BUS PENYELAMAT - PART 8
Sindi segera berlari menuju pintu rumah dengan tergesa-gesa. Ia menggedor-gedor pintu rumah tetangganya itu dengan begitu keras.
"TOLONG! TOLONG! BUKA PINTUNYA, KAK WIRA!" tangannya mengetuk kakinya menendang sambil berteriak histeris.
Kak Wira adalah tetangganya. Beliau adalah ibu seorang anak. Usianya hanya terpaut lima tahun lebih tua. Jika hari libur kuliah tiba, ia sering berkunjung ke rumah itu untuk bermain dengan Sifa anak kak Mira yang baru saja berusia genap tiga tahun. Di rumah itu, kak Mira tinggal dengan suaminya, orangtuanya, dan juga adiknya.
Setelah lama berteriak memanggil Kak Wira yang tak juga menyahut dari dalam, Sindi pun tak punya pilihan. Ia kemudian mendobrak pintu itu dengan sekuat tenaga, akhirnya pintu itu pun terbuka. Ia segera berlari memasuki rumah tersebut seperti orang yang kesurupan setan. Ia bahkan tak mengucapkan salam, sungguh pada waktu itu Sindi benar-benar tidak seperti biasanya yang sopan dan bertata krama. Malam itu, ia mendadak berubah drastis dan mungkin telah kehilangan akal sehatnya.
"Kak Wira.. Kakak.. Kakek..." Suara Sindi memanggil mereka. Ruangan di rumah itu tampak begitu gelap dan sunyi. Tidak ada satu orang pun yang terlihat. Yang terdengar hanyalah suara kran air yang menyala di balik lantai dua. "Oh Tuhan" Sindi menjerit dalam hatinya. Ia baru ingat, ternyata Kak Wira dan keluarganya sudah pulang ke kampung mereka satu hari yang lalu. Akan tetapi, bukan kah Kakek dan Nenek tidak ikut dengan mereka? Sindi terdiam sesaat untuk mencoba mengingat hari kemarin. Benar, Kakek dan Nenek tidak ikut mereka pulang.
Sindi segera berteriak memanggil mereka yang berada di lantai dua. Akan tetapi, lagi-lagi tidak ada bunyi suara yang menyahut. Ia tak punya pilihan lagi selain dari pada naik ke lantai dua untuk menemui mereka dan mengetuk pintu kamar mereka. Mungkin mereka sedang tidur nyenyak di dalam kamar, sehingga mereka tidak mendengar suara Sindi yang begitu lantang memanggil dari bawah sejak tadi. Ia pun memutuskan untuk naik ke lantai dua.
Perlahan-lahan ia melangkah di ruangan bawah dengan cahaya flash ponselnya yang cukup terang. Ia merasa heran. Barang-barang yang berada di lantai satu itu terlihat cukup berantakan dan tidak terlihat seperti yang biasanya. Saat ia melewati pintu kamar Kak Wira, ia melihat ada beberapa pecahan piring yang berada di lantai. Mainan-mainan Sifa juga berserakan. Sindi tidak begitu menghiraukan hal tersebut. Ia terus berjalan ke belakang sana menuju tangga yang mengarah ke lantai dua.
Setibanya ia di bawah tangga, keheranan nya pun kembali muncul. Ia melihat Aquarium ikan hias yang sering menjadi tempat Sifa bermain itu terlihat sudah pecah. Airnya membasahi lantai. Pecahan kaca berserakan. Lima ekor ikan hias yang cantik itu sudah mati dan mulai kering di atas lantai. Apa yang terjadi? Apakah ada seorang perampok yang datang dan kemudian memporak-porandakan tempat ini? "Oh tidak.." tiba-tiba saja pada saat itu ia menjadi begitu cemas pada orang tua Kak Wira yang sudah lansia. Apakah mereka baik-baik saja? Sindi segera berlari dengan rasa cemas itu menaiki anak tangga menuju lantai dua untuk memastikan semuanya.
Saat kakinya baru saja melangkah di lantai dua, semuanya tampak sungguh begitu mengerikan. Seperti kapal pecah, seluruh ruangan tampak berantakan. Kaca, lemari, meja dan juga kursi semuanya telah berserakan. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tampak cairan merah kental yang melumuri lantai. Sindi mulai merinding.
Cairan kental itu mengarah ke dalam kamar Kakek dan Nenek. "Ohh Tidak.. Tidak..." Sindi menangis sembari membekap mulutnya dengan tangan. Ia lantas segera berlari menuju ruangan tersebut untuk memeriksanya. Pintu kamar itu terbuka tanpa dikunci.
"Kakek.. Nenek.." Dengan setengah gugup Sindi memanggil. Namun ruangan itu sungguh hening. Tak ada bunyi apa pun selain dari pada jarum jam di dinding yang berdetik dan kran air yang menyala. Suaranya pelan menambah kesan suram di lantai dua.
Sindi menyalakan lampu flash kameranya untuk menerangi ruangan tersebut. Saat ia mengarahkan pandangannya ke atas ranjang tidur, dia juga tidak menemukan apa pun. Pelan-pelan, Sindi segera melangkah memasuki ruangan itu dengan setengah merinding.
Ia tidak melihat siapa pun yang berada di dalam kamar tersebut. Sindi mendongakkan kepalanya ke bawah ranjang dengan sedikit merunduk ke lantai. Lalu ia menyorotkan cahaya flash ponselnya itu ke bawah sana. Ia tidak menemukan apa pun. Suasana di dalam kamar tidak begitu kacau seperti ruangan yang di luar. Sindi segera beranjak keluar dari kamar itu. Ia berputar-putar di seluruh ruangan yang ada di lantai dua, akan tetapi dia tidak menemukan apa pun.
Setelah berkeliling di semua ruangan dan tidak menemukan apapun, kini hanya tersisa satu ruangan lagi yang belum dia lihat. Ruangan itu adalah kamar mandi. Suara kran air yang menyala dari tadi kini menarik perhatiannya. Siapakah yang menyalakan kran air sederas itu? Sindi Penasaran.
Ia segera melangkah pelan menuju pintu kamar mandi yang tertutup. Tepat ketika tubuhnya berada di depan pintu tersebut, tiba-tiba saja sekujur tubuhnya terasa gemetar. Ia merinding. Sindi takut, dia tidak tahu apalah akan membuka pintu kamar mandi tersebut dan ataukah segera pergi dari tempat itu secepatnya? Dia berada dalam dilema yang menegangkan.
Sindi berusaha mengatur nafasnya yang tiba-tiba saja ngos-ngosan setelah tiba di depan pintu ruangan tersebut. Setelah menarik nafasnya, perlahan ia menjulurkan tangan kirinya untuk membuka pintu tersebut. Sementara di tangan kanannya bersiap-siap dengan pisau dapur yang terhunus.
Jantungnya berdebar. Sekujur tubuhnya terasa gemetar pada saat itu. Satu, dua, tiga! Sindi mendorong pintu tersebut dengan tangan kirinya. Pintu pun terbuka dengan mudah. Suara kran air yang menyala terdengar semakin kencang. Sindi merasa sedikit lega. Ia segera melangkah ke dalam ruangan tersebut dengan perlahan. Lalu mulai mendongakkan kepala untuk memeriksa ke semua sudut.
Bagai disambar petir. Sindi hampir saja terjatuh ketika melihat pemandangan mengerikan yang berada di depan nya. Memey sudah tidak bernyawa. Kucing anggora cantik yang sering dipanggil Memey, yang selalu bermain dengan Sifa itu tewas dengan cara yang mengenaskan. Memey telah ditusuk oleh seseorang yang tak punya hati dengan begitu kejamnya sampai perutnya menjadi hancur. Matanya dicongkel, lidahnya dipotong, kaki-kainya bahkan sudah terlepas dari badannya. Pemandangan tersebut benar-benar mengerikan.
Sindi shock. Ia benar-benar sungguh begitu takut dan langsung melompat keluar dari ruangan tersebut. Ia berlari melewati tangga untuk turun menuju lantai bawah dan keluar dari ruangan itu secepatnya.
Tak peduli hujan lebat masih berdengung dengan gemuruh petir nya yang menyambar, Sindi memanjat pagar besi yang runcing itu dengan begitu cepat. Ia segera melompat keluar, dan berlari menembus hujan menuju pintu belakang rumahnya yang sudah menganga.
Dengan nafas yang terengah-engah ia langsung membanting pintu tersebut dengan keras. Ia segera berlari menuju lantai dua dan meringkup di dalam kamar mengurung diri. Ia hampir tak percaya dengan apa yang baru disaksikan oleh mata dan kepalanya. Apa yang terjadi? Mengapa rumah itu berantakan sekali? Di manakah Kakek dan Nenek Sifa? Siapa yang telah membunuh Memey yang cantik itu? Berbagai pertanyaan muncul memenuhi kepalanya.
"Krriiingg.. Kriinngg.." ponselnya kembali berdering. Sindi hampir melompat. Kaget.
Nomor misterius itu kembali meneleponnya. Sindi sudah tahu lagi apa yang harus ia lakukan, sehingga ia pun memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
"Haa..looo.." dengan gugup ia membuka mulutnya.
"Hahaha.. aku tak menyangka kau masih punya nyali untuk menjawab teleponku. Aku baru saja melihatmu berlari menembus hujan yang lebat. Kau seperti seekor Kelinci yang kocar-kacir mencari lubang untuk berlindung agar selamat dari cengkraman seekor elang."
"HEY WANITA PEMABUK! Apakah kau sudah melihat kapal pecah dan pertunjukan kucing cantik dengan tubuhnya yang tanpa mata dan kakinya? Aku harap kau terhibur. Hahaha.." pria itu mengikik seperti orang gila.
"APA MAU MU, BAJINGAN? KATAKAN!" Hampir saja ia melemparkan hp nya ke dinding. Sindi meneriaki pria itu, amarahnya benar-benar meluap.
"CUP CUP CUP... Jangan seperti itu wahai gadis kecilku. Aku masih ingin bermain-main dengan mu, sebentar. Ayolah, jangan mengancam ku seperti. Bukankah aku hanya ingin mengajakmu bermain, kan? Hahaha.." Suara tawanya benar-benar menyebalkan. Sindi hampir muntah di balik telepon. Ia menggigit bibir, menahan amarahnya yang meluap-luap
"Baiklah, aku akan menjemputmu, sayang" telepon pun berakhir. Sindi sungguh panik. Bagaimana jika pria gila itu benar-benar datang ke tempat ini? Apa yang harus aku lakukan? Sindi cemas sembari bolak-balik mengintip di balik tirai jendela kaca.
Di luar sana, hujan deras semakin menjadi-jadi. Petir menggelegar menyilaukan mata. Sindi kembali berlari menuju lantai bawah untuk mengunci pintu depan dengan rapat, ia bahkan meletakkan beberapa kursi di belakang pintu untuk menahannya. Setelah itu, ia segera kembali menuju kamarnya untuk menghubungi pacarnya.
Sindi tiba-tiba menjadi bingung. Ia kehilangan ponselnya dan lupa menaruhnya di mana. Ia berputar-putar di dalam kamarnya untuk mencari telepon itu, namun anehnya ia tidak juga menemukannya. Ia bahkan telah melihat ke bawah kasur, di lantai berulang-ulang kali. Kemanakah ponsel itu pergi? Sindi bertanya-tanya di dalam hati. Ia menjadi semakin cemas dan juga kesal saat mengingatnya.
Jika nanti pria gila itu benar-benar datang, bagaimana ia akan meminta tolong kepada orang lain, sementara perumahan di sana sangat sepi. Tidak ada orang yang terlihat. Perumahan mereka adalah perumahan yang baru, letaknya di pinggir kota. Setelah kejadian naas yang menimpa mereka hampir dalam dua bulan yang lalu itu, Sindi dan Meri memutuskan untuk pindah. Karena masa kontrakan mereka di rumah kontrakan lama itu sudah habis, selain itu mereka berdua juga ingin sedikit mencari suasana yang hening dan tenang, menjauh dari keramaian sepertinya akan mampu lebih cepat membuat pikiran mereka menjadi tenang kembali.
"Toook tookk.." suara pintu yang diketuk. Sindi terhenyak. Ia langsung berdiri di belakang pintu depan berusaha untuk menahannya. Pintu itu terus diketuk dari luar sampai beberapa kali. Sindi tidak menjawabnya. Dia segera berlari ke luar dari kamarnya dan turun ke lantai satu untuk melohat situasi. Ia bersembunyi di belakang pintu sambil menekan pintu itu dengan kedua tangannya. Tak lama kemudian, suara ketukan itu pun lenyap.
Apa yang harus aku lakukan? Oh tidak! Pria gila itu benar-benar sudah berada di sini. Sindi panik dan menangis. Air matanya bercucuran. Ingin sekali ia berteriak untuk meminta tolong, namun jalanan telah sepi. Hujan deras dan angin kencang membuat suara apapun akan menjadi kalah. Sindi tetap melakukannya.
Ia membuka jendela kamarnya dari lantai dua, lalu berteriak sekuat-kuatnya untuk meminta tolong. Berulang-ulang kali ia melakukan hal tersebut, akan tetapi tidak ada satu pun orang yang mendengarnya. Tenggorokannya seperti hampir copot berteriak selama itu, suaranya benar-benar telah habis. Sindi putus asa.
Ia kembali menutup jendela kamarnya dan kembali berdiri di belakang pintu. Tiba-tiba ia mendengar bunyi sesuatu,
"Kriing.. Kriiinng.." suara telepon yang berdering.
Sindi segera memutar kepalanya untuk mencari tahu dari manakah sumber suara itu berasal. Tidak salah lagi, suara itu berasal dari bawah kursi yang ditumpuknya di belakang pintu. Sindi segera menyingkirkan kursi-kursi untuk dan kemudian merunduk untuk memungut ponselnya.
"Ttuukk.. tuuk..." Tiba-tiba pintu depan diketuk oleh seseorang.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment