BUS PENYELAMAT - PART 20

Pria tinggi besar itu berjalan di depan Sindi dan kemudian masuk ke dalam kamar yang tadinya dimasuki oleh Nenek tua itu, ekpresi wajahnya tanpak begitu datar. Ketika melewati Sindi, ia sedikitpun tidak meliriknya. “Siapa itu?” tanya Sindi kepada pria sang penerjemah. “Itu adalah adik ku yang paling bungsu” jawabnya dengan nada yang santai. Belum sempat Sindi kembali membuka mulutnya untuk menanyai pria tersebut, sosok pria tinggi besar itu kembali muncul dari dalam kamar sembari membawa beberapa buah-buahan yang ia letakkan di dalam piring. Ia berjalan menghampiri Sindi dan kemudian menghidangkan makanan tersebut dengan sikap yang ramah sambil tersenyum.

Bus Penyelamat Part 20

Kepala Sindi mulai berputar-putar. Ia bingung, bingung karena tidak menyangka pria yang mengejarnya dua malam yang lalu dengan parang panjang itu ternyata adalah seorang pria yang ramah dan baik. Ia terus menawari Sindi dan menyuruhnya untuk segera mengambil makanan-makanan tersebut. Sindi pun akhirnya memaksakan dirinya tersenyum untuk menghargai keramahan pria tersebut. Pria itu terus berbicara dengan bahasa yang tidak ia pahami.

“Dia menyuruh kau mencicipinya, karena buah-buah itu baru dia petik tadi pagi dari pohonnya” kata sang penerjemah. Sindi pun mulai mengambil salah satu buah tersebut, dan kemudian mulai melahapnya dengan perlahan.

Pikiran Sindi masih dipenuhi berbagai pertanyaan. “Apakah adikmu ini sering keluar di malam hari sambil membawa senjata tajam?” dia memberanikan diri menanyai sang penerjemah.  Sang penerjemah itu pun menganggukkan kepalanya membenarkan perkataan Sindi. “Apa yang dia lakukan? Mengapa dua malam yang lalu dia mengejar kami dengan parang panjang seperti orang yang ingin membunuh?” Sindi kembali menanyai sang penerjemah. Setelah melontarkan pertanyaan itu, entah mengapa tiba-tiba saja ia mulai merasa khawatir dan takut.

Mendengar pertanyaan tersebut, sang penerjemah langsung mengalihkan pandangannya ke wajah adiknya. Ia mulai menanyainya dengan bahasa setempat. Pria tinggi besar itu pun memberikan jawaban dengan ekspresi muka yang santai. Sindi bahkan sampai menyipitkan matanya berusaha keras untuk mencerna ucapan pria itu meski ia tidak memahaminya sedikitpun.

Sang penerjemah menarik nafasnya sejenak sebelum memulai penjelasannya, “Di malam itu memang benar bahwa dia mengejarmu dengan parang yang panjang, akan tetapi pada saat itu sebenarnya dia tidak ingin mencelakaimu. Dia ingin memberitahumu dan memperingatkanmu agar kau tidak bersama pria itu, karena pria itu adalah orang yang jahat. Akan tetapi cara yang dia lakukan pada waktu itu benar-benar salah, karena hal tersebut bukannya akan membuatmu percaya akan tetapi justru membuatmu malah menjadi takut dan salah sangka serta mengira bahwa dia ingin mencelakaimu. Dia meminta maaf padamu atas kejadian yang terjadi di malam itu” kata sang penerjemah sambil melnghadapkan muka ke wajah adiknya. Sindi pun terdiam. Ia sedang menimbang-nimbang semua keterangan yang diucapkan oleh sang penerjemah tersebut, karena ia masih belum begitu mempercayainya.

Nenek tua itu kembali berbicara pada Sindi menggunakan bahasa setempat, Sindiyang masih dilema itu hanya menganggukkan kepalanya selama Nenek Tua itu bertutur kepadanya. Ketika dia telah menyelesaikan ucapannya itu, anaknya sang penerjemah langsung menjelaskan kembali maksud dari ucapan ibunya  tersebut.

“Sekarang ini adalah malam di pertengahan bulan, mulai dari malam yang ke tiga belas hingga malam yang ke tujuh belas, orang-orang jahat itu akan melakukan ritual dengan megorbankan nyawa-nyawa binatang yang mereka bunuh sampai pada malam yang ke enam belas. Di malam ritual yang terakhir atau malam yang ke tujuh belas, mereka akan membunuh dua orang wanita perawan untuk dijadikan tumbal. Aku khawatir pada mu dan juga dua orang temanmu itu. Sebaiknya kalian bertiga hati-hati dengan dua pria yang bersama kalian itu, karena mereka berdua itu adalah salah satu dari anggota mereka. Selesaikan pekerjaanmu di desa ini secepatnya agar kau bisa pulang sebelum malam bulan yang ke tujuh belas. Jangan keluar di malam hari, dan jangan lupa kenakkan kalung yang kuberikan ini, semoga saja Tuhan akan menjaga kalian”

Sindi langsung menjadi kaget setelah mendengarkan pria penerjemah itu menyelesaikan penjelasannya. “Askar, keluarga sang Depati, Tanjo yang kejam, sang dukun dan Ritual pertengahan bulan?” Semua hal tersebut datang silih berganti menyerang otaknya dalam waktu yang bersamaan. Sehingga membuat Sindi menjadi bingung antara percaya dan tidak percaya dengan ucapan sang penerjemah itu.

Dua malam yang lalu ia telah mendengar sebuah cerita dari Buyung dan juga Buk Tiah mengenai Askar sang pria tinggi besar yang kejam itu, tentang keluarga sang Depati yang telah memperbudak warga desa untuk pekerja di ladang mereka, semua cerita itu benar-benar terasa begitu nyata tanpa ada rekayasa sedikitpun. Saat ia telah percaya dengan cerita tersebut, lalu Nenek tua itu malah membuat suatu cerita yang sebaliknya, dan ceritanya itu bahkan juga terkesan sama nyatanya dengan cerita yang diceritakan oleh Buyung. Sindi mulai sakit kepala. Ia bingung untuk menentukan cerita versi manakah yang paling nyata?

Dari mulut pintu rumah, muncullah Irma Dan Meri. Mereka berdua tampak sedang mencemaskan Sindi dan memanggilnya agar segera keluar dari rumah tersebut. Akan tetapi sang penerjemah segera menghalangi mereka berdua dan kemudian menutup pintu rumah tersebut. Sindi langsung menjadi panik ketika melihat sikap sang penerjemah tersebut yang mulai terlihat kasar.

Nenek tua itu langsung membuka suaranya, ia berbicara dengan sang Penerjemah tersebut, sepertinya dia sedang menegur anaknya itu atas sikapnya yang baru saja ia lakukan terhadap dua orang teman Sindi. Sang penerjemah pun menganggukkan kepalanya, setelah itu ia segera berjalan perlahan menuju pintu dan kemudian menyuruh Irma dan Meri masuk ke dalam rumah tersebut, karena sang Nenek tua memanggil mereka berdua. Mereka pun memberanikan diri untuk masuk.

“Sindi.. Meri.. Jangan dengarkan cerita mereka, mereka adalah keluarga penyihir” Ole berteriak dari luar. Akan tetapi Sindi dan teman-temannya itu tidak menghiraukan Ole sedikitpun.

Nenek tua itu mempersilakan Meri dan Irma duduk di kursi ruangan tamu, beliau menyambut mereka dengan ramah. Nenek tua itu kembali melanjutkan ceritanya dalam bahasa daerah yang susah untuk mereka pahami. Setiap kali Nenek tua itu selesai berbicara, anaknya sang penerjemah itu pun segera menyambungnya dengan terjemahan bahasa Indonesia. Beliau menyuruh Meri dan Irma memakai kalung pemberiannya itu, dan beliau juga memperingatkan mereka semua agar mereka tidak menceritakan apa yang telah mereka bicarakan tersebut kepada Buyung dan Ole. Satu hal lagi, jangan sampai Ole dan Buyung mengetahui dan apalagi melihat kalung hitam tersebut, karena mereka berdua pasti akan menjadi marah.

Dari luar rumah, Ole dan Buyung terus memanggil mereka bertiga dan membujuk agar mereka bertiga segera keluar dari tempat itu. Antara percaya dan tidak percaya dengan semua cerita yang dipaparkan oleh keluarga yang aneh itu, Sindi dan teman-temannya pun segera pamit untuk meninggalkan rumah tersebut karena merasa tidak enak terus-terusan dipanggil oleh dua orang pemandunya itu.

Matahari sudah jatuh dari posisi tertingginya di cakrawala, saat itu jarum jam di tangan Sindi menunjukkan pukul 3:00 sore. Tiga orang sekawan itu terus berkeliaran dari satu ladang ke ladang warga yang lain untuk mewawancarai mereka dan juga sekaligus untuk mendokumentasikan penelitian tersebut. Buyung dan Ole masih menjadi pemandu mereka yang humoris.

Semua bahan-bahan penelitian Sindi sudah hampir terkumpul, namun sepertinya penelitian tentang dunia pertanian yang ada di desa Serampeh itu belum juga selesai pada hari tersebut, dan kemungkinan besar akan segera selesai dalam waktu dua hari ke depan, barulah setelah itu mereka bertiga bisa kembali pulang menuju kota. Meri merasa kesal, kesal karena penelitian Sindi belum juga berakhir, karena ia sudah tidak tahan lagi berada di desa tersebut dan ingin segera pulang dan kembali ke kota secepatnya.

Penulis : Zain Losta Masta

PART 1       PART 2     PART 3     PART 4

PART 5       PART 6     PART 7     PART 8

PART 9       PART 10   PART 11   PART 12 

PART 13     PART 14   PART 15   PART 16

PART 17     PART 18   PART 19   PART 20

PART 21     PART 22   PART 23   PART 24

PART 25     PART 26   PART 27   PART 28 

PART 29     PART 30   PART 31   PART 32 

PART 33     PART 34   PART 35   PART 36

PART 37     PART 38   PART 39   PART 40

PART 41     PART 42   PART 43   PART 44

PART 45     PART 46   PART 47   PART 48

PART 49     PART 50   PART 51   PART 52

PART 53     PART 54   PART 55   PART 56

PART 57     PART 58   PART 59   PART 60

PART 61     PART 62   PART 63   PART 64

PART 65     PART 66   PART 67   PART 68

PART 69     PART 70   PART 71   PART 72 

PART 73     PART 74   PART 75   PART 76

PART 77     PART 78   PART 79   PART 80

PART 81     PART 82   PART 83   PART 84

PART 85     PART 86   PART 87   PART 88

PART 89     PART 90   PART 91   PART 92

PART 93     PART 94    PART 95


LIHAT CERITA LAINNYA




Comments

Popular posts from this blog

ISIM MUFRAD, MUTSANNA, DAN JAMAK

TERNYATA KEBERADAAN TEMBOK YA'JUJ WA MA'JUJ ADA DI....

Kisah pertarungan burung srigunting vs elang siraja udara