BUS PENYELAMAT - PART 11
Setelah cukup lama berbincang-bincang, akhirnya Buyung memberitahu Sindi tentang kronologinya. Ternyata orang-orang ini marah karena mereka tidak mendapatkan bagian atas oleh-oleh yang telah Sindi bagikan di hari kemarin. Menurut mereka, Sindi tidak adil dan tidak membagikannya sama rata kepada para warga yang ada di sana. Hari ini mereka datang untuk menagih bagian untuk mereka.
Wajah Sindi yang tadinya tampak ramah dengan senyuman yang manis, seketika itu langsung terlipat. Ia menjadi bingung dan sedikit takut melihat sikap para warga tersebut yang tampak cukup beringas. Sindi memanggil Ole, dan kemudian berbisik kepadanya. Ia menyuruh orang-orang ini tenang, dan berjanji akan membagi-bagikan hadiah kepada mereka dalam waktu tiga hari ke depan. Ia juga butuh waktu untuk pergi membelinya ke Kota Raya, karena di desa tersebut tidak ada toko yang menjualnya. Ole pun mengangguk, dan segera menyampaikan hal tersebut kepada para warga. Syukurlah, setelah Ole dan Buyung menerangkan pada mereka menganai hal tersebut, akhirnya mereka semua pun mau pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah semua orang itu pergi, Buyung dan Oleh segera membawa Sindi menuju rumah Pak Jumri. Tidak pelu menyita waktu yang lama, mereka pun tiba di rumah Pak Jumri.
Buk Simah istri Pak Jumri mempersilakan mereka masuk dan duduk di ruangan tamu, setelah itu beliau pergi ke belakang untuk memanggil Pak Jumri yang tampaknya masih sibuk dengan pekerjaannya.
Di ruangan tamu, Sindi duduk bersama dengan dua orang pemandunya. Rumah itu tampak begitu sederhana, semua materialnya terbuat dari kayu. Tidak ada perabot-perabot mewah yang terlihat menghiasi ruangan itu seperti halnya dengan perumahan yang ada di kota-kota besar. Tampak ada beberapa kepala binatang yang sudah dipernis dan dipercantik yang terpajang di dinding. Saat itulah sindi baru sadar, ternyata ada sebuah hal menarik yang ia temukan di rumah-rumah warga yang ada di desa ini, mereka suka sekali memajang kepala-kepala para binatang di ruangan tamu. Apakah itu hanyalah semacam hiasan dinding biasa? Ataukah ada filosofi lain yang tertanam di dalamnya? Sindi belum bisa mengetahui jawabannya.
Tak lama kemudian, datanglah seorang lelaki yang mengenakkan pakaian kerjanya. Tangan dan bajunya itu tampak berlumuran darah, sementara itu di tangan kanannya mengganggam sebuah golok besar. Sepertinya pria itu baru saja selesai memotong daging hewan atau semacamnya. Entah mengapa tampangnya itu sungguh mengerikan menurut Sindi. Pria itu duduk tampa mengucapkan sepatah kata pun di kursi.
“Oh, ternyata ini dia wanita yang membuat gaduh di desa kita ini?” tanya pria tersebut dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sindi gemetar setelah pria itu menyebut dirinya. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa, apakah ia harus tertawa dan ataukah hanya diam berusaha untuk menenangkan dirinya. Dia benar-benar menjadi salah tingkah.
“Perkenalkan, namanya adalah Sindi. Dia adalah seorang mahasiswa dari kampus di Kota Raya. Dia datang ke desa kita untuk membuat sebuah penelitian menganai dunia pertanian di desa kita, dan dia akan tinggal di desa kita ini selama dalam waktu dua minggu kedepan.” Buyung berusaha mencairkan suasana saat melihat wajah Sindi yang sudah mulai gelap.
“Owh seperti itu, ceritanya... “ Pria itu mengangguk pelan sambbil melirik sindi dengan ujung matanya.
“Hahahaha... Jangan tegang seperti itu, saya hanya bercanda, nona muda..” Pria itu terkekeh sambil menutup mulutnya. Suasana tegang itu pun berlalu. Segaris senyum manis pun akhirnya terbit dari wajah Sindi.
“Perkenalkan, ini Pak Jumri. Selain dari Pak Dunto, beliau ini adalah salah satu petani yang sukses di desa ini.” Begitu terang Ole pada Sindi. Sindi mengangguk dengan senyum yang hangat.
Mereka mulai berbincang-bincang mengenai masalah pertanian dengan Pak Jumri. Pak Jumri adalah seorang petani yang sukses, beliau bahkan sudah punya beberapa rumah mewah di kota Raya, yang mana rumah tersebut sekarang dihuni oleh anak-anaknya yang sekolah dan kuliah di sana. Setiap sebulan sekali, Pak Jumri selalu datang ke Desa serampeh untuk menjenguk ladangnya yang digarap oleh belasan orang pekerja. Biasanya beliau akan tinggal di desa Serampeh selama tujuh sampai sepuluh hari di di setiap bulannya.
Di kebun nya itu, Pak Jumri menanam ribuan batang pohon manggis di atas tanah yang seluas belasan hektare. Setiap musim panen tiba, Pak Jumri mampu mendapatkan hasil panen sebanyak puluhan ton manggis yang di eksport ke luar negeri. Benar-benar sebuah pencapaian yang sangat luar biasa.
Dalam metode yang dipakainya itu, pak Jumri memiliki trik yang hampir sama dengan Pak Dunto, yaitu beliau sering menggunakan air pembasuh daging yang dicampur dengan darah. Di samping, itu, beliau juga punya beberapa teknik lain yang hanya sekedar menjadi bumbu-bumbu tambahannya saja.
Dalam wawancara dengan pak Jumri tersebut, Sindi berhasil mengumpulkan beberapa catatan dan juga dokumentasi. Tidak terasa, kunjungannya kerumah Pak Jumri sudah lebih dari dua jam berlalu. Mereka bertiga pun pamit kepada pak Jumri untuk menemui orang-orang penting lainnya.
Nara sumber mereka yang selanjutnya adalah Pak Muradi. Rumah beliau cukup jauh, terletak di kaki bukit di belakang desa. Beliau adalah petani kopi yang sukses. Sekian lama menempuh jalan yang yang berliku-liku dan juga sedikit menanjak, akhirnya mereka pun tiba di rumah beliau.
Saat itu, terlihat ada beberapa orang yang sibuk menjemur kopi di depan rumah. Sebuah mobil truk nampak terparkir dengan bak bagian belakangnya yang terbuka. Sepertinya mereka sedang memasukkan kopi-kopi kering itu ke dalam truk untuk di bawa pergi menuju ke sebuah tempat.
Di dekat pintu rumah tersebut, ada beberapa kursi yang mengelilingi sebuah meja. Di kursi itulah terlihat ada seorang pria yang sedang melirik beberapa buku yang berada di atas meja dengan kacamatanya sedikit berwarna keemasan. Beliau adalah pak Muradi.
Buyung dan Ole segera menceritakan tentang maksud dan tujuan mereka untuk mendatangai rumah Pak Muradi, yaitu adalah untuk mewawancarai beliau mengenai seputar dunia pertanian, karena mengingat beliau adalah salah satu petani yang sukses di desa Serampeh. Syukurlah, beliau mau meluangkan waktu beliau untuk melakukan wawancara tersebut.
“Baiklah, ada sebuah hal yang ingin saya katakan sebelumnya sebelum kita memulai pembicaraan ini, saya ingin mengingatkan bahwa jangan ada yang pernah mabuk-mabuk atau berbuat hal yang tidak senonoh di desa ini, terutama bagi kalian para pendatang, sebaiknya jagalah sikap kalian selama berada di desa ini, karena desa ini adalah tanah yang suram. Para pemabuk tidak diizinkan datang ke tempat ini” Pak Muradi melirik Sindi denggan ujung matanya, seakan-akan tengah menyerang Sindi dengan sebuah sindiran yang halus. Sindi pun terkejut dengan ucapan pria itu. Seingatnya, dia tidak pernah meminum minuman yang memabukkan kecuali di malam itu bersama Meri saat mereka dalam perjalanan pulang menuju desa mereka. Akan tetapi, bagaimana mungkin pria ini bisa tahu? Tidak mungkin, pasti ini hanyalah sebuah kebetulan belaka. Sindi berusaha untuk menanggapinya dengan sebuah anggukan pelan “Baik, pak...” kata Sindi dengan nada yang sedikit berat, namun ia masih bisa menutupi rasa takutnya itu dengan senyuman yang manis. Beruntunglah, tak lama kemudian suasana pun menjadi cair, dan mereka mulai membicarakan masalah pertanian dengan lancar.
Hari telah mencapai sore, wawancara dengan Pak Muradi itu pun akhirnya berakhir. Pak Muradi berjanji akan membawa mereka di pagi besok untuk melihat langsung tentang metode yang sering dipraktekkan nya di lapangan, yaitu di ladang kopi miliknya. Setelah semuanya mencapai kesepakatan, mereka bertiga pun segera pamit meninggalkan rumah Pak Muradi setelah memberikan beberapa oleh-oleh yang berupa alat-alat perkakas, seperti yang telah mereka berikan sebelumnya kepada kepala desa, Pak Dunto, dan juga Pak Jumri. Pak Muradi tersenyum menyeringai ketika melihat sebuah golok yang diberikan untuknya tersebut.
Malam telah tiba. Usai makan malam bersama keluarga Buyung dan juga Ole, Sindi membawa dirinya ke balkon rumah untuk bersantai sambil mengobrol bersama dengan dua pemandunya itu. Sindi masih kepikiran dengan kejadian yang terjadi di pagi tadi. Ia bahkan sudah berjanji kepada warga desa untuk memberikan mereka hadiah yang serupa dalam waktu tiga atau empat hari ke depan. Itulah yang menjadi topik perbicaraan mereka di malam tersebut.
Sindi meminta tolong pada Ole untuk pergi ke kota di pagi besok membeli barang-barang tersebut, karena dia ada janji dengan pak Muradi di pagi besok di ladang kopi milik beliau untuk melihat langsung metode yang beliau terapkan. Selain itu, sindi juga meminta Ole untuk menghubungi Meri, karena beberapa hari yang lalu dia dan Irma juga tertarik untuk ikut berkunjung ke desa tersebut menemaninya melakukan penelitian di sana. Ole pun setuju dan menyatakan diri bersedia dengan catatan ada uang tambahan untuk dirinya. Mereka pun sepakat.
Sindi segera pamit kepada Buyung dan Ole pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Sepertinya wawancara di hari tersebut cukup menguras tenaga, meskipun sebenarnya ia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Hujan gerimis masih bernada indah menimpa atap seng rumah. Suaranya benar-benar membuat rasa kantuk menjadi semakin berkuasa. Sindi mulai memejamkan kedua matanya. Selang beberapa detik kemudian, tiba-tiba saja ia terbangun. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Ia masih terkenang betul dengan wajah Pak Jumri saat pertamakali ia muncul dari halaman belakang menuju ruangan tamu di rumahnya siang tadi. Ekspresi wajahnya itu benar-benar misterius. Dengan golok yang tajam di genggaman tangannya, baju yang berlumuran darah, tampang Pak Jumri benar-benar terlihat menakutkan. Apalagi sewaktu dia mengatakan dirinya adalah wanita si pembuat gaduh di desa ini, saat itu Sindi benar-benar merasa dirinya seperti disambar oleh petir. Akan tetapi beruntunglah kejadian itu tidak berlangsung lama, Pak Jumri buru-buru mengganti wajahnya itu dengan ekspresi yang ramah. Saat Sindi mengingatnya kembali, entah mengapa seakan-akan senyuman dan wajah ramah Pak Jumri tadi siang itu terkesan seperti sebuah keterpaksaan atau kepura-puraan belaka.
Selain hal tersebut, hal lain yang membuat hatinya cemas adalah Pak Muradi. Bagaimana mungkin Pak Muradi bisa berbicara tentang pemabuk dan seakan-akan dengan tidak langsung menuduh Sindi adalah seorang pemabuk? Apakah itu hanyalah sebuah kebetulan belaka? Entahlah, Sindi sangat berharap bahwa semua hal tersebut hanyalah sebuah kebetulan.
Hujan gerimis kini sudah menjadi semakin deras. Hawa dingin mulai terasa menusuk-nusuk di ujung kaki. Saat itu jam sudah menujukkan pukul sepuluh lewat. Sindi pun kembali menuju kasur tidurnya, dan kemudian menggulung diri dengan selimut yang tebal. Ia tertidur pulas.
Tiba-tiba semuanya tampak begitu gelap. Ia berjalan melewati sebuah lorong yang sunyi dan kotor. Lumpur memenuhi kakinya. Dari ujung lorong, tiba-tiba saja pria itu datang membawa sebuah obor dengan parang tajam yang mengilap di tangan kanannya. Pria misterius itu tertawa dengan suara yang sungguh menyeramkan. Sindi berlari sekencang-kencangnya untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran pria tersebut. Entah mengapa saat itu tiba-tiba saja kedua kakinya terasa sungguh begitu berat dan tak bisa digerakkan. Ia pun segera berteriak untuk meminta pertolongan, akan tetapi suaranya seakan tertahan di dalam tenggorokannya. Ia benar-benar sudah tidak berdaya lagi untuk menyelamatkan dirinya. Pria itu bergerak dengan cepat dan berlari dari belakang untuk menyerangnya. Sindi menjerit, dia pun terbangun dari tidurnya.
Saat ia melihat ke sekeliling, terlihat sebuah lampu minyak yang menyala. Tidak begitu terang, akan tetapi sinarnya mampu membuat seluruh isi kamarnya terlihat dengan cukup jelas. “Untunglah semua itu hanya mimpi” Gumamnya sambil mengelus dadanya. Lega.
Di luar ruangan, hujan masih terdengar risih menimpa atap rumah. Semenjak dari tadi sore, hujan masih juga tak mau berhenti. Apakah ini adalah musim hujan? Sudah memasuki malam yang ketiga dia berada di desa tersebut, malam selalu saja diguyur oleh hujan. Sindi tiba-tiba teringat dengan sesuatu, dan ia segera barjalan menuju jendela untuk menjawab rasa penasarannya.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment