BUS PENYELAMAT - PART 31
“Cepat!” Seru Meri dari arah depan sembari terus berlari dengan senter hp nya yang kecil itu. Sindi pun segera menambah kecepatan larinya. Dengan tunggang langgang mereka berdua berlari melewati jalan setapak yang licin itu dalam kecepatan yang penuh. Meski beberapa kali tergelincir dan jatuh ke tanah, namun secepat itu pula mereka kembali bangun dan terus berlari sejauh-jauhnya meninggalkan rumah tersebut.
Setelah terasa cukup jauh dari tempat itu, mereka pun akhirnya berhenti di tepi jalan untuk mengatur nafas. Sau dua tiga pohon manggis yang rindang berjajar di tepi jalan. “Suara apa itu? Keras sekali” Tanya Meri dengan kerongkongan yang setengah tercekik. Suara nafasnya itu terdengar memburu dan tidak teratur. Ia tampak masih begitu shock atas kejadian yang baru saja terjadi menimpa mereka. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya itu pada sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan sambil menekan pinggangnya untuk mengatur nafas. “Huhh, entahlah, aku juga tidak tahu” Sindi menggelengkan kepalanya. Ia juga tampak kelelahan dan masih terus berusaha untuk mengatur nafasnya yang terasa seakan-akan hampir lenyap tersebut.
“Jangan-jangan itu adalah suara hantu yang menghuni rumah tersebut?” tanya Meri sambil menaikkan alis matanya meminta pendapat Sindi. “Bisa jadi, akan tetapi bagaimana jikalau itu adalah orang yang terjebak di dalam sana?” Sindi bertanya balik. Meri masih terdiam tanpa kata. “Bagaimana kalau kita kembali lagi ke tempat itu untuk memeriksanya dan sekaligus memastikan semuanya?” Sindi kembali memberikan pertanyaan. Tanpa basa-basi Meri langsung menolak ajakan tersebut. Sepertinya dia benar-benar sudah begitu kapok.
Hari sudah pukul lima pagi. Di ufuk timur sang fajar sudah mulai keluar menampakkan dirinya. Ada sedikit rasa lega yang mulai mereka rasakan di dalam hati. “Apa yang akan kita lakukan selanjutnya, Sin?” Tanya Meri. Sindi pun terdiam sejenak untuk memikirkan rencana mereka yang selanjutnya. “Semuanya benar-benar kacau, padahal kita sudah merencanakan semuanya dengan begitu matang, tidak disangka semua rencana itu akan berakhir seperti ini” Sindi melampiaskan kekesalannya.
“Sudahlah, bukan saatnya untuk menyesal, sebaiknya kita pikirkan saja rencana kita yang selanjutnya” Ujar Meri untuk menenangkan temannya yang sudah tampak gelisah tersebut. “Baiklah, ayo kita pulang ke rumah Buk Tiah. Siapa tahu ternyata Irma sudah pulang dan sedang menunggu kita di sana” Sindi sudah mulai kembali menemukan ketenangannya. Meri pun setuju. Mereka berdua pun langsung beranjak menuju rumah Buk Tiah.
“Jika seandainya nanti Irmabelum juga ditemukan, sepertinya salah satu di antara kita harus ada yang berhasil keluar dari desa ini untuk meminta bantuan dari orang luar, karena orang-orang di sini hampir tak ada lagi yang dapat kita percayai” Sindi menghadapkan wajahnya pada Meri sambil terus berjalan pulang. Meri tidak berkomentar, sepertinya dia juga setuju dengan pendapat temannya itu.
“Jika seandainya itu yang terjadi, biar aku saja yang akan pergi. Akan tetapi sebelum itu, kau harus mengalihkan perhatian mereka semua terlebih dahulu” Meri mengajukan dirinya. “Apakah kau punya ide yang bagus untuk mengalihkan perhatian mereka semua?” Sindi menaikkan alis matanya, bertanya. “Tidak, untuk saat ini aku masih belum menemukannya” Ujar Meri sembari memalingkan wajahnya itu ke arah depan. Mereka sudah berhasil melewati separuh jalan.
“Hey! Dari mana saja kalian?” Tiba-tiba seruan itu mengejutkan mereka berdua. Ternyata itu adalah suara Buyung yang sedang berdiri dalam jarak 20 meter di depan sana. Melihat pria itu, raut wajah mereka berdua pun langsung berubah. Sejak kejadian botol minuman di hari kemarin itu, mereka tidak lagi menyukai kehadiran Buyung di hadapan mereka.
Pria itu berjalan ke depan untuk menghampiri mereka. “Apa yang terjadi? Kalian dari mana?” Tanya Buyung dengan suara yang lembut. Tampaknya Buyung juga sudah mengetahui bahwa dua wanita itu kini sudah tidak menyukai kehadirannya lagi, itulah yang membuatnya bersikap lembut seperti itu, tidak lain ialah untuk membujuk hati keduanya.
“Irma menghilang..” Ujar Sindi dengan suara yang lesu. Ia berusaha untuk menutupi semua rasa bencinya itu pada Buyung.
“Apa? Menghilang bagaimana maksudmu, Sindi? Tolong jelaskan padaku” Buyung tampak sungguh begitu kaget dan masih tak percaya dengan ucapan yang baru saja didengarnya itu.
Sindi tak sanggup lagi menahan perasaannya, ia benar-benar pusing dan juga cemas memikirkan semuanya. “Iya! Irma menghilang!” wajahnya tampak sungguh begitu kesal saat menjawab pertanyaan tersebut. “Tadi malam kami semua tidur di kamar, tiba-tiba Meri mendengar ada bunyi suara pintu yang dibuka namun dia mengabaikannya. Beberapa saat kemudian, barulah kami sadar ternyata Irma sudah tidak ada lagi di tempat tidurnya. Dia menghilang. Mungkin penyakitnya itu kambuh lagi, dia tidak bisa dibentak-bentak karena hal tersebut dapat membuatnya shock dan stress. Jika itu sudah terjadi, maka dia seringkali mengalami gangguan di dalam tidurnya. Bisa jadi dia memang sengaja berjalan sendiri keluar dari kamar dalam keadaan yang tertidur dan tidak ingat apa pun. Mungkin dia tersesat di suatu tempat” Sindi menceritakan semuanya dengan tenang pada Buyung.
“Mengapa kalian tidak memberitahu kami? Pasti masalah ini tidak akan menjadi seperti ini” Buyung memasang wajah prihatinnya. “Bagaimana caranya kami memberitahu kalian? Sedangkan kalian berdua tidak ada di rumah” Sindi melampiskan kekesalannya itu pada Buyung. Dia bahkan sengaja menaikkan nada suaranya di kalimat yang terakhir. Buyung pun akhirnya terdiam dan tak bisa mengatakan apa pun.
“Apakah kau baru saja datang dari rumah?” Tanya Sindi dengan suara yang datar untuk kembali memperbaiki suasana yang sudah mulai terasa tidak baik itu. “Tidak, aku baru saja pulang dari rumah Pak Muradi” jawab Buyung sambil terus berjalan di samping mereka menuju rumah Buk Tiah. Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di depan rumah Buk Tiah.
Dari atas balkon rumah, terlihat Ole dan wanita tua itu duduk di sana. Mereka memperhatikan Sindi dan Meri yang sudah tampak kotor bergumur lumpur. “Dari mana saja mereka?” Mungkin begitulah pertanyaan yang terbetik di dalam hati mereka.
“Ole! Apakah kau melihat Irma?” Teriak Sindi dari halaman depan. Ole hanya menggelangkan kepalanya dengan raut muka yang bingung. “Bukankah dia bersama kalian?” Ole bertanya balik pada mereka. Sindi pun tidak menjawabnya. Dia segera berlari ke atas balkon rumah dan langsung masuk menuju kamarnya. Saat pintu kamarnya itu dibuka, ternyata ruangan itu tampak kosong dan lengang. Irma belum juga ditemukan.
“Apa yang terjadi pada kalian? Mengapa kalian tampak berantakan sekali di hari yang masih sepagi ini? Di mana teman kalian yang berkulit putih itu? Kenapa dia tidak bersama kalian?” Buk Tiah menghampiri Sindi dan Meri yang tampak gelisah di dalam kamar mereka. Beliau sungguh begitu heran dan juga bingung. Melihat hal tersebut, akhirnya Buyung pun segera menceritakan semuanya.
Setelah mendengar cerita Buyung, wajah Buk Tiah langsung berubah. Dia tampak sungguh amat menyesal atas perbuatannya di sore kemarin. Dia tidak berniat untuk memarahi mereka, hanya saja dia sangat menghawatirkan mereka bertiga karena mereka pergi menemui keluarga Tanjo, keluarga yang sangat dibenci oleh kebanyakan orang yang ada di desa tersebut. Beliau pun meminta maaf kepada mereka berdua.
“Ole! Cepat kau laporkan kejadian ini kepada Pak Kades! Kita harus segera menemukannya, karena semakin lama dia ditemukan, maka kemungkinannya untuk selamat juga akan menjadi semakin sedikt” Buk Tiah memerintahkan Ole dengan setengah berteriak. Tanpa sempat bicara sepatah kata pun dia langsung pergi meninggalkan rumah itu untuk melaporkan hal tersebut kepada Pak Kades.
Meri dan Sindi tampak sungguh begitu panik. Mereka takut Irma akan bernasib buruk dan menjadi korban penculikan oleh warga desa Serampeh yang aneh tersebut. Air mata Meri kini bahkan sudah mulai jatuh dan mengalir. Dia menangis.
“Jangan khawatir lagi. Tenangkan diri kalian, semoga Irma baik-baik saja dan akan segera ditemukan oleh para warga dalam keadaan yang sehat dan selamat” Buk Tiah memeluk tubuh Meri sambil mengusap punggungnya dengan lembut. Meri pun luluh, begitupun dengan Sindi. Sungguh begitu aneh, awalnya mereka berdua sangat membenci Buk Tiah dan bahkan telah mengcapnya sebagai pengikut aliran sesat yang kejam itu, akan tetapi entah mengapa saat itu mereka malah jatuh dan berlinangan air mata di dalam pelukannya.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment