BUS PENYELAMAT - PART 26
Sindi terdiam seribu bahasa tanpa kuasa untuk berkutik walau sedikit pun. Ternyata suara yang menyeramkan itu keluar dari mulut Buk Tiah. Ia tak pernah menyangka wanita yang biasanya sangat ramah dan selalu menyajikan makanan siang dan malam untuk mereka itu ternyata punya sisi lain yang sangat menakutkan.
“Anu.. Iya, buk, iya... Kami terpaksa meminta bantuan Pak Tanjo untuk menemani kami mewawancarai beberapa warga, karena Buyung dan Ole tidak ada, jadi kami pun memutuskan untuk meminta bantuannya” dengan setengah gugup Sindi memberikan jawaban. Dari raut wajahnya itu, terlihat jelas bahwa ia sedang gemetar dan teramat gugup.
Tanpa sepatah kata pun, wanita itu kemudian segera minggat dari mulut pintu di lantai dua. Masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Saat itu Sindi dan dua orang temannya tidak tahu harus berbuat apa, mereka bertiga terlihat bagaikan orang asing yang ditolak bertamu oleh tuan rumah. Terusir.
“Ssst... Jangan dihiraukan. Buk Tiah sedang ada masalah, jadi begitulah beliau. Jangan hanya diam di situ, ayo masuk...” Ole berseru dengan nada yang setengah berbisik dari balkon rumah. Buyung juga turut memberikan isyarat dengan mata dan mulutnya untuk menyuruh mereka bertiga segera masuk. Sindi dan dua orang temannya itu masih terpaku dan saling memandang antara satu sama lain. Tidak lama kemudian, Meri pun menunjuk dengan bibirnya, memberi isyarat agar Sindi segera masuk memimpin jalan. Sindi pun mengikutinya.
Saat Sindi mulai melangkah, tiba-tiba saja Irma jatuh ke tanah. Mukanya tampak begitu pucat. Dengan setengah panik Meri langsung menahannya dengan kedua tangan, beruntunglah ia berhasil menggapainya. Irma tidak pingsan, akan tetapi dia hanya merasakan sakit di bagian dada kirinya. Tampaknya bentakan dan hardik yang dilontarkan Buk Tiah tadi telah membuatnya jantungan. Beruntunglah Irma masih bisa bangun dan kemudian dibantu oleh Buyung dan Ole untuk berjalan menaiki tangga menuju kamar. Tidak lama kemudian, syukurlah kondisinya itu kembali membaik seperti semula.
Buyung dan Ole bertanya-tanya melihat kondisi Irma yang tiba-tiba saja jatuh dengan wajah yang begitu pucat, sehingga mereka berdua pun bertanya kepada Sindi dan Meri mengenai hal tersebut. Sindi dan Meri pun menceritakan semuanya kepada mereka.
Saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Setelah menyajikan makan malam dengan wajah yang muram, Buk Tiah segera minggat dan pergi keluar rumah entah kemana. Sepertinya beliau masih memendam amarah yang begitu besar kepada Sindi dan dua orang temannya itu, karena mereka tidak mau menuruti kata-kata beliau tentang sosok Tanjo yang menurutnya adalah orang yang sangat jahat. Selama acara makan malam itu berlangsung, sepatah kata pun tidak ada yang terdengar keluar dari mulut Sindi, Meri maupun Irma. Sepertinya mereka bertiga benar-benar sudah tidak merasa nyaman lagi berada di rumah tersebut. Gelisah.
“Sindi, dari manakah kau membeli botol kaca yang cantik ini? Tolong beritahu aku, aku ingin sekali membelinya” Tiba-tiba Buyung muncul di depan mulut kamar mereka sembari menenteng botol bir yang kemarin diminum oleh Meri dan Irma. Mendengar pertanyaan yang penuh sindiran itu, Sindi pun menjadi gugup dan ragu-ragu untuk menjawabnya.
Saat itu, wajah Irma mulai tampak berubah. Rasa takut menjalar memenuhi dada dan kepalanya. Ia segera meraih tas kecilnya itu untuk mengambil obat, dan kemudian meneguk dua butir pil penenang untuk menenangkan situasi hatinya yang sudah mulai berkalut. Saat itu, Buyung masih beridiri di depan mulut pintu kamar tersebut, memandangi mereka.
“Owh itu, itu bukan milik Sindi, tapi itu milikku” Kata Meri dengan cepat memotong. “Owh ternyata botol cantik ini milikmu, Meri. Kau benar-benar hebat” Buyung menatap mereka bertiga dengan tatapan yang dingin.
“Hebat bagaimana maksudmu? Aku tidak mengerti” Meri berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, akan tetapi jauh di dalam lubuk hatinya itu ia benar-benar sedang merasa gugup dan kaku.
“Sindi, apakah kau tidak memberitahu mereka tentang ucapan yang disampaikan oleh Pak Muradi kepadamu beberapa hari yang lalu saat kita berkunjung ke rumahnya?” Kali ini Buyung terlihat lebih agresif dari sebelumnya. Meskipun ia masih berusaha untuk bersikap lebih dingin dan tenang, akan tetapi Sindi dan Meri bisa merasakan ada kemarahan yang teramat mendalam di balik dingin dan tenangnya sikap Buyung tersebut. Sindi tidak bisa mejawabnya.
Suasana di rumah kayu itu terasa pengap dan panas. Situasi mulai terasa aneh dan tidak seperti malam-malam yang biasanya. Sangat menegangkan. Saat itulah sindi teringat dengan ucapan karyawan toko beberapa hari yang lalu sebelum ia datang ke desa Serampeh. Ia sangat menyesal karena tidak mau mendengarkan ucapan wanita tersebut. Teringat pula ia dengan wajah sang doesn yang keras kepala itu, yang bersikeras menyuruhnya untuk melakukan penelitian di desa tersebut, entah mengapa sejak saat itu Sindi pun mulai membencinya.
“Bagus, bagus. Kau benar-benar luar biasa, Sindi. Istirahatlah dengan tenang, semoga malam ini akan menjadi malam yang indah bagi kalian semua. Selamat beristirahat” Buyung pun beranjak dari mulut pintu dengan wajahnya yang begitu dingin. Sepertinya dua orang pria itu telah pergi entah kemana. Suasana di kamar itu pun berubah menjadi hening dan sunyi bagai kuburan.
Dalam beberapa saat kemudian, kesunyian itu pun segera berlalu. “Meri, aku sudah memperingatkan kalian berdua agar tidak meminum minuman tersebut, tapi kalain berdua malah tak menghiraukannya. Huh, ya sudahlah, mau bagaimana lagi, ini semua sudah terjadi” Sindi meletakkan kedua tangan di wajahnya. Meringkup di sudut kamar dengan suasana hati yang berkalut hebat.
Meri dan Irma merasa sangat bersalah atas apa yang telah mereka lakukan di hari kemarin. Mereka menyesal karena tidak mau menindahkan teguran Sindi. Tidak ada yang bisa mereka ucapakan selain dari pada meminta maaf kepada temannya tersebut. Saat itu, tiba-tiba terdengarlah bunyi suara pintu yang dibanting dengan begitu keras dari luar kamar. Sindi dan dua orang temannya itu menjadi kaget. Tampaknya itu adalah suara dari pintu depan. Siapakah yang membantingnya?
Sindi dan Meri memberanikan diri mereka keluar dari kamar tersebut untuk mencari tahu apakah gerangan yang sedang terjadi di sana. Sedangkan Irma, ia memilih untuk tetap berada di dalam kamar tanpa berani untuk beranjak walau sedikitpun.
“Buyung... Ole... Apa yang terjadi?” Sindi dengan ragu-ragu melangkah menuju balkon rumah. Pintu rumah saat itu tampak menganga. Selama dua menit berdiri di ruangan tamu tanpa menemukan jawaban sedikitpun, akhirnya mereka berdua pun memberanikan diri untuk berjalan keluar melewati pintu tersebut.
“Buyung... Ole... Apakah kalian masih berada di luar sana?” Sindi kembali memanggil kedua orang pemandunya itu dengan suara yang tergagap. Akan tetapi lagi-lagi tak ada jawaban yang menyahutinya. Tidak ada pilihan lain, mereka berdua pun segera berjalan keluar menuju balkon rumah.
“Huuuhh...” Angin malam bertiup kencang meniupi wajah dan rambut mereka ketika mereka tepat berada di depan mulut pintu. Keadaan di balkon rumah dan di luar sana masih terkesan sunyi dan mencekam. Tidak ada suara apapun selain dari pada rintihan dahan-dahan dan juga daun-daunan pepohonan yang tertiup oleh angin. Ternyata tidak ada siapapun yang berada di luar sana. Balkon rumah tampak kosong.
“Huuh” Meri mengelus dadanya. Lega. Ternyata pintu itu tidak terkunci, sehingga dengan mudahnya terbuka dan terbanting oleh angin. Mereka berdua segera menutup pintu tersebut, dan kemudian kembali berjalan menuju kamar.
Belum sempat mereka melewati pintu kamar tersebut, tiba-tiba pintu depan yang baru saja mereka tutup itu digedor oleh seseorang dari luar. Bukan main kagetnya mereka pada saat itu. Bagaimana tidak, suara ketukan itu sangat keras sekali.
“Tunggu sebentar!” Sindi menyahut dengan setengah berteriak sambil berjalan menuju ke arah pintu untuk membukakannya. Mungkin itu adalah Buk Tiah yang baru pulang dari suatu tempat.
Sebelum membuka pintu tersebut, Sindi tampak begitu tegang sekali di depan pintu. Ia bahkan sampai manarik nafas beberapa kali untuk mempersiapkan dirinya sebelum ia berhadapan langsung dengan wanita tersebut. Dia harus menyambut Buk Tiah dengan ramah, semoga saja cara tersebut dapat membuat hati Buk Tiah menjadi luluh, sehingga ia tidak lagi marah-marah dan bermuka masam kepada Sindi dan kedua orang temannya itu.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment