BUS PENYELAMAT - PART 21
“Apa yang telah mereka katakan kepada kalian, tadi?” tanya Buyung pada Sindi. Sindi hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan, “Gak ada apa-apa, mereka hanya memberikan kami buah-buahan yang mereka petik dari ladang mereka. Kami tidak mengerti ucapan Nenek tua itu, dia berbicara menggunakan bahasa yang tidak kami pahami.” Jawab Sindi sambil berusaha untuk menghilangkan rasa keraguannya atas jawabannya tersebut. Setelah itu, mereka pun segera kembali menuju rumah penginapan.
Hari telah sore. Suara petir mulai terdengar bergemuruh di langit, awan hitam tampak bergumpal dan berlapis-lapis menutupi angkasa. Senja di sore itu tampak memudar, sinarnya tertahan oleh gulungan mendung yang gelap. Sepertinya hujan deras akan segera turun menyiram desa tersebut.
Meri duduk di balkon rumah sambil meneguk secangkir kopi hangat. Jauh matanya memandang, rintik-rintik hujan mulai jatuh menimpa atap rumah dan tanah. Kejadian yang terjadi di malam tadi terus menerus mengusik pikirannya, sehingga membuatnya menjadi gelisah. Apalagi setelah mendengar cerita dari Nenek tua itu dan sang penerjemah, rasa curiga dan kekhawatirannya menjadi semakin memuncak. Ia harus memberitahu kedua temannya itu secepatnya, jika tidak, ia takut sebuah hal yang buruk akan terjadi menimpa mereka. Namun bagaimanakah caranya ia memberitahu mereka agar kedua temannya itu tidak menjadi panik? Meri menghawatirkan Irma, dia adalah seorang wanita yang jantungan. Tidak ada lagi pilihan lain, ia harus tetap memberitahu mereka secepatnya. Setelah berpikir-pikir dan menimbang, Meri pun memutuskan untuk memberitahu kedua temannya itu di pagi besok.
“Apa yang kau pikirkan, Meri?” tanya Irma yang baru saja muncul dari balik pintu rumah. Ia kemudian segera duduk di sebelah Meri. Meri terdiam selama beberapa saat, namun ia segera mengganti raut mukanya yang suram itu dengan senyuman yang hangat.
“Gak ada apa-apa, kok. Aku cuma kangen rumah” Meri pura-pura tersenyum untuk menyembunyikan ekspresi cemasnya itu. “Yelah, baru aja tiga hari di tempat orang masa iya udah home sick? Irma menaikan alis matanya yang melengkung itu. “Sabar, dalam tiga hari ke depan kita akan segera pulang, kok” kata Sindi yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dan kemudian ikut duduk bersama dua orang temannya itu di balkon rumah sembari menatap hujan deras yang menyiram desa.
“Bukankah di cuaca yang sedingin ini Bir akan terasa sungguh begitu nikmat, bukan?” Meri terkekeh dengan tawanya sambil menyeringai pada Irma dan Sindi. “Benar sekali, kenapa kau tidak bilang dari tadi, Meriana?” Irma menyalakan matanya membayangkan “Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera mengambil air suci itu di dalam koper” Ia lantas segera berlari menuju kamarnya.
“MERI! TUNGGU! Jangan berbuat senaknya di sini, Meri” Tegur Sindi saat melihat temannya itu yang berlari menuju kamar. Namun Meri tidak menghiraukannya sedikitpun. Ia sudah tiba di dalam kamar.
“Kalian berdua ini benar-benar gila! Apakah kalian pikir ini adalah kota? Dan kalian bisa dengan seenaknya saja melakuakn segala hal tanpa ada orang yang melarangnya?” Sindi meluahkan amarah dan rasa kesalnya kepada dua orang temannya itu. Selang beberapa detik kemudian, Meri pun kembali muncul dengan botol kaca yang melingkar di dalam genggaman tangannya.
“MERI! Apakah kau belum juga kapok? Tidak cukupkah tragedi kelam yang menimpa kita berdua beberapa bulan lalu itu memberikanmu pelajaran dari benda yang terkutuk ini?” Sindi sungguh begitu marah kepada Meri. Dia marah karena Meri berbuat seenaknya saja tanpa mempertimbangkan resiko yang akan terjadi.
“Jangan marah-marah gitu dong, Sin. Pliss.. Sekali ini aja, kan di sini lagi sepi juga, gak ada orang, jadi, gak ada yang bakalan tahu dan apalagi sampe melarang dan marah-marah sama kita” Irma memasang wajah tersedihnya sambil memohon kepada Sindi. Sementara itu Meri juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua terus membujuk Sindi agar dia tidak marah lagi kepada mereka. Apa boleh buat, Sindi hanyalah seorang wanita yang berhati lembut, dia pun tak bisa berbuat apa-apa selain daripada membiarkan dua orang temannya itu menikmati minuman penghangat badan tersebut.
“Baiklah, jangan sampai kalian berdua jadi over, lalu tertawa dan berteriak seperti orang gila seenaknya. Sekedar aja, Ingat! Jangan jampai mabuk!” Sindi memberikan mereka peringatan. Dengan kompak dua orang temannya itu langsung menganggukkan kepala mereka. Minuman yang beralkohol itu pun mulai dibuka dan kemudian mereka teguk dengan begitu perlahan.
Satu dua tetes-tetes hujan mulai terdengar jatuh menimpa atap seng rumah. Hawa dingin semakin terasa menusuk di kulit. Setelah meneguk minuman yang hangat itu, dari mulut Meri dan Irma tampak uap putih yang keluar layaknya asap rokok. Itu bukanlah asap rokok, akan tetapi itu adalah uap hangat yang dihasilkan oleh minuman beralkohol tersebut.
Mereka berdua menawari Sindi dengan secangkir gelas yang telah di isi dengan air bir, “Ini, ayo cobain” Tawar Meri. Namun Sindi menolaknya. Ia bersumpah setelah kejadian naas yang menimpa mereka berdua di beberapa bulan yang lalu itu, ia tidak akan pernah lagi meneguk air syetan itu untuk selama-lamanya.
Sindi mengalihkan topik pembicaraannya. “Meri, Irma, bagaimanakah pendapat kalian mengenai cerita dari Nenek tua dan anaknya di ladang manggis tadi siang? Apakah kalian percaya terhadap omongan mereka tersebut?” Sindi meneguk kopi hangatnya. Dalam beberapa saat Meri dan Irma terdiam tanpa jawaban. Mereka hanya saling memandang satu sama lain.
“Iya, aku percaya, aku percaya semua yang mereka katakan” jawab Meri dengan tenang. Sepertinya itulah momen yang tepat baginya untuk menceritakan semua hal kepada dua orang temannya itu tentang kejadian yang dilihatnya tadi malam.
Irma masih terdiam di tempat duduknya sambil menggenggam gelas kaca yang berisi air bir, ia melirik Sindi dan Meri dengan tatapan yang setengah tidak percaya. “Hey, kalian berdua sedang tidak bercanda, bukan? Masa iya di zaman sekarang ini kalian masih juga mempercayai tentang hal-hal yang tidak masuk akal seperti itu? Ayolah, kalian berdua inikan adalah calon para megister, kalian adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi” Irma menimpali kedua temannya itu dalam bentuk protes yang keras. Sepertinya ia tidak percaya sedikitpun tentang ucapan Nenek tua dan anaknya kepada mereka di siang tadi.
Sindi dan Meri terdiam mendengar ucapan Irma. “Hey, apa yang kalian bicarakan? Apakah kalian tidak kedinginan berada di luar sini? Bukankah di sini udaranya dingin sekali?” Tiba-tiba suara pria itu muncul dari balik pintu, sehingga membuat Meri dan Sindi menjadi kaget.
“Eh gak ada apa-apa kok. Anu, kita ini lagi ngebahas masalah penelitian, benar kan?” Sindi segera memotong pertanyaan Buyung dengan melemparkan pertanyaan lain kepada dua temannya. “Iya, bener” Meri menganggukkan kepalanya sambil buru-buru menyembunyikan botol kaca itu di belakang kursi. Irma juga ikut menganggukkan kepalanya, hanya saja ia tampak sedikit heran dengan sikap kedua orang temannya itu.
“ Oh, Bolehkah aku duduk?” tanya Buyung lagi. “Aduh, kau ini macam kami orang lain saja. Ayo silahkan duduk di sini” Sindi buru-buru meluangkan tempat di kursi panjang untuk Buyung. Buyung pun segera beranjak menuju kursi tersebut dan duduk bersama mereka. Melihat hal tersebut, Meri dan Irma sungguh begitu kaget dan cemas, mereka berdua segera meneguk gelas mereka yang berisi bir itu sampai habis dan tak tersisa. Syukurlah Buyung tidak mengetahuinya.
“Bagaimana penelitianmu? Apakah semuanya lancar?” Buyung membuka topik baru. “Iya, sukurlah semuanya lancar tanpa ada hambatan sedikit pun” Jawab Sindi dengan nada yang santai. “Baguslah, kalau begitu kapan penelitianmu akan selesai? Apakah setelah itu kalian langsung pulang?” Sekali lagi Buyung melemparkan pertanyaan pada Sindi.
“Hm, mungkin dalam lima hari ke depan semuanya akan selesai. Setelah itu, kami akan langsung pulang ke kota karena banyak hal yang harus kami kerjakan di kampus” jawab Sindi sambil membenahi anak rambutnya. Ia merasa sedikit aneh dan ganjil mengenai pertanyaan yang dilontarkan oleh Buyung barusan, karena sebelum itu dia tidak pernah melontarkan pertanyaan sekalipun kepadanya. Akan tetapi, entah mengapa pada saat itu tiba-tiba saja dia menanyakan tentang hari kepulangannya, itulah yang membaut Sindi merasa curiga dengan pertanyaan tersebut, seolah-olah Buyung sedang menyiapkan sebuah rencana besar sebelum hari kepulangan mereka.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment