BUS PENYELAMAT - PART 19
Hari yang ke sembilan. Matahari terbit dengan cahaya terindahnya di ufuk Timur. Langit tampak bersih tanpa ada segumpal awan pun yang menutupinya. Sindi dan Irma baru saja keluar dari kamar mandi, sementara itu Meri masih juga meringkup di dalam selimutnya tanpa mau beranjak walau sedikitpun.
“Ir, tolong bangunkan Meri, bilang sama dia sekarang jam udah hampir pukul delapan” kata Sindi pada Irma sembari memandangi cermin kecilnya untuk berdandang. Tanpa banyak bicara Irma pun segera melakukannya.
“Meri.. Meriana.. Bangun! Hari sudah pagi, ini sudah hampir pukul delapan, AYO BANGUN!” Irma mengguncang tubuh Meri dengan tangannya.
“Aduh.. Aku masih ngantuk.. Kalian berdua aja yang pergi, ya. Aku dirumah aja” Meri menggeliat malas dengan nada yang setengah kesal. Ia kembali menutupi wajahnya itu dengan selimut.
“Ih gak mau, pokoknya kamu juga harus ikut, Meri. Ayo bangun.. BANGUN..!” Irma kembali membangunkan Meri dengan suara yang lebih nyaring. Tiba-tiba saja Meri langsung meloncat dan bangun dari tidurnya itu seperti orang yang kesambar petir. Irma pun menjadi sedikit heran ketika melihat ekspresi wajah temannya itu yang terlihat seperti orang yang baru saja bermimpi dapat duit satu koper namun lupa menaruhnya di mana. Sindi yang sedang berdandang di depan cermin kecilnya itu bahkan sampai menaikkan alis matanya ketika melihat hal tersebut.
Tidak berhenti sampai di situ. Tingkah laku Meri justru menjadi semakin aneh. Ia bahkan memeriksa sekujur tubuhnya itu dan mengangkat kedua lengannya, ia bahkan sampai membuka baju di bagian dadanya dan memeriksanya. Irma dan Sindi menjadi semakin bingung, mereka berdua saling tatap menatap menyimpan tanya.
“Ada apa? Apa yang kau lakukan, Meri? Apakah ada yang salah?” tanya Irma dengan raut muka yang bingung. Meri langsung menghentikan tingkah laku anehnya tersebut. Ia terdiam menatap wajah kedua temannya itu selama beberapa saat. Ia berniat ingin menceritakan semua hal tentang kejadian semalam kepada mereka, namun karena takut kedua temannya itu akan menjadi cemas sehingga penelitian Sindi akan menjadi terhambat—maka dia pun buru-buru mengurungkan niatnya itu. Meri hanya menggelengkan kepalanya, “Gak, gak ada apa-apa, kok” jawabnya kepada Irma seraya bangun dan meraih handuk yang tersangkut di dinding kamar. Ia beranjak menuju kamar mandi.
Setelah sarapan pagi dengan menu yang sederhana bersama dengan Buk Tiah, suaminya, dan juga dua orang pemandu mereka itu, mereka berlima pun segera berangkat ke lokasi penelitian. Hari itu mereka akan kembali mengunjungi ladang para petani untuk mewawancarai mereka dan juga sekaligus mendokumentasikan semua hal yang dianggap penting. Untuk memudahkan mereka mengunjungi ladang-ladang para warga dan berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang lain, mereka berlima pun memutuskan untuk berjalan kaki.
Pemandangan alam yang ada di desa Serampeh di pagi hari terlihat sungguh menawan. Sawah yang hijau terhampar luas, pohon-pohon tua yang rindang tumbuh tinggi menjulang ke langit. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, akan tetapi sang embun pagi di desa Serampeh sungguh begitu awet dan tak mau beranjak pergi dari hamparan hutan dan perbukitan. Itulah yang membuat desa ini menjadi spesial dan mengesankan.
Suara burung yang berkicau menyambut hari terdengar di mana-mana, sungai yang mengalir semakin memperindah paduan suara instrumen alam yang dihasilkan. “Bumi sedang bernyanyi” gumam Irma di dalam hati. Ia tidak pernah merasa tenang dan senyaman itu seumur hidupnya. Sejak dari kecil hingga pada usianya yang hampir dua puluh empat itu, ia selalu diusik oleh suara kota yang begitu sibuk dan bising.
Setelah cukup lama berjalan, mereka pun tiba di sebuah ladang pohon manggis yang begitu luas dan subur. Di ladang tersebut, terlihat ada sekitar enam orang pria dan dua orang wanita yang sibuk dengan pekerjaan mereka.
“Permisi...” Buyung menyapa mereka dengan senyuman yang hangat. Melihat wajah Buyung, entah mengapa Meri merasa jijik dan ingin segera meludahi mukanya. Kejadian semalam benar-benar tak bisa ia lupakan.
Para warga yang berada di ladang itu menyambut mereka semua dengan tidak banyak bicara, tidak begitu ramah, dan bahkan sikap mereka semua terkesan sedikit aneh dari pada warga-warga lainnya yang pernah mereka kunjungi sebelumnya. Meskipun ada rasa yang tidak enak, namun Sindi tetap berusaha untuk tersenyum dan bersikap ramah kepada mereka.
Setelah cukup lama berada di tempat itu, tiba-tiba saja salah satu Nenek tua yang berada di ladang itu menarik tangan Sindi sambil tersenyum hangat dan kemudian membawanya berjalan masuk ke dalam rumah. Nenek tua itu berbicara pada Sindi dengan bahasa daerah setempat, sepertinya ada sesuatu hal yang ingin beliau tunjukkan dan beritahukan pada Sindi di dalam rumah tersebut. Akan tetapi Buyung segera menepis tangan Nenek tersebut dan kemudian menarik tangan Sindi. “Jangan dengarkan dia, dia ini adalah seorang penyihir” kata Buyung pada Sindi.
Nenek tua itu langsung melempari Buyung dengan tanah sambil terus meneriaki Buyung dengan bahasa yang tidak mereka pahami. Nenek tua itu tak henti-hentinya menunjuk-nunjuk ke arah Buyung sambil menangis-nangis dan meratap. Tidak lama kemudian, salah satu pria yang mungkin saja adalah anaknya itu langsung berlari untuk menenangkan Nenek tua tersebut. Ia memeluk tubuh Nenek tua itu dengan begitu erat.
Melihat kejadian itu, Sindi pun menjadi terharu. Ia segera berjalan mendekati Nenek tua itu dan kemudian mencium tangannya. Buyung berusaha untuk kembali menahannya, akan tetapi Sindi menyingkirkan tangan Buyung dan memberikan isyarat agar ia tidak menahannya lagi. Buyung pun tak punya pilihan selain dari pada menurutinya.
Nenek tua itu menghentikan tangisannya, ia segera meraih tangan Meri dan kemudian memeluknya dengan begitu erat sambil menangis. Sindi menjadi bingung, begitupun dengan kedua orang temannya itu. Mereka tidak tahu apakah gerangan yang sedang terjadi. Nenek tua itu kemudian kembali membawa Sindi berjalan dan masuk ke dalam rumah kayunya. Kali ini Sindi tidak menolak, dia dengan senang hati menuruti permintaan Nenek tua itu.
Di dalam rumah kayu itu, terlihat banyak sekali lukisan-lukisan aneh yang menempel di dinding. Lukisan-lukisan itu menampilkan gambar-gambar wanita cantik yang sedang diikat dengan tali, digantung, dipenggal, dan bahkan juga dikuliti. Melihat lukisan-lukisan yang menyeramkan itu, Sindi mulai merasa gelisah.
Nenek tua itu menyuruh Sindi duduk sebentar di atas kursi ruangan tamu, sementara itu dia berjalan menuju kamarnya. Tidak lama kemudian, Nenek tua itu kembali muncul membawa sebuah kotak kecil yang ada di tangannya. Sambil tersenyum ramah, Nenek tua itu mulai membuka kotak kecil itu. Saat kotak kecil itu telah dibuka, terlihatlah ada beberapa helai kalung yang berwarna hitam, sepertinya kalung-kalung itu terbuat dari kain.
Nenek tua itu segera mengambil tiga helai kalung tersebut, dan kemudian mengenakkan salah satu kalung itu di lehernya. Sindi yang merasa heran dengan tingkah laku Nenek tua itu tidak bisa menolak, dia hanya berpura-pura tersenyum dan memasang wajah yang bahagia. Tiba-tiba masuklah pria tadi yang memeluk nenek tua itu, dan kemudian ikut duduk tepat di sebelah mereka berdua. Setelah itu, Nenek tua itu kemudian berbicara pada Sindi dengan bahasa desa Serampeh, sehingga membuat Sindi menjadi bingung dan tidak bisa memahaminya. Melihat Sindi yang bingung, pria itu kemudian menerjemaahkan maksud dari perkataan Nenek tersebut kepada Sindi, ternyata Nenek tua itu menyuruh Sindi memberikan dua kalung yang lain itu kepada Meri dan juga Irma. Kata pria itu, kalung itu bukanlah kalung biasa, dia dapat melindungi tuannya dari kejahatan dan juga marabahaya. Sindi pun tersenyum dan berterimakasih kepada Nenek tersebut untuk menghargai pemberiannya itu meskipun sebenarnya ia tidak percaya sedikitpun dengan kesaktian kalung tersebut.
Tiba-tiba muncullah seorang pria besar yang mengenakkan karung goni sebagai baju yang menutupi tubuhnya. Pria itu berdiri di depan pintu menatap Sindi, dan kemudian masuk ke dalam rumah menghampirinya. Melihat pria yang aneh itu, Sindi langsung kaget. Jantungnya berguncang hebat. “Bukankah itu adalah Askar pria sadis yang mengejarnya dua malam yang lalu? Bukankah dia adalah seorang pembunuh seperti yang diceritakan oleh Buyung kepadanya? Oh Tidak! Mengapa dia berada di sini?” Sindi benar-benar takut.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment