BUS PENYELAMAT - PART 23
Saat itu jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul dua pagi. Malam yang begitu gelap di luar sana beberapa jam yang lalu itu kini perlahan-lahan mulai berubah menjadi terang bercahaya. Awan hitam yang menutupi langit kini sepertinya telah berhasil diusir pergi oleh Buyung dan teman-teman penyihirnya yang lain. Malam bulan purnama yang ke empat belas.
Meri dan Sindi masih tampak gelisah di dalam kamar mereka, sementara itu teman mereka Irma malah tertidur pulas tanpa mengetahui apapun. Acara ritual berdarah itu kini telah berakhir, para pria yang kejam itu sudah bubar dari dari jalanan di dean rumah. Syukurlah di malam itu Buyung dan Ole tidak tidur di rumah tersebut, mereka berdua ikut pergi bersama dengan teman-teman mereka yang misterius itu ke suatu tempat. Entahlah, Meri dan Sindi tidak mengetahuinya secara pasti kemanakah mereka semua pergi.
“Meri, apa kau ingat dengan ucapan Nenek tua di ladang manggis siang tadi?” Tanya Sindi pada Meri dengan nada yang setengah berbisik. Meri hanya menjawabnya dengan anggukan pelan. Tatapan bola matanya yang tajam itu ikut menguatkan jawabannya. “Jika seandainya semua yang dia ucapkan itu adalah fakta, sepertinya kita harus pergi secepatnya dari desa ini sebelum malam bulan purnama yang ke tujuh belas” Tatapan mata Sindi kini juga tak kalah tajamnya.
“Benar, kita harus pergi dari desa ini secepatnya, aku tidak mau kejadian yang serupa dengan beberapa bulan yang lalu itu kembali terjadi menimpa kita” Meri tampak sedang memutar otaknya. Berpikir. “Kita harus mencari alasan yang tepat dan juga kuat, jangan sampai Buyung dan Ole mengetahui rencana kita, karena itu berbahaya” lanjut Meri lagi sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Saat itu, situasi benar-benar dalam keadaan yang tidak baik.
“Baiklah, aku punya sebuah ide” Bola mata Meri yang memantulkan cahaya lampu minyak itu tampak menyala-nyala. “Cepat katakan, apa idemu?” kata Sindi yang sudah tak sabar ingin segera mendengarnya.
“Begini, besok kau harus menyelsaikan semua penelitianmu. Jika kau sudah berhasil menyelesaikan semuanya, maka rencana kita selanjutnya adalah berpura-pura sakit” Meri membenahi posisi duduknya. Sindi masih terdiam menyimak. “Malam besok, aku akan berpura-pura sakit dan tidak sadarkan diri. Apabila semuanya lancar, maka tugas kau adalah berpura-pura panik dan kemudian mendesak Buyung dan Ole agar membawaku ke rumah sakit. Bagaimanapun caranya, kau harus berhasil mendesak mereka berdua, kalau perlu kau sujud dan cium tangan mereka biar semuanya tampak real dan tanpa rekayasa.” Setelah mendengarkan semua penjelasan dari Meri tersebut, akhirnya Sindi pun setuju. Malam kian larut ke penghujungnya, mereka berdua pun segera beranjak menuju selimut. Tidur.
Waktu berlalu dengan begitu cepat, tidak terasa kini sinar matahari pagi telah memancar terang dan menyilaukan dari celah-celah jendela kayu yang tampak menganga. Oh tidak, ternyata sinar matahari tidak masuk melalui celah-celahnya, akan tetapi jendela kayu itulah yang telah menganga dan terbuka lebar. Sindi terbangun dari tidurnya. Melihat jendela yang sudah terbuka lebar itu, dia pun langsung kaget.
“Meri, apakah kau yang membuka jendela kayu itu?” tanya Sindi sambil berusaha keluar dari gumpalan selimutnya. Saat itu Meri masih tertidur pulas, ia tak mendengar suara Sindi yang sedang menanyainya. Sindi kemudian beranjak pada Irma untuk menanyakan hal tersebut, ternyata Irma pun juga masih tertidur pulas di dalam selimutnya. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sindi pun segera bergegas menuju kamar mandi. Tak lama kemudian, Meri dan Irma pun juga menyusul.
Sebelum berangkat untuk mengerjakan tugas terakhirnya itu di sebuah ladang dan juga menemui kepala desa untuk kelengkapan data, Sindi dan dua temannya itu terpaksa harus menyita waktu mereka untuk memasak sarapan pagi, karena entah mengapa di pagi itu Buk Tiah tidak memasak apapun untuk mereka. Yang paling parahnya lagi adalah sebuah keanehan. Iya benar keanehan, entah mengapa di pagi itu wajah Buk Tiah tampak begitu muram menatap mereka bertiga, sehingga membuat mereka pun merasa tidak nyaman dengan hal tersebut.
Semenjak bangun dari tidur pagi tadi, terhitung sudah ada tiga keanehan yang terjadi di rumah tersebut. Yang pertama adalah jendela kamar mereka yang tiba-tiba terbuka sendiri, Buk Tiah yang berwajah muram, dan yang terakhir adalah sarapan pagi yang tidak disajikan. Ada apakah gerangan? Entahlah, mereka bertiga pun memilih untuk melupakan semua kejadian yang aneh tersebut.
Sekitar pukul sembilan pagi, Buyung dan Ole yang biasa memimpin perjalanan mereka belum juga datang. Itu adalah keanehan yang keempat yang terjadi di pagi tersebut. Kemanakah Mereka berdua pergi? Sepertinya penelitian Sindi di desa tersebut akan menjadi lebih sulit jika tidak ada mereka berdua, karena sebagian besar masyarakat desa setempat banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Jadi, kali ini Sindi benar-benar sangat membutuhkan bantuan Ole dan Buyung, meskipun di dalam hati kecilnya ia sudah tidak menyukai kedua orang pria tersebut. Hingga pukul sepuluh pagi, mereka berdua pun belum juga menampakkan batang hidungnya. Akhirnya Sindi pun berpikir-pikir untuk mencari alternatif lain. Tiba-tiba dia pun terngingat dengan sang penerjemah yang kemarin lama berbincang dengannya di ladang pohon manggis. Singkat cerita, pergilah mereka bertiga itu berjalan kaki menuju ladang sang penerjemah yang berada cukup jauh dari tempat tersebut.
“Permisi.. Permisi..” Sindi mengetuk pintu pagar ladang dengan suara yang sedikit nyaring. Tidak lama kemudian, tiba-tiba terlihat seorang pria yang tinggi besar keluar dari dalam rumah kayu menuju ke arah mereka. Melihat tubuh pria tersebut, Sindi sebenarnya agak takut dan juga khwatir, begitupun dengan kedua temannya itu. Wajah pria itu tampak cukup menakutkan, terlihat ada beberapa bekas luka yang terukir di pipi dan pelipis matanya, selain itu kumisnya pun juga tampak kurang terurus. Pria itu adalah adik bungsu dari sang penerjemah.
“Maih Maih kumah....” Kata Pria tinggi itu sambil tersenyum hangat menyambut kedatangan mereka bertiga. Meski tak bisa mengerti bahasa yang diucapkan oleh pria tersebut, akan tetapi mereka paham akan maksudnya, bahwa dia menyuruh Sindi dan dua orang temannya itu untuk masuk ke dalam rumahnya. Dengan tak kalah hangatnya lagi, Sindi dan Meri juga membalas senyum hangat pria itu dengan senyuman mereka yang termanis. Mereka pun segera bergegas menuju rumah tersebut.
Di depan mulut pintu, terlihat ada seorang pria tinggi dan putih yang sedang berdiri. Pria itu adalah sang penerjemah. Meski usianya sudah memasuki empat puluhan, namun ketampanannya masih juga tampak memancar. Pria itu tersenyum hangat menyambut kedatangan mereka bertiga di tempat itu.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment