BUS PENYELAMAT - PART 17
Tiga orang pria itu dengan sigap langsung menerobos masuk ke dalam halaman rumah Buk Tiah. Buyung segera bangun kemudian menahan dan menenangkan tiga orang pria itu beserta dengan para warga yang lain. “Mohon semuanya bersabar, karena setiap orang akan mendapatkan bagiannya masing-masing” Kata Buyung dengan setengah berteriak dalam bahasa daerah. Syukurlah sikap tiga orang pria yang beringas itu menjadi tenang kembali, begitupun halnya dengan para warga yang lain. Sindi mengelus dada sembari mengggelengkan kepalanya melihat sikap para warga yang terkesan cukup beringas.
Terpal yang menutup semua barang-barang itu sudah disingkirkan oleh Ole. Sindi mulai mengeluarkan satu persatu barang-barang tersebut dari dalam keranjangnya. Terlihat banyak sekali jenis alat-alat perkakas yang berjajar di bak belakang, Sindi bahkan sudah terlihat macam orang yang sedang berjualan keliling di pasar raya. Parang, pisau, topi, cangkul, dan ada juga sepatu but yang panjang. Setelah semuanya dikeluarkan, Sindi dan Ole mulai membagi-bagikannya satu per satu kepada setiap warga yang ada di lokasi tersebut.
Buyung sedang berhitung, “33, 34,35, TIGA PULUH ENAM!” Ia sedikit menaikkan volume suaranya di ujung angka tersebut. Pembagian hadiah sudah selesai dilakukan, dan semua orang pun juga telah mendapatkan bagiannya masing-masing. Tanpa disuruh, mereka semua pun segera bubar dari tempat tersebut dan pulang menuju rumah mereka masing-masing.
“Sindi, kau memberikan semua barang-barang tersebut secara Cuma-Cuma kepada mereka semua?” Tanya Meri dari atas balkon rumah. Wajah Irma yang berada di sampingnya tampak masih heran setelah menyaksikan kejadian tersebut. “Iya, aku memberikan mereka semua hadiah” Jawab Sindi dengan nada suara yang lemah. Seakan tidak bergairah. Dari nada suaranya itu, sepertinya ia tampak kesal dan juga menyesal.
“APA? Apa aku tidak salah dengar?” Meri sungguh begitu kaget setelah mendengar jawaban dari temannya itu. Sindi tidak menjawabnya. Dia hanya memberikan sebuah anggukan kecil dari atas bak belakang mobil. Ia segera turun dan kembali naik ke balkon rumah.
Setibanya ia di balkon rumah, Meri dan Irma langsung menyerangnya dengan berbagai pertanyaan. Sepertinya dua orang temannya itu tampak begitu prihatin dengan hal aneh yang baru saja mereka saksikan. Sindi pun akhirnya terpaksa menceritakan semuanya kepada mereka. Ia menceritakan tentang sikap aneh para warga yang ada di desa tersebut. Mereka yang tidak mendapatkan bagian di hari pertama itu melakukan protes, dan mereka mendesak Sindi untuk memberikan bagian mereka. Itulah sebabnya mengapa di hari itu Sindi kembali membagi-bagikan hadiah untuk mereka yang kedua kalinya. Mendengar cerita tersebut, Meri dan Irma pun menjadi kesal dan bersungut-sungut. Mereka tidak tega teman mereka diperas dengan cara yang seperti itu. Akan tetapi Sindi tidak mau memperpanjang masalah, ia sgera mengalihkan topik pembicaraan.
Ia mengajak Meri dan Sindi pergi ke atas puncak bukit yang ada di belakang desa Serampeh. Buyung dan Ole memandu mereka bertiga dengan berjalan kaki. Meski cuaca di sore itu sedikit mendung, akan tetapi keindahan desa Serampeh dari atas bukit tersebut masih terlihat mempesona—walaupun tidak seindah dengan beberapa hari yang lalu saat pertamakali Sindi datang ke tempat itu. Sungai yang jernih itu mengalir mengikuti liku-liku jalan setapak yang membentang di tengah-tengah area persawahan masyarakat. Ladang-ladang para warga tampak begitu rapi dan bersih. Sungguh pemandangan yang begitu indah, Meri dan Irma sangat menyukainya.
Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama di atas puncak bukit tersebut, goresan senja di ufuk barat pun mulai terlihat melambai dengan pancaran warnanya yang jingga. Mereka sudah puas berfoto dengan dengan berbagai gaya dan kostum. Mulai dari kostum moderen hingga kostum para petani dengan topi khas caping runcingnya pun juga sudah mereka kenakkan. Malam telah hampir tiba, mereka semua segera turun dan kembali menuju rumah penginapan.
Tidak seperti yang biasanya, cuaca di malam itu sepertinya terbilang lebih baik dari pada malam-malam yang sebelumnya. Langit tampak bercahaya diterangi oleh bintang-gemintang yang berkerlap-kerlip, sang rembulan pun juga turut hadir menerangi malam.
Sindi sudah merasa sedikit lebih baik dari pada malam-malam yang kemarin, karena sekarang ia sudah tidak sendirian lagi di desa tersebut. Dua orang teman dekatnya itu, Meri dan Irma kini juga sudah bersama dengannya. Untuk merayakan dan menyambut kedatangan dua orang temannya itu, Sindi pun mengajak mereka itu untuk mendirikan tenda di halaman rumah untuk menikmati suasana malam yang cerah tersebut. Mereka menyalakan api unggun dan juga memanggang daging bersama dengan Ole dan Buyung.
Suasana di desa Serampeh di malam itu terlihat cukup ramai. Banyak orang yang keluar rumah dan menyalakan api di halaman rumah. Mungkin mereka juga melakukan hal yang sama seperti memasak dan ataupun mungkin juga bakar-bakar daging. Hingga malam sudah larut, mereka semua pun beranjak ke dalam rumah. Tidur.
“Ir, jangan lupa baca do’a dulu sebelum tidur, biar kebiasaan ngigau kamu itu tidak kambuh lagi. Nanti kami juga yang repot-repot nyariin kamu yang sleep walking berjalan sampai kemana-mana dengan mata yang ketutup” Meri mengingatkan Irma dengan setengah bercanda.
“Udah, udah. Aku udah baca, tadi” Jawab Irma dengan sedikit kesal. Melihat wajah Irma yang bersungut-sungut itu, sehingga membuat Meri dan Sindi tak bisa lagi membendung tawa mereka berdua. Sementara itu Irma mulai memejamkan kedua matanya berusaha untuk tidur.
“Eh Sin, coba deh kamu bayangin, ya. Gimana nanti kalo di tengah malam, tiba-tiba Irma ngigau dan kemudian sleep walking keluar rumah. Ia membuka pintu dan kemudian turun melewati tangga, lalu kemudian berjalan ke dalam hutan entah kemana, pas waktu dia kebangun dan melihat semuanya adalah hutan, pasti dia bakalan nangis sampai pipis di dalam celana, HAHAHA” Meri dan Sindi terpingkal-pingkal dengan tawa mereka.
“Iiiii Meri, males aku ah, kamu jahat” Irma cemberut membayangkan dirinya seperti yang ada di dalam cerita Meri barusan tersebut. Ia takut dan tidak ingin kejadian yang serupa dengan satu tahun yang lalu itu kembali terulang lagi.
Sekitar satu tahun yang lalu, Irma pernah membuat kedua orangtuanya kaget. Kejadian tersebut terjadi sekitar pukul dua dini hari. Pada waktu itu Ibu Irma keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Saat beliau hendak kembali menuju kamarnya, tiba-tiba ia melihat ada beberapa benda keramik yang sudah pecah dan berserakan di lantai. Bukan hanya itu, ternyata pintu depan rumahnya pun juga sudah terbuka dan menganga. Ia merasa kaget, sepertinya ada yang tidak beres. Beliau pun segera membangunkan suaminya dan memberitahunya mengenai hal tersebut. Mereka berdua pun segera menyalakan lampu dan kemudian langsung keluar untuk memeriksa kalau-kalau saja rumah mereka tersebut dimasuki oleh pencuri. Ternyata tidak, semua benda-benda berharga yang ada di dalam rumah terlihat masih ada di tempatnya. Akan tetapi ada sebuah hal yang aneh, pintu kamar Irma tampak menganga. Saat mereka masuk kedalam kamar anak mereka tersebut, ternyata anak mereka sudah tidak ada di dalam kamarnya. Mereka berdua pun langsung menjadi panik dan segera berlari keluar menuju jalan raya untuk mencari Irma yang menghilang entah kemana.
Setibanya mereka di jalan, dalam samar-samarnya cahaya malam itu, dalam jarak dua ratus meter di ujung jalan tersebut, mereka melihat ada sosok seorang wanita yang duduk sendirian di bawah pohon beringin. Mereka berdua langsung berlari menghampiri sosok wanita tersebut. Saat mereka tiba di sana, alangkah terkejutnya mereka ternyata sosok wanita itu adalah Irma putri mereka. Saat ditemukan, matanya masih tertutup, ia masih tertidur. Mereka pun segera membangunkannya, dan kemudian membawanya pulang menuju rumah mereka. Sejak hari itu, ayahnya tidak pernah lupa untuk mengunci pintu sebelum tidur.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Sindi dan Irma sudah tertidur pulas di dalam selimut merka masing-masing. Sementara itu Meri masih asyik bermain-main dengan keyboard laptopnya. Ia sedang menyusun dan menyelesaikan tesis perkuliahannya.
Satu jam lebih telah berlalu, Meri segera beranjak menuju kasur lipatnya dan kemudian membungkus tubuhnya dengan selimut. Ia mulai memejamkan kedua matanya. Tiba-tiba saja ia mendengar ada suara sesuatu yang berasal dari luar sana. Ia bahkan sampai menyingkirkan selimut yang menutupi kepalanya untuk mendengarkan suara tersebut agar dapat terdengarlebih jelas di telinganya.
“Itu adalah suara seorang wanita yang sedang bernyanyi” gumamnya di dalam hati sambil terus memasang telinganya. Suara wanita itu sungguh merdu, sehingga membuat Meri mejadi hanyut dan bangun dari kasurnya menuju jendela kamar untuk mencari tahu dari manakah sumber suara itu berasal.
Saat ia melemparkan pandangannya ke luar jendela, tidak ada satu orang pun yang terlihat. Yang tampak hanyalah sinar purnama yang begitu syahdu membungkus langit malam, sesekali dahan-dahan pepohonan tampak berdangsa tertiup oleh hembusan angin malam yang dingin. Malam tampak begitu indah, akan tetapi kesunyiannya membuat siapun itu pasti akan berpikir dua kali untuk berjalan ke luar sana pada jam-jam yang seperti itu. Desa Serampeh sungguh mencekam dan suram.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment