Setelah masa kemerdekaan sampai pada tahun 1965.
Pada masa ini perkembangan kotak peti di desa Koto Petai masih sangat marak sekali. Masyarakat juga masih menjaga tradisi tersebut dengan sangat baik seperti para pendahulu mereka.
Mereka juga menggunakan peti-peti sebagai alat untuk menyimpan barang-barang berharga milik mereka. Seperti perhiasan, buku-buku, dan juga pakaian-pakaian milik mereka.
4). Tahun 1965 sampai 1990.
Pada awal-awal masa ini, entah mengapa minat masyarakat desa Koto Petai kepada lemari-lemari yang sebelumnya tidak mereka hiraukan itu justru menjadi minat mereka. Satu persatu rumah di desa Koto Petai mulai menggunakan lemari sebagai alat untuk menyimpan barang-barang mereka.
Kendati demikian, pada awal-awal masa ini masyarakat desa Koto Petai sebenarnya juga masih tetap menggunakan peti-peti sebagai tempat penyimpanaan barang mereka—walaupun mereka juga menggunakan lemari. Jadi pada awal masa ini mereka menggunakan dua alat untuk menyimpan barang berharga milik mereka. Yaitu kotak peti dan lemari.
5). Mulai tahun 1990 hingga sekarang.
Di ujung fase yang sebelumnya, minat masyarakat desa Koto Petai terhadap kotak peti sudah mulai menurun. Sehingga pada awal masa ini (1990) kebanyakan mereka sudah banyak yang tidak menggunakannya lagi sebagai alat untuk menyimpan barang.
Seiring berkembangnya zaman, lemari-lemari terlihat semakin menarik sehingga mengalahkan eksistensi kotak peti.
Kotak peti yang pada awalnya digunakan sebagai tempat penyimpanan barang berharga justru berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan alat-alat perkakas seperti parang, makanan dan juga buah-buahan.
Hingga sampailah pada saat sekarang ini, kotak peti di desa Koto Petai semakin sedikit dan semakin susah untuk dicari. Kebanyakan masyarakat sudah lama tidak menggunakannya lagi.
Dan sampai pada saat penelitian ini, tercatat adalah beberapa orang warga yang masih menyimpannya dirumah. Hanya saja fungsinya sudah berubah. Bahkan ada yang menggunakan peti tersebut untuk memerang buah kuaini yang belum masak.
Itulah sejarah mengenai budaya dan asal-usul nama desa Koto Petai, yaitu di ambil dari kata Kotak Peti.
Asal koto itu biasa nya dari sumbar yg arti nya kota (tempat orang ramai atau kampung) krn kab.kerinci yg dulu nya tmasuk dlm provinsi sumbar, maka nya di kerinci byk desa yg diawali dgn kata "KOTO" ini efek dr pengaruh org minang. ada yg mengatakan asal mula nya desa koto petai itu adalah ,koto petani, koto pantai dan koto petai, nah kenapa koto petai ini populer dan melekat sampai skrg, ini dikarenakan pengaruh dr belanda yg konon nya setiap memberi hukuman kepada masyarakat diikat di pohon petai, mmg dulu nya byk pohon petai yg besar2..(konon cerita dr orang tua yg tdahulu)
ReplyDelete