BUS PENYELAMAT - PART 25
“Begini, dengarkan aku dulu, sebenarnya aku dan Meri sedang mencari cara untuk memberitahumu, karena kami takut apa yang kami katakan nantinya itu akan membuatmu menjadi kaget, sehingga membuat penyakitmu itu menjadi kambuh, itulah yang membuat kami berdua memutuskan untuk menutupinya darimu dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahumu. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk membuka semuanya, karena keadaan sudah mulai terasa tidak aman. Sekali lagi kami berdua ingin meminta maaf kepadamu, kami tidak punya maksud lain sedikit pun.” Meri meletakkan tangannya di atas paha Irma, ia sedang berusaha untuk membujuknya. Syukurlah Irma segera memahami situasi.
“Paman, selain dari buku ini, apakah Paman juga punya barang bukti lain seperti foto misalnya?” Meri menaikkan alis matanya. Paman Tanjo hanya menjawabnya dengan gelengan kecil. Tidak ada.
“Baiklah, begini, Paman. Kami punya sebuah rencana.” Sekali lagi Sindi membenahi posisi duduknya. Tatap matanya tampak begitu dalam dan serius, sehingga membuat Tanjo dan Irma bahkan juga ikut maju mendekatkan telinga mereka untuk mendengarkan lebih jelas.
“Apa rencana kalian?” Tanya Paman Tanjo dengan raut muka yang tidak sabar.
“Di tengah malam nanti, Meri akan berpura-pura sakit dan tidak sadarkan diri. Aku dan Irma akan berpura-pura panik dan kemudian mendesak Buyung dan Ole untuk segera membawa Meri ke rumah sakit. Jika kami berhasil keluar dari desa ini, maka kami akan segera melaporkan semua kejadian yang terjadi di desa ini kepada polisi. Bagaimana pendapatmu, Paman?” tanya Sindi.
Paman Tanjo terdiam sesaat, tidak lama kemudian dia pun kembali membuka suaranya. “Bagus, itu adalah sebuah rencana yang sangat bagus. Akan tetapi, kalian benar-benar harus berhati-hati, jangan sampai semua rencana kalian ini diketahui oleh siapapun kecuali kita yang berada di rumah ini” Paman Tanjo menyetujui rencana tersebut.
“Baiklah, sebelum malam ini datang, aku ingin segera menyelesaikan penelitianku di desa ini secepatnya, supaya nanti malam aku bisa fokus untuk mempersiapkan semua rencana tersebut” Sindi kembali menyandarkan tubuhnya di kursi kayu.
“Tunggu sebentar,” Paman Tanjo berjalan menuju kamarnya. Tak lama kemudian beliau pun kembali dengan penampilan yang cukup rapi. Beliau juga mengenakkan kacamatanya. Paman Tanjo telah siap untuk menemani Sindi menyelesaikan penelitiannya di hari tersebut.
Saat itu hari telah memasuki waktu siang. Sinar matahari di langit terasa menyengat di kulit. Penelitian di hari terakhir itu telah dimulai. Mereka menemui salah satu warga, kata Paman Tanjo orang tersebut adalah salah satu orang yang menentang Pak Karay dan semua pengikutnya. Beliau adalah Pak Hendri dan Pak Wawan, mereka berdua adalah salah satu dari orang yang mendukung Paman Tanjo.
Sekitar beberapa menit berjalan mengitari area pedesaan dan juga lahan persawahan, akhirnya mereka pun tiba di sebuah ladang jeruk yang subur. Dari kejauhan, terlhat ada sekitar tiga orang yang berada di dalam ladang tersebut. Mereka sedang asyik bekerja dengan cangkul yang ada di tangan.
“Itu, pria yang berbaju merah itu adalah Pak Hendri” Kata Paman Tanjo sambil mengacungkan jemari telunjuknya. Paman Tanjo pun langsung menyapa Pak Hendri dari luar pintu pagar ladangnya tersebut. Singkat cerita, pintu pun di buka dan mereka semua pun segera masuk ke dalamnya.
Setelah berbincang-bincang panjang dengan beliau, barulah diketahui ternyata Pak Hendri ini adalah anak bungsu dari almarhum Pak Depati sang pendiri desa Serampeh. Beliau enam beradik, yang mana keempat orang kakaknya itu telah pergi meninggalkan desa Serampeh sejak tiga tahun lalu, karena mereka sudah tidak tahan lagi terkurung di dalam desa tersebut. Namun, di dalam perjalanan melarikan diri tersebut, empat orang saudara dan saudarinya itu tertangkap oleh anak buah Pak Karay, dan akhirnya keempat orang itu pun dipenggal kepalanya tanpa sedikitpun rasa belas kasih. Kini, tinggallah Pak Hendri bersama dengan Kakaknya Pak wawan. Pak Hendri punya istri dan tiga orang anak, sementara itu Pak Wawan hanya memiliki seorang anak laki-laki yang kini sudah seumuran Sindi dan teman-temannya itu. Semua anak-anak Pak Hendri dan Pak Wawan tidak ada yang sekolah, karena para komplotan orang yang biadab itu tidak mengizinkan anak-anak mereka untuk sekolah sama sekali. Sungguh kelewatan.
Cerita yang didengarnya itu semakin menakutkan, sehingga membuat Irma tak bisa lagi menyembunyikan rasa takutnya. Wajahnya langsung berubah menjadi pucat. Melihat hal tersebut, Meri langsung memeluk Irma dengan begitu erat untuk menanangkannya. Irma menangis, ia tidak ingin mati sia-sia di desa tersebut, ia ingin segera pergi dari desa tersebut dan pulang ke rumahnya untuk menemui orangtuanya.
Tidak ingin lama-lama berbincang di tempat itu, Paman Tanjo pun kemudian segera memaparkan tentang maksud dari kedatangan Sindi beserta teman-temannya itu ke desa tersebut, yaitu untuk melakukan penelitian sebagai syarat untuk menyelesaikan perkuliahannya di kampus. Mendengar cerita dari Paman Tanjo, Pak Hendri dan Kakaknya Pak Wawan pun dengan senang hati untuk membantu Sindi menyelesaikan penelitiannya itu. Penelitian di hari terakhir itu pun dimulai.
Paman Tanjo memenuhi janjinya untuk menemani Sindi pergi mewawancarai dua orang warga desa yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Sekitar beberapa menit menempuh jalan setapak yang sedikit menanjak ke artas bukit, akhirnya mereka pun tiba di lokasi. Seakan tak ingin berlama-lama berada di tempat itu, Sindi segera melakukan penelitiannya secepat mungkin. Dan benar, sekitar satu jam kemudian wawancara dan penelitiannya itu pun berakhir. Sebenarnya masih ada banyak hal yang masih belum ia lakukan, akan tetapi karena mengingat situasi yang sudah begitu genting tersebut, maka dia pun mempersingkat waktu penelitiannya yang biasanya sekitar tiga hingga empat jam itu menjadi satu jam. Selain itu, dia juga tidak ingin berada di tempat itu lebih lama, karena sang narasumber adalah salah satu dari pengikut Pak Karay, penganut aliran sesat alias pemuja setan.
Saat itu jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga sore, Sindi dan teman-temannya kembali menuju rumah Paman Tanjo untuk mematangkan semua rencana yang telah mereka susun sebelumnya. Kata Paman Tanjo, sebaiknya waktu yang tepat untuk menjalankan semua rencana tersebut adalah di waktu pagi sebelum matahari terbit. Agar nanti saat Buyung dan Ole tiba hari sudah terang, sehingga mereka tidak punya alasan untuk menolak desakan Sindi untuk membawa Meri secepatnya ke rumah sakit. Setelah dipikir-pikir, ternyata ada juga benarnya. Jika mereka melakukan aksi mereka di malam hari, tentulah Buyung dan Ole nanti akan beralasan bahwa hari masih gelap dan menyuruh Sindi untuk bersabar menunggu hingga matahari terbit. Benar, rencana pun dirubah.
Sinar matahari perlahan-lahan tampak memudar di ufuk barat. Satu dua para kelelawar mulai keluar dan beterbangan di langit untuk mencari makanan, sementara itu para bango kembali menuju sarangnya untuk berlindung dari kegelapan malam yang tidak lama lagi akan segera menerpa dunia.
Saat itu, Sindi dan dua orang temannya itu baru saja tiba di halaman depan rumah Buk Tiah. Di atas balkon, terlihat ada Buyung dan Ole yang duduk menunggu kepulangan mereka. Mereka tersenyum hangat, sehangat air panas yang sedang menggelegak. Di mata Sindi, semua senyuman hangat itu adalah sebuah kepalsuan, mereka adalah orang yang licik dan kejam.
“Hey.. Dari mana saja kalian? Kami sudah berada di sini sejak pukul 12 siang, tapi kalian malah sudah pergi tanpa berpesan” Buyung berseru dari atas balkon rumah dengan nada yang setengah bercanda.
“Ya iyalah, nungguin kelelawar bangun di siang hari pasti hanyalah sia-sia, kan?. Buyung, tadi pagi kami sudah menunggu kalian dari pukul 7 pagi sampe pukul 10, tapi kalian tidak muncul-muncul juga, akhirnya kami pun memutuskan untuk pergi tanpa kalian” Sindi berusaha untuk menjawabnya dengan nada yang setengah bercanda pula. Ia sedang berusaha untuk menyembunyikan perasaan tidak nyamannya itu kepada dua orang pria tersebut.
“Yelah, hahaha. Maaf maaf, tadi pagi kami benar-benar kesiangan, Sin. Besok kita lanjutin lagi ya, nanti dipotong aja gajinya itu, biar adil. Kamu jangan ngambek, ya” Buyung kembali berusaha untuk membujuk Sindi dengan candaanya. Sindi pun tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalanya.
“Dari mana saja kalian, hah? Aku tahu, kalian pasti dari rumah Tanjo yang keras kepala itu, kan?” Tiba-tiba suara itu terdengar memekik bagaikan halilintar yang menyambar. Sindi dan dua orang temannya itu tersentak, kaget.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment