BUS PENYELAMAT - PART 30

 Lantai ruangan itu telah berlumpur, bahkan beberapa rumput liar pun juga sudah banyak yang tumbuh di dalamnya. Aroma busuk semakin menyeruak tajam. Pandangan mereka tertuju pada tumpukan daun-daun layu yang terletak di sudut ruangan. Sepertinya ada sesuatu di bawahnya, begitu simpul mereka. Semakin dekat mereka dengan tumpukan daun-daun tersebut, aroma busuk pun menjadi semakin kuat menyeruak. Itu adalah bau bangkai yang sudah dipenuhi oleh belatung, begitulah perkiraan mereka. Bahkan saat itu Meri sampai muntah-muntah karena sudah tidak tahan lagi mencium aroma busuk tersebut.

Bus Penyelamat Part 30


Ketika Sindi menyingkirkan daun-daun layu itu dengan ujung bilah kayu yang ada ditangannya, terlihatlah bangkai seekor babi yang telah membusuk dan dipenuhi oleh kerumunan para belatung. “Buuuaak” Sindi langsung muntah seketika. Mereka berdua segera berlari meninggalkan ruangan kamar itu menuju ruangan tamu.

“Kenapa bangkai babi itu bisa ada di sana? Siapakah yang telah menutupinya dengan daun-daun itu?” Dengan nafas yang masih memburu Sindi menanyai temannya. Meri pun juga tidak tahu. “Ayo kita keluar! Aku sudah tidak tahan lagi berada di tempat ini” Meri mengambil langkah dan bersiap untuk berjalan keluar secepatnya. Namun tiba-tiba Sindi memegang lengannya dari belakang. “Tunggu dulu, kita belum melihat apa yang ada di dalam kamar ini” Sindi mengarahkan telunjuknya ke arah pintu kamar sebelah yang tertutup. Dengan muka yang sedikit kesal, Meri pun akhirnya menghentikan langkahnya.

“Kita kan gak tahu, barangkali saja Irma ada di dalam sana” Bujuk Sindi. Ia kembali melanjutkan ucapannya itu, untuk membujuk Meri yang sepertinya masih juga tidak tertarik agar ia mau ikut masuk ke dalam kamar itu bersamanya. Benar, akhirnya Meri pun segera membuang rasa kesalnya. Mereka berdua pun mulai bergegas menuju pintu kamar.

Mereka berdiri di depan sana selama beberapa saat. Tampaknya pintu kamar itu sengaja dipaku dan juga ditutup oleh seseorang dengan beberapa kayu dalam posisi yang menyilang. Meri dan Sindi tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, sehingga mereka pun hanya terdiam saling tatap menatap dan juga saling tunjuk menunjuk untuk menyuruh temannya itu mendorong pintu tersebut, karena mereka berdua sama-sama tidak ada yang berani untuk membukanya.

Hujan deras di luar sana telah reda. Yang tersisa hanyalah butiran gerimis-gerimis kecil yang bernada pelan menimpa atap rumah. Suara petir sesekali masih terdengar bergemuruh di langit. Tampaknya cuaca di luar sana sungguh begitu dingin, akan tetapi entah mengapa hawa di dalam rumah tersebut terasa begitu pengap dan juga panas. Ada sebuah kejanggalan yang mulai mereka rasakan.

“Sindi, ayo kita keluar. Aku mulai merasa tidak enak berada di dalam sini, ayok!” Meri mendesak Sindi. Meskipun sebenarnya dia juga merasakan ada sesuatu yang aneh di tempat itu, akan tetapi Sindi lebih memilih untuk tetap berada di tempat selama beberapa saat lagi, karena dia masih begitu penasaran dengan isi kamar yang tertutup tersebut. Ia merasakan ada sesuatu yang berada di dalam sana. “Bagaimana jika itu adalah Irma? Bagaimana jika mereka telah mengurung Irma dan mengikatnya di dalam kamar ini?” Berbagai dugaan itulah yang membuatnya mau bertahan dan bersikukuh untuk segera membukakan pintu tersebut.

“Sindi! Apakah kau tidak mendengarku? Ayo pergi, cepat!” Meri berteriak dengan sedikit kasar menarik lengan temannya itu untuk membawanya keluar dari rumah tersebut. Akan tetapi, Sindi langsung menepis tangan Meri, ia kemudian berpindah menuju lantai ruangan seakan-akan sedang mencari sesuatu di bawah sana.

“Apa yang kau lakukan, Sindi? Bagaimana mungkin Irma bisa berada di dalam kamar ini, hah? Apakah kau tidak melihat bahwa ruangan ini sudah lama tidak pernah lagi dikunjungi oleh siapapun? Jika kau tidak mau juga keluar, maka akulah yang akan segera keluar meninggalkanmu sendiri di tempat ini!” Meri mengancam dengan nada yang tinggi. Kali ini tampaknya ia benar-benar sudah kesal atas sikap temannya itu yang begitu keras kepala.

Sindi tidak menghiraukan ucapan temannya itu, ia masih juga membungkuk ke arah lantai sembari mengarahkan cahaya senternya tersebut. Sepertinya ia sedang mencari sesuatu. Melihat tingkah Sindi yang tampak begitu aneh tersebut, Meri pun tak jadi pergi meninggalkannya. Ia hanya berdiri dan diam sembari terus memperhatikannya.

Beberapa detik kemudian, Sindi pun segera bangkit kembali dengan menggenggam sebongkah batu yang cukup besar. “Apa yang akan kau lakukan dengan batu itu, Sindi?” Tanya Meri dengan nada yang bingung. “Tunggu sebentar, aku akan melepaskan semua kayu yang terpaku di pintu ini” jawabnya dengan nada yang datar.

“Tunggu....” Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, ternyata Sindi sudah terlebih dahulu menghantam pintu tersebut dengan batu itu. Meri pun tak dapat berbuat banyak selain daripada diam dan melongo melihat aksi temannya yang heroik tersebut. Sindi terus memukul satu persatu kayu tersebut berulang kali, ia tampak sungguh begitu bersemangat. Setelah beberapa kali melepaskan pukulan, akhirnya ia pun berhasil menanggalkan salah satu dari enam kayu yang melintang di depan mulut pintu tersebut. Kini, hanya tersisa lima helai kayu lagi maka pintu itu pun akan segera terbuka.

Sudah lebih dari lima belas menit waktu berlalu, namun belum juga ada satu pun kayu yang berhasil ia tanggalkan. Sindi sudah mulai tampak lelah, pukulan demi pukulan yang dia lepaskan itu sudah tampak tidak bertenaga lagi. Ia pun memutuskan untuk berhenti sembari menekan kedua tangannya itu ke pinggang dan mengatur nafas.

“Bagaimana? Apakah kau sudah puas?” Meri kembali melampiaskan rasa kesalnya itu pada Sindi, karena Sindi tidak mau mendengarkan apa yang telah ia katakan sebelumnya. Sindi hanya menjawabnya dengan senyuman tipis, tampaknya ia sudah menyerah. “Baiklah, sini aku lagi yang mencobanya” Meri segera meraih batu tersebut dari tangan Sindi, dan kemudian mulai mengambil posisi terbaik untuk melakukan aksinya.

Meri mulai menghantam kayu-kayu itu dengan sekuat tenaga, sehingga membuat salah satu kayu itu pun menjadi patah. Baru saja beberapa pukulan yang dia lakukan, dua kayu penyangga yang menghalangi pintu itu pun berhasil dia tanggalkan. Benar-benar luar biasa. Dibandingkan dengan Sindi, sepertinya kekuatan tangan Meri masih jauh lebih kuat.

“Hanya tersisa tiga kayu lagi, ayo terus pukul, Meri!” Sindi ikut bersemangat melihatnya. Meri pun kembali menghantam pintu itu dengan kekuatan yang penuh, sehingga membuat pintu kamar yang tua itu terdengar sudah macam mau roboh. Meri pun memutuskan untuk berhenti sejenak sembari mengumpulkan kembali kekuatannya yang sudah mulai terkuras.

“Tus tus tus..” Mendadak saja pintu kamar itu digedor dengan begitu keras dari dalam. Sindi dan Meri langsung berlari terbirit-bitit keluar dari rumah tersebut.

Penulis : Zain Losta Masta

PART 1       PART 2     PART 3     PART 4

PART 5       PART 6     PART 7     PART 8

PART 9       PART 10   PART 11   PART 12 

PART 13     PART 14   PART 15   PART 16

PART 17     PART 18   PART 19   PART 20

PART 21     PART 22   PART 23   PART 24

PART 25     PART 26   PART 27   PART 28 

PART 29     PART 30   PART 31   PART 32 

PART 33     PART 34   PART 35   PART 36

PART 37     PART 38   PART 39   PART 40

PART 41     PART 42   PART 43   PART 44

PART 45     PART 46   PART 47   PART 48

PART 49     PART 50   PART 51   PART 52

PART 53     PART 54   PART 55   PART 56

PART 57     PART 58   PART 59   PART 60

PART 61     PART 62   PART 63   PART 64

PART 65     PART 66   PART 67   PART 68

PART 69     PART 70   PART 71   PART 72 

PART 73     PART 74   PART 75   PART 76

PART 77     PART 78   PART 79   PART 80

PART 81     PART 82   PART 83   PART 84

PART 85     PART 86   PART 87   PART 88

PART 89     PART 90   PART 91   PART 92

PART 93     PART 94    PART 95


LIHAT CERITA LAINNYA




Comments

Popular posts from this blog

ISIM MUFRAD, MUTSANNA, DAN JAMAK

Kisah pertarungan burung srigunting vs elang siraja udara

TERNYATA KEBERADAAN TEMBOK YA'JUJ WA MA'JUJ ADA DI....