BUS PENYELAMAT - PART 22
Hujan semakin deras di luar sana bersama hembusan angin yang cukup kencang Matahari baru saja tenggelam, hari perlahan-lahan mulai berubah menjadi gelap. Malam telah tiba. Hawa dingin semakin menyerbu dan mengamuk, sehingga mereka bertiga pun memutuskan untuk beranjak masuk ke dalam rumah sebagai dalih untuk menghindari Buyung.
Waktu berlalu dengan begitu cepat. Rasanya baru saja ia berada di rumah Nenek Tua itu, padahal waktu sudah berjam-jam berlalu. Perkataan Nenek tua itu benar-benar membuat kepala Sindi menjadi pusing, wajah dan suaranya terus membayangi benaknya. Kini malam sudah begitu larut, jam di tangannya telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Kedua orang temannya itu bahkan juga sudah hanyut di dalam tidur mereka.
Angin malam terdengar cukup ribut di luar sana, membuat ranting-ranting pohon beringin yang ada di seberang jalan menjadi berisik. Pelan sekali, dalam samar-samar suara wanita yang misterius itu mulai terdengar bersenandung. Menurut cerita Buyung, wanita itu adalah sosok Puti yang telah meninggal akibat dibunuh oleh Tanjo. Sampai detik itu, Sindi memutuskan untuk mempercayai cerita tersebut meskipun ada sedikit penolakan dari dalam hati kecilnya. Sindi memutuskan untuk tidur.
Belum sempat kedua matanya terpejam, saat itu hujan di luar sana telah reda, begitupun dengan angin malam yang ribut itu. Perlahan-lahan semuanya mulai tampak redup, suara-suara sunyi semakin memelan, Sindi hanyut ke dalam tidurnya.
Tiba-tiba terdengarlah suara beberapa orang dari depan halaman rumah. Sindi pun menjadi kaget dan kembali terbangun. Dengan rasa yang setengah kesal dan penasaran itu ia pun segera pergi membawa dirinya menuju jendela kayu untuk mencari tahu suara apakah itu. Ia pun menjadi bingung saat melihat pemandangan yang ada di bawah sana, terlihat ada beberapa orang pria yang sedang berdiri dalam sebuah formasi melingkar. Tepat di tengah-tengah mereka itu, ada sebuah meja yang di atasnya terdapat seonggok api kecil yang dinyalakan didalam sebuah wadah. Satu dua, Sindi berhitung. Terhitung ada sekitar sembilan orang pria yang berdiri di bawah sana.
Tak lama kemudian, tiba-tiba muncul lagi tiga orang pria lain dari arah pohon beringin yang berada di seberang jalan. Tiga orang pria itu tampak sedang menggotong beberapa benda yang cukup berat. Mereka berjalan dengan pelan sambil terhuyung-huyung menahan berat benda yang mereka gotong tersebut. Apa yang sedang mereka lakukan? Sindi benar-benar menjadi semakin bingung.
Benda-benda aneh yang mereka gotong itu kemudian mereka letakkan di atas meja besar yang berada di tengah-tengah lingkaran. Satu persatu karung goni itu pun mulai mereka buka. Sindi sungguh terhenyak, ternyata benda-benda itu adalah beberapa ekor anjing yang telah diikat mulut dan kakinya dengan tali. Anjing-anjing itu tidak bisa bergerak sedikitpun, mereka hanya bisa berusaha untuk meronta berharap agar dapat selamat dan terlepas dari ikatan tali-tali tersebut. Akan tetapi sungguh percuma, sedikitpun mereka tidak ada kuasa untuk melepaskannya.
Ketika tubuh ketujuh ekor anjing itu sudah diletakkan di atas meja, lalu terdengarlah bunyi suara para pria itu yang beriringan membcakan mantra-mantra yang tidak ia pahami. Saat itu, entah mengapa tiba-tiba saja sekujur bulu roma di tubuh Sindi mulai berdiri, seakan-akan ada suatu aura yang begitu kuat dan memancar dari luar sana. Sindi mulai gemetar, sendi-sendi di kakinya mulai terasa lemah, akan tetapi ia memilih untuk tetap bertahan di tempat itu untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya itu.
Saat acara pembacaan mantra itu sedang berlangsung, tiba-tiba salah satu dari pria itu berjalan ke tengah-tengah lingkaran sambil meliuk-liuk dengan memegang sebuah benda runcing di tangannya. Ia mengangkat benda runcing itu tinggi menghadap langit dan kemudian sedikit berteriak pelan sebelum menghujamkan benda yang runcing itu ke dada seekor aning yang terselentang di atas meja. Dalam samarnya cahaya api kecil di malam itu, terlihat tubuh anjing yang malang itu kejang-kejang menahan sakit yang teramat menyakitkan. Sindi bahkan sampai menjerit melihat aksi pria gila tersebut, beruntunglah tadi ia sudah terlebih dahulu menutup mulutnya dengan tangan, sehingga tak ada satu pun dari mereka yang mendengarnya di luar.
Tidak berhenti sampai di situ, pria itu bahkan kembali menarik pisau tajamnya itu keluar dari dada anjing tersebut, dan kemudian menusuknya sampai beberapa kali sehingga membuat dalam waktu sekejap perut anjing itu pun langsung hancur dan menganga. Darah yang tampak berwarna hitam di malam itu mengalir di atas meja itu dan kemudian jatuh masuk ke dalam beberapa wadah yang telah mereka siapkan di bawah meja. Sindi sungguh tidak sanggup melihat aksi brutal mereka yang begitu kejam tersebut, namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain dari pada menangis menahan takut.
Saat itu, tiba-tiba matanya yang basah itu menyala kembali ketika melihat wajah salah satu sosok pria yang berada di bawah sana. Wajah itu, sepertinya dia mengenalnya. “Benar, itu adalah Buyung” teriak Sindi dalam hatinya. Ia sungguh tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ada malam itu. Buyung seorang pria yang disangkanya baik dan ramah itu, ternyata Dlah Seorang pria yang kejam.
Saat itulah kemudian Sindi pun menjadi teringat dengan sebuah hal yang hampir terlupakan dalam ingantannya. Perkataan sang penerjemah dan Nenek tua tadi siang di ladang manggis ternyata memang benar adanya. Ia telah melihat dengan begitu jelas menggunakan mata dan kepalanya, bahwa Buyung ternyata bukanlah seperti Buyung yang dia sangka selama ini.
“BUUM!” Hampir saja jantungnya itu meledak saat tangan seseorang yang menekan punggungnya dari belakang. Sakin kagetnya, Sindi bahkan sampai lemas dan hampir jatuh ke lantai dengan suaranya yang hilang. Namun beruntunglah tangan sosok tersebut segera menahannya.
“Ssst, tenangkan dirimu. Jangan takut lagi, sekarang aku bersamamu” Meri kemudian segera memeluk tubuh kawannya itu yang masih tampak lemah dan tak berdaya. Sindi pun menangis sejadi-jadinya di pelukan Meri. Dia menceritakan semuanya kepada Meri tentang apa yang telah ia saksiikan di luar sana pada malam tersebut. Mereka semua benar-benar kejam dan menakutkan, termasuk juga dengan Buyung.
Saat itulah kemudian Meri melepaskan pelukan temannya itu dan kemudian beranjak menuju jendela kamar. Meri pun mulai mengintip keluar sana dengan begitu hati-hati. Ritual bulan purnama yang diceritakan oleh Nenek tua itu benar-benar nyata. Saat ini, para pria yang gila itu bahkan sedang asyik meneguk darah-darah segar itu dengan gelas kaca mereka. Meri kemudian memberitahu Sindi tentang hal tersebut, dan ia pun segera mengintipnya. Benar, itulah yang sedang mereka lakukan.
Sepertinya, itulah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya kepada Sindi. Meri pun mulai menceritakan semuanya. Ia memberitahu Sindi bahwa kejadian tersebut sebenanrnya sudah terjadi sejak malam kemarin, namun ia memilih untuk diam dan tidak memberitahukan kedua temannya itu karena khawatir hal tersebut akan membuat penelitian Sindi mejadi terhambat dan juga kacau. Sindi pun memakluminya, ia bahkan sampai mengesalkan sikap kurang terbuka yang telah dilakukan oleh temannya tersebut kepadanya. Meri juga memberi tahu Sindi bahwa di malam tadi ia hampir saja ketahuan oleh Buyung saat mengintip acara ritual tersebut, akan tetapi syukurlah ia dapat berakting dengan baik.
Meri memberitahu Sindi bahwa di malam kemarin Buyung bahkan sampai masuk kedalam kamar mereka tersebut untuk menyelidik, dan bahkan pria gila itu juga telah melakukan hal yang tidak senonoh kepada mereka bertiga. Buyung telah menyentuh dan kemudian meraba-raba tubuh mereka di malam tadi saat mereka sedang tertidur, termasuk juga dengan dirinya. Mendengar hal tersebut, wajah Sindi langsung menjadi merah. Ia benar-benar marah. Karena itu adalah sebuah pelecehan, ini benar-benar tidak bisa lagi dibiarkan.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment