BUS PENYELAMAT PART 4
Belum sempat kakinya beranjak dari depan ruangan itu, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu dari atas langit-langit ruangan. "Ya Tuhan!" Ia menjerit di dalam hati. Dua tubuh manusia tanpa kepala digantung dengan tali. Darahnya menetes seperti air yang keluar dari kain jemuran. Aroma busuk menyeruak tajam ke dalam rongga hidungnya. Beberapa tengkorak kepala manusia terlihat menggantung di dinding. Kepala sapi dan babi tergelatak begitu saja di lantai yang berlumuran darah.
Di dalam ruangan itu banyak sekali kandang-kandang besi yang sepertinya mereka gunakan untuk mengurung para korban mereka sebelum disembelih. Benar, ada beberapa ekor babi yang terlihat meringkup di dalam kandang-kandang tersebut. Sindi ketakutan. Ia segera pergi meninggalkan tempat tersebut.
Di depan sana, ia bertemu lagi dengan sebuah persimpangan lorong. Ruangan bawah tanah itu sungguh begitu luas. Sepertinya ruangan ini adalah peninggalan dari penjajah jepang. Beberapa langkah kakinya masuk ke dalam lorong itu, tib-tiba saja terdengarlah bunyi suara air yang mengalir. Semakin jauh ia melangkah ke depan sana, suara itu pun menjadi semakin nyaring di telinganya. Saat ia menoleh ke belakang, terlihat cahaya lampu minyak yang begitu terang memancar mendekatinya. Cahaya itu semakin dekat di persimpangan. "Ya Tuhan, tolong aku. Itu mereka" Sindi histeris. Ia pun semakin mempercepat langkahnya.
Ssstt. Tiba-tiba saja jalan itu mengarah turun ke bawah sana. Semakin tajam. Lantai di ruangan itu kini mulai terasa berbeda. Lantai semen itu kini mulai berlumpur. Semakin dalam dan dingin.
Bumm. Sindi tak sempat menahan dirinya. Dinding lorong itu kembali terputus, begitu juga dengan jalan lumpur tersebut. Ternyata jalan itu berakhir dengan sebuah tebing. Sindi pun terjatuh ke bawah sana. Ia menjerit. Kaget. Ia tenggelam dan hanyut terseret oleh arus sungai yang mengalir deras.
Dalam samar, ia sempat melihat para kanibal itu yang berlari mengejarnya di lorong itu. Namun mereka semua terlambat, karena Sindi sudah luput dari pandangan mereka. Ia semakin jauh dan berenang mengikuti arus sungai yang mengalir. Kemanakah sungai itu mengalir? Ia tidak peduli.
Tidak ada yang terlihat. Semuanya tampak sungguh begitu gelap. Sungai itu terus membawa tubuhnya mengalir entah kemana. Jauh dan semakin dalam ke bawah sana.
Bum. Tiba-tiba dia terlempar ke dalam kolam besar. "Dimanakah aku? Apakah aku telah mati?" Sindi masih tak percaya. Dia tenggelam ke dasar kolam, tertimpa oleh air terjun yang berjatuhan dari atas sana.
Ia segera berenang menuju permukaan sungai dan berhasil mendarat di salah satu batu besar yang terletak di tepi sungai. Saat itu hari telah pagi. Ternyata ia baru saja jatuh dari air terjun yang setinggi sepuluh meter. Ia segera bangun dan berlari dari tempat itu untuk mencari bantuan.
Sindi mengendap-ngendap di balik rerumputan untuk melihat situasi. Ia takut para kanibal itu ada di sekitar sana memburu dirinya. Ia harus keluar dari tempat itu. Ia memutuskan untuk mendaki tebing yang tinggi itu dengan sesekali merunduk dan berlindung di balik dedaunan untuk memastikan keadaan. Ia terus mendaki tebing itu dengan berpegangan pada akar-akar dan juga rerumputan. Setelah susah payah berjuang, akhirnya dia pun berhasil tiba di puncak.
Saat ia melayangkan pandangannya ke semua arah, ia mendapati dirinya tengah berada di dalam perkebunan karet. Sindi merasa lega, karena di situ ia tidak melihat siapapun. Situasi aman. Mulailah ia berjalan sembari memperhatikan sekelilingnya.
Hari masih pagi. Embun tipis tampak mengepul pelan di sepanjang hamparan kebun karet. Udara terasa begitu dingin membalut kulit. Tubuhnya basah dan menggigil. Hawa dingin semakin membuatnya tersiksa. Luka di kakinya terasa begitu perih. Ia terus berjalan menyusuri tempat itu untuk mencari jalan keluar.
Satu dua burung-burung mulai terdengar berkicau di atas pepohonan menyapa hari. Tempat itu terasa mencekam. Tidak ada suara manusia, yang ada hanyalah suara hutan yang berdengung dalam kenestapaan.
Semakin jauh ia berjalan ke depan sana, hari pun menjadi semakin terang. Cahaya matahari makin menguat seiring dengan berjalannya waktu. Kini, Ia tiba di sebuah parit kecil yang membelah kebun karet tersebut. Ukurannya tidak terlalu besar, namun tak bisa dilewati dengan hanya sekedar melompat. Ia harus turun untuk menyeberanginya.
Saat ia melompat ke dasar parit, sontak ia langsung menjerit. "Aaa..". Ternyata di dalam parit itu penuh dengan perangkap yang dipasang oleh para psikopat tersebut. Salah satu kayu runcing itu menembus kakinya. Sindi merengek menahan sakit.
Dengan sisa kekuatannya yang ada, ia berusaha untuk menarik kayu tersebut. Sst. Kayu itu pun keluar dari kakinya. Ia menjerit kesakitan. Darah merah mengalir deras melumuri kakinya. Beruntunglah saat itu ia menyumpal mulutnya dengan sebelah tangan. Sehingga membuat suaranya itu tidak begitu nyaring. Ia kembali merangkak ke atas sana sambil berpegangan pada akar-akar dan juga rerumputan.
Setibanya ia di atas, Sindi langsung merebahkan tubuhnya di tanah. Ia kelelahan. Luka di kakinya terasa semakin menyakitkan. Nyilu dan perih. Darah merah mengalir deras dari betis dan telapak kakinya. Ia kehabisan banyak darah. Kondisi tubuhnya semakin lemah dan pucat. Ia sedang sakarat. Namun, Sindi tidak mau mati sia-sia di tempat itu. Ia harus bangkit dan keluar dari tempat itu untuk mencari bantuan.
Tidak jauh dari tempatnya berbaring, ia melihat ada sebilah kayu yang tergeletak di tanah. Ia segera mengambil kayu tersebut, dan kemudian berusaha untuk berdiri. Dia berhasil. Perlahan-lahan kakinya mulai melangkah dari tempat itu menggunakan kayu tersebut sebagai tongkat untuk menopang tubuhnya yang sudah begitu lemah.
Saat ia berjuang mati-matian untuk membawa tubuhnya yang malang itu melewati rerumputan di area kebun karet tersebut, tiba-tiba dari kejauhan terdengarlah bunyi suara ayam jantan yang berkokok. Sindi langsung mengehentikan langkahnya. Ia pun segera berputar ke arah pukul 10 untuk menghindari suara tersebut. Karena bisa saja suara itu berasal dari rumah mereka.
Walau kondisi kakinya itu semakin parah, namun semangatnya untuk hidup terus menggebu. Ia tetap memaksanya untuk berjalan dengan begitu cepat. Kepalanya terbelalak menoleh ke sana sini untuk memastikan situasi. Ssst. Tiba-tiba kakinya tersangkut pada rerumputan. Ia pun jatuh dan tersembab ke tanah. Namun ia segera bangun kembali dan berlari menyusuri jalan itu untuk menyelamatkan dirinya.
Semakin jauh kakinya melangkah, semakin dekat pulalah suara itu di telinganya. Suara dengungan mesin dan klakson mobil yang melintas itu menuntun langkahnya. Ia semakin dekat dengan jalan raya.
Buum. Tiba-tiba Sindi menjerit histeris. Ia terjatuh dan terperosok ke dalam sebuah lubang yang sedalam tiga meter. Tubuh dan kepalanya terbentur keras ke dinding-dinding dan dasar lubang tersebut. Tubuhnya berdentum membentur dasar lubang tersebut. Ya Tuhan, ternyata lubang itu adalah perangkap yang dibuat oleh para kanibal tersebut untuk menjerat mangsanya. Sungguh beruntung, sekali lagi Sindi masih bernasib baik . Nyaris saja kayu-kayu runcing yang ada di dalam lubang itu menembus perutnya.
Sindi terbujur di dasar lubang tersebut dalam kondisi yang sekarat. Ia terjebak dan tidak bisa keluar untuk menyelamatkan diri. Benturan keras itu membuat kepalanya terasa nyut-nyutan, penglihatannya langsung menjadi gelap dan kabur. Ia hampir pingsan. Namun beruntunglah, kondisinya perlahan-lahan mulai membaik kembali.
Ia merenggek menahan sakit, lalu berusaha bangun mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Akan tetapi sia-sia, dia malah kembali terjatuh. Saat ia kembali membuka mata untuk melihat sekelilingnya, dia pun terhenyak. Jantungnya berdebar. Ia sungguh begitu terkejut ketika melihat ada tubuh sesosok pria yang terbaring berlumuran darah di sebelahnya. Pria itu separuh telanjang. Sekujur tubuhnya tampak lebam-lebam dan penuh dengan luka sayatan.
Pria itu hanya mengenakkan celana panjang tanpa ada seutas benang yang menutupi badannya. Kayu runcing itu menikam bagian punggungnya. Dia tergolek lemah di dasar tanah. Wajahnya sungguh begitu pucat. Apakah dia sudah meninggal? OOHH TIDAK! Sindi menjerit histeris.
*********
Flash back :
Saat itu, Meri baru saja terbangun di dalam sebuah ruangan. Itu adalah kamar pribadi milik seseorang. Ada cermin besar yang berdiri di dinding ruaagan. Terlihat juga ada beberapa kepala binantang yang di pajang menjadi hiasan. Kamar siapakah itu? Entahlah, dia tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu. Karena kepalanya masih terasa begitu berat. Sekujur tubuhnya juga terasa nyilu dan sakit untuk digerakkan. Ia sudah begitu lama tidak sadarkan diri. Ia telah melupakan banyak hal dan tak bisa mengingat semuanya dengan baik. Yang terakhir kali diingatnya adalah saat kejadian yang menimpa mereka tadi malam. Ban mobil itu meledak dan kemudian mobil itu pun hilang kendali sehingga terpental jauh keluar dari jalan raya.
Semua penglihatannya tampak remang dan gelap. Tidak lama kemudian, Ia merasakan tiba-tiba saja ada dua orang yang datang dan lalu menggotong tubuhnya. Semuanya bagaikan mimpi. Ia tak bisa mengingatnya dengan baik.
Meri segera bangun dari ranjang. Saat itu ia sungguh begitu kaget, ternyata semua pakaiannya sudah terlepas. Tak ada seutas benang pun yang menutupi tubuhnya. Ia segera memeriksa lemari dan meja untuk mencari pakaiannya, namun ia tidak menemukannya. Ia pun segera pindah dan keluar dari ruangan tersebut untuk mencari pakaiannya yang telah hilang. Ia tidak bisa menemukannya. Sehingga Meri pun memutuskan untuk mengambil sehelai kain yang panjang yang tersampir di dinding. Syukurlah, kain itu cukup untuk menutupi dada hingga mata kakinya.
Ruangan itu sungguh begitu sepi dan sunyi. Ia tidak menemukan satu orang pun di tempat itu. Di manakah mereka berada? Meri terus melangkah menelusuri ruangan tersebut yang diterangi oleh lampu-lampu minyak yang menggantung di sepanjang dinding-dinding ruangan. Ia memasuki ruangan demi ruangan, kamar demi kamar untuk mencari pintu keluar dari tempat itu. Akan tetapi dia tidak juga menemukannya. Ruangan itu seakan-akan penuh dengan misteri dan teka-teki yang begitu membingungkan.
Meri terus berjalan pelan ke depan sana. Ia melihat ada sebuah pintu. Segeralah ia mendekati pintu tersebut, dan kemudian membukan nya. Akan tetapi, ternyata lagi-lagi itu adalah pintu sebuah kamar. Llau di manakah pintu untuk keluar dari tempat ini? Meri belum juga menemukannya.
Saat ia sibuk mencari-cari jalan keluar, tiba-tiba terdengarlah bunyi suara percakapan dua orang pria. Suara mereka berasal dari dalam ruangan kamar yang terletak di depan sana. Meri pun segera menghampirinya untuk mencari tahu. Semakin jauh ia melangkah ke depan sana, suara itu pun semakin nyaring pula terdengar oleh telinganya. Aneh sekali, suara itu tiba-tiba berubah menjadi ramai. Sepertinya dugaan Meri salah. Itu bukanlah suara dua orang, akan tetapi itu adalah suara dari beberapa orang.
Apa yang mereka lakukan? Dan apakah yang sedang mereka bicarakan? Meri bertanya-tanya di dalam hati. Setibanya dia di depan ruangan tersebut, ia pun segera mengintip dari balik celah lubang kunci pintu yang sebesar lubang kumbang.
Di sana, terlihatlah ada empat orang pria yang sedang berdiri menghadap ke salah satu pria yang duduk di lantai ruangan. Mereka sedang berbincang-bincang dengan pria yang duduk tersebut. Wajah mereka tak kelihatan jelas, karena cahaya lampu minyak di ruangan itu tidak begitu terang.
Meri terdiam mengintip ke dalam ruangan tersebut. Empat orang pria itu berbincang-bincang dengan bahasa yang aneh dan tidak dipahaminya. Apakah yang mereka bicarakan? Sindi berusaha untuk mendengarnya lebih jelas lagi. Dan ternyata benar, dia tidak mengerti bahasa tersebut.
Tiba-tiba saja salah satu pria itu marah. Dia menghantam kepala pria yang duduk itu dengan sebuah benda keras. Sehingga membuat pria itu langsung roboh seketika. Tiga orang teman nya yang lain segera berteriak dan berusaha untuk menenangkannya. Akan tetapi amarah pria itu sungguh menggelegak. Dia berusaha untuk memukulnya kembali, namun tiga orang temannya itu berhasil menghalanginya. Pria itu pun langsung meninggalkan ruangan tersebut.
Meri kaget. Pria itu sedang berjalan menuju pintu tersebut. Ia pun segera berlari untuk bersembunyi. Bum. Pintu dibuka. Setelah itu, pintu itu terdengar nyaring dibanting oleh pria tersebut. Pria itu berjalan ke ujung lorong. Dia mengoceh di sepanjang jalan, menahan amarahnya yang menggelegak. Meri membuntutinya dari belakang dengan perlahan. Ia mencari jalan keluar.
Pria itu berbelok ke sebelah kanan. Meri segera berlari membuntutinya sambil berjinjit dan berhati-hati. Ia melihat pria itu menaiki sebuah tangga menuju lantai atas. Bumm. Tiba-tiba tiga orang pria itu keluar dari ruangan tersebut. Mereka berlari untuk mengejar pria tadi. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Meri ketakutan ia tidak tahu harus bersembunyi di mana. Beruntunglah ia melihat ada sebuah lorong kecil yang terdapat diantara dua ruangan. Ia pun segera masuk dan meringkup di dalamnya.
Tiga orang pria itu berlari melewati gang sempit itu dengan terburu-buru. Mereka berteriak dalam bahasa yang tidak diketahui. Suara mereka terdengar beringas dan menyeramkan. Tak lama kemudian, mereka bertiga itu pun kembali lagi melewati gang sempit itu menuju ruangan tadi. Apa yang mereka lakukan? Meri masih tidak mengerti. Ia bingung dan juga merinding.
Meri memberanikan diri untuk kembali mengintip dari pintu ruangan tersebut. Ia menarik nafasnya, dan mulai mengintip. Terlihat tiga orang pria itu sedang berdiri di dekat tubuh seorang pria yang terbaring lemah akibat terkena pukulan keras. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba salah satu dari mereka membekap wajah pria malang itu dengan plastik. Pria itu pun langsung memberontak dan berteriak untuk meminta pertolongan. Dia berusaha untuk melepaskan bekapan itu dengan sekuat tenaga.
Bumm. Tiba-tiba seorang pria yang berdiri itu melepaskan pukulannya ke arah kepala pria itu. Berulang-ulang kali. Pria itu terus meronta-ronta kesakitan. Tiga orang pria gila itu menghajarnya. Mereka memukul dan mengahantam pria malang itu dengan beringas dan tanpa belas kasih. Pria itu pun terdiam, tak bergeming sedikitpun. Darah merah mengalir memenuhi lantai. Dia telah tewas.
Meri gemetar di balik pintu. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja di lihatnya tersebut. Ia ketakutan dan segera berlari untuk meninggalkan tempat tersebut. Bum. Tiba-tiba seorang pria telah berada di belakangnya. Pria itu menatapnya dengan beringas sambil tertawa sinis. Tiga orang temannya itu sontak keluar dari ruangan. Mereka semua tertawa sejadi-jadinya. Meri terpaku di tempat, tak berdaya untuk melawan dan melarikan diri.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment