BUS PENYELAMAT PART 10 - Cerita Pembunuhan
PART 10
Sinar matahari pagi tampak menyilaukan dari balik jendela. Tak terasa malam berlalu dengan begitu cepat. Suara burung yang berkicau mulai terdengar ribut riuh menghiasi hari. Sindi baru saja terbangun dari tidurnya. Sepertinya, di pagi itu ia sedikit kesiangan dari pada yang biasanya. Setelah bersiap-siap, dia pun segera keluar rumah untuk memulai pekerjaannya. Di balkon rumah, Buyung dan Ole sudah menunggu dengan menu sarapan pagi dan secangkir kopi hangat. Setelah mengganjal perut dengan sarapan pagi yang seadanya, mereka bertiga pun segera berangkat menemui para petani yang sedang menggarap ladang mereka di kebun.
Sindi sengaja membelikan bebeapa oleh-oleh dari kota sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Barang-barang tersebut seperti pisau, parang, cangkul, dan juga topi. Hari itu pekerjaan mereka adalah membagi-bagikan oleh-oleh tersebut kepada puluhan orang petani setempat bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya. Hal tersebut dia lakukan agar proses pendekatannya dengan masyarakat dapat berjalan dengan mulus dan sesuai dengan rencana.
Satu per satu ladang para warga mereka sambangi, lalu kemudian mulai mewawancarai mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan. Sindi tak mau membiarkan kesempatan itu terbuang dengan sia-sia, sehingga mendorong dirinya agar menjadi sedikit lebih menonjol dengan tujuan untuk mencuri perhatian masyarakat. Apabila ia telah berhasil mencuri hati masyarakat, tentulah apa pun yang ingin dia lakukan di sana akan menjadi lebih mudah untuk kedepannya. Hari itu, Sindi pun memasang wajah terbaiknya dengan senyuman yang paling manis kepada semua orang yang ia temui, baik itu di ladang maupun di jalan. Semua hal tersebut ia lakukan atas saran yang diberikan oleh dosennya di kampus untuk menanggapi rasa cemas yang dikeluhkan Sindi mengenai cerita-cerita buruk yang pernah terjadi di desa tersebut. Setiap kali ia selesai melakukan wawancara dengan para warga , ia pun tidak lupa memberikan beberapa oleh-oleh yang dibawanya dari kota. Hingga hari telah memasuki sore, Sindi dan dua orang pemandunya itu pun akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka.
Sepulangnya dari menemui beberapa warga di hari pertama itu, Buyung dan Ole mengajak Sindi pergi ke sebuah tempat di atas bukit yang terletak di belakang desa Serampeh. Mereka juga mengenalkan Sindi pada dua orang teman perempuan mereka, yaitu Puti dan Nilam. Mereka berlima berangkat bersama-sama menuju ke puncak bukit dengan berjalan kaki. Kebetulan bukit itu tidak terlalu tinggi, hanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit berjalan, akhirnya mereka pun tiba di sana.
Dari atas bukit itu, seluruh kawasan desa Serampeh dapat terlihat dengan jelas. Sawah-sawah yang hijau terhampar di sepanjang jalan masuk ke desa tersebut, sedangkan rumah-rumah warga terlihat berada di tengah-tengah dan diapit oleh dua bukit di kiri-kanannya. Desa itu terlihat seperti sebuah lembah kecil nan indah. Dari kaki-kaki bukit itu hingga ke puncaknya, tampak ladang-ladang warga yang begitu bersih dan rapi. Air sungai mengalir dari atas sana dan kemudian melintas tepat di tengah-tengah sawah, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke arah luar desa tersebut. Sungguh begitu indah. Sindi benar-benar merasa puas dan kagum dengan pemandangan tersebut.
Jarum jam berdetik di dinding. Sudah pukul 19:00 malam. Sindi duduk di ruangan tamu bersama dengan Bu Tiah (bibinya Buyung) dan beberapa orang keluarganya yang lain. Kata Buk Tiah, tadi sore sewaktu Sindi pergi ke puncak bukit yang berada di belakang desa bersama Buyung dan teman-temannya yang lain, banyak para warga yang berdatangan ke rumah untuk mencarinya. Mereka mengadu dan menanyakan sebuah hal kepada Bu Tiah, mengapa mereka tidak mendapatkan oleh-oleh dari Sindi? Padahal sebagian dari teman-teman mereka yang lain banyak yang mendapatkan oleh-oleh tersebut. Sepertinya mereka merasa cemburu. Mereka juga ingin mendapatkan bagian untuk mereka.
Mendengar hal tersebut, Sindi pun tersenyum kecil. Sepertinya ia cukup menyesal karena barang-barang yang ia beli di hari kemarin tidak begitu banyak, sehingga membuatnya tidak bisa memberikan kepada seluruh warga yang ada di sana. Selain itu, ia juga berpikir, jika ia menggunakan seluruh uangnya itu untuk membelikan barang-barang tersebut, tentulah seluruh uangnya itu tidak akan cukup untuk membayarnya. Karena untuk membeli barang yang sebanyak itu tentulah membutuhkan uang yang sangat banyak. Sindi menggelengkan kepalanya, membayangkan sikap para warga di sini yang tidak seperti orang lain pada umumnya. Mereka benar-benar berbeda.
Sindi tiba-tiba teringat dengan sesuatu. Bukankah dua hari yang lalu Meri dan Irma bilang ingin ikut ke desa Serampeh untuk menemaninya? Akan tetapi mereka berdua harus menyelesaikan beberapa hal di kampus terlebih dahulu, dan akan menyusul Sindi ke sini pada hari yang kedua ataupun hari yang ketiga, mereka belum bisa memastikannya. Benar, jika tidak ada hambatan, sepertinya besok atau lusa mereka pasti akan kesini. Meri segera mengambil ponselnya untuk menghubungi mereka dan menyuruh mereka membelikan beberapa barang tambahan untuk memberikan oleh-oleh kepada para warga yang tadi sore mencarinya. Saat ia baru saja menggenggam ponselnya itu, barulah ia sadar ternyata di desa itu tidak ada jaringan. Ia pun segera mengurungkan niatnya dengan hati yang sedikit patah.
Waktu berjalan dengan begitu cepat, tidak terasa sudah lebih dua jam ia mengobrol bersama Buk Tiah dan beberapa orang yang lain. Mereka semua cukup ramah dan baik. Mereka juga memasak makanan untuk Sindi. Satu dua tetes-tetes hujan mulai terdengar jatuh menimpa atap. Hujan mulai turun. Sindi segera pamit dan beranjak menuju kamarnya untuk beristirahat. Rasa kantuk mulai merasukinya.
Ia berbaring di kasur dengan selimut yang membungkus tubuh, sementara itu tangannya sibuk menekan-nekan tombol kamera. Sindi melihat-lihat kembali hasil dokumentasi foto yang dijeperetnya tadi siang. Ekspresi wajah para warga yang berada di sana cukup aneh. Wajah-wajah mereka terlihat begitu datar seakan tak tahu bagaimana cara untuk bersikap dengan baik di depan kamera. Mungkin karena mereka jarang ataukah mungkin juga hampir tak pernah berfoto, karena itulah mereka tak bisa memasang muka dengan baik. Setelah melihat semua foto-foto tersebut, Sindi segera memejamkan kedua matanya. Tidur.
Malam semakin larut dan sunyi. Hawa dingin membuat kulit terasa beku. Suara hujan yang jatuh terdengar begitu merdu dan indah, akan tetapi ada suara yang jauh lebih indah dari pada itu semua. Sekitar pukul dua lewat dini hari, Sindi terbangun lagi dari tidurnya. Suara itu terdengar begitu merdu dan lembut, hingga memaksanya bangkit dan berdiri di bali jendela. Matanya jauh melayang keluar sana, namun tak ada yang terlihat selain dari pada malam yang kelam.
Di malam itu, nyanyian sendu dari sang wanita misterius itu terdengar lebih nyaring daripada malam yang kemarin. Sehingga membuat Sindi bahkan bisa menuliskan setiap kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh wanita tersebut dengan penanya. Wanita itu bernyanyi dalam bahasa daerah yang tak bisa ia pahami. Siapapun wanita iu, menurut Sindi dia pastilah seorang wanita yang cantik, secantik suaranya. Begitulah gumam Sindi di dalam hati. Persis seperti malam yang kemarin, ketika hujan berlalu, suara wanita itu pun lenyap begitu saja tanpa tersisa. Sindi pun kembali menggulung tubuhnya dengan selimut yang hangat.
Pagi telah tiba. Seperti halnya dengan pagi yang kemarin, Buyung dan Ole tampak sudah menunggunya di atas balkon rumah dengan secangkir kopi yang hangat. Hari itu mereka akan memulai sebuah penelitian tentang metode aneh yang digunakan oleh masyarakat desa Serampeh dalam mengusir hama agar tanaman mereka bisa subur dan mendapatkan hasil panen yang maksimal. Hari itu, mereka akan meminta izin kepada Kepala Desa untuk mewawancarai pak Dunto, beliau adalah ketua kelompok tani di desa Serampeh. Selain pak Dunto, mereka juga akan mewawancarai pak Jumri dan beberapa orang petani lainnya. Mereka mulai melangkahkan kaki di jalan.
Tidak begitu jauh menempuh jalan setapak itu, akhirnya mereka pun tiba di rumah Kepala desa. Di sana mereka disambut dengan baik oleh orang nomor satu di desa tersebut. Mereka dipersilahkan masuk dan dijamu dengan berbagai jamuan yang lezat. Ada berbagai jenis buah-buahan yang mereka sajikan, mulai dari Manggis, Jeruk, Salak, semangka, dan menu-menu yang lainnya. Menurut cerita dari Kepala Desa, pada zaman dulu desa ini pertama kali dihuni oleh para pendatang yang berasal dari berbagai daerah, yang datang untuk mencari tempat bercocok tanam. Nama desa Serampeh diambil dari dua kata, yaitu Seram yang artinya suram, dan peh yang artinya tanah. Jadi, nama Desa Serampeh dapat kita artikan sebagai “tanah yang suram.” Mengapa disebut demikian? Karena pada zaman dulu desa ini memang sungguh begitu sepi dan suram, karena penduduknya masih sedikit. Begitulah sejarah singkat mengenai desa tersebut.
Setelah cukup lama mengobrol dengan kepala Desa yang ramah tersebut, mereka bertiga pun segera pamit undur diri. Mereka akan memulai untuk mewawancarai narasumber pertama mereka, yaitu adalah Pak Dunto.
Kata Buyung dan Ole, menurut masyarakat setempat, Pak Dunto adalah orang sakti. Banyak orang yang percaya bahwa beliau punya sebuah kemampuan yang luar biasa, beliau adalah sosok yang bertangan dingin, sehingga setiap tanaman apa pun yang ditanamnya, maka tanaman tersebut akan tumbuh dengan sangat subur, sehingga beliau selalu mendapatkan hasil panen yang melimpah. Setelah cukup lama berjalan, kini Sindi dan dua orang pemandunya itu sudah tiba di depan pintu rumah Pak Dunto. Buyung mengetuknya perlahan.
“Kttuuuukk.. Kttuuukk.. Permisi...” Buyung berdiri dengan posisi terbaik dan wajah yang manis. Begitupun dengan Ole. Melihat dari gaya mereka berdua tersebut, sepertinya pak Dunto ini benar-benar adalah orang yang sangat dihormati di desa ini. Sindi pun juga ikut menirukan gaya yang mereka lakukan.
Tak lama kemudian, terdengarlah suara fals dari dalam yang menyahuti seruan mereka, “Iya... Tunggu sebentar...” Suara itu disusul dengan suara langkah kaki yang berjalan menuju ke arah pintu. Pintu itu pun terbuka.
“Buyung... Ole... Hahaha... Lihatlah dua orang bujang terbaik di negeri Serampeh ini, mereka membawa seorang bidadari tak bersayap dari khayangan” Pak Dunto terkekeh dengan candaannya.
“Ayo! Silahkan masuk dulu, yuk...” Kata pak Dunto seraya mempersilahkan dengan tangan kanannya. Kami bertiga pun segera masuk.
Saat tiba di dalam rumah, kami di sambut pula oleh Ibuk Ramlah istri Pak Dunto. Beliau menjamu kami dengan menyajikan beberapa makanan khas yang terbalut dengan daun pisang. Rasanya manis dan enak, aku cukup menyukainya.
Di rumah Pak Dunto itu, Sindi dan dua orang pemandunya berbincang-bincang hangat dengan beliau. Mereka menanyakan banyak hal kepada Pak Dunto, termasuk juga dengan keahliannya dalam meracik obat untuk mengusir hama dan penyubur tanaman agar hasil pertanian dapat tercapai dengan baik dan maksimal. Semuanya Pak Dunto paparkan dengan begitu jelas, sehingga membuat Sindi pun menjadi takjub dan juga kagum kepada beliau.
“Oh ya, sejak tadi kita ini sudah panjang sekali ceritanya, bukankah ini aneh jika kita belum saling kenal mengenal antara satu sama lain? Nama kamu siapa, nak? Kamu berasal dari mana?” tanya Pak Dunto pada Sindi.
“Oh, perkenalkan, nama saya Sindi, pak. Saya berasal dari kota raya. Saya adalah seorang mahasiswa di kampus Universitas Raya, pak” jawab Sindi dengan ramah. Pak Dunto pun tersenyum hangat setelah mendengarnya. Setelah lama bercerita, ternyata saat itulah Sindi baru tahu, bahwa anak bungsu Pak Dunto ini juga kuliah di kota Raya, akan tetapi kampusnya berbeda dengan Sindi. Anak beliau adalah seorang mahasiswa yang kuliah di bidang Listrik. Dia bercita-cita ingin membangun sebuah PLTA untuk desanya, agar saat malam hari datang, suasana di desanya itu akan menjadi terang-benderang diterangi oleh listrik. Saat ini, ia hampir menamatkan kuliahnya dengan menyandang gelar Megister.
Dalam wawancara pertama tersebut, Sindi telah mendapatkan gambaran besar mengenai teknik dan rahasia Pak Dunto dalam meracik obat pembasmi hama dan penyubur tanaman. Teknik beliau ini cukup aneh dan terkesan tidak biasa. Beliau menggunakan air pembasuh daging yang dicampur dengan sedikit darah binatang, kemudian air tersebut beliau siramkan ke semua tanaman yang ada di ladangnya setiap hari.
Untuk mendapatkan daging-daging mentah di setiap hari, Pak Dunto memasang banyak perangkap babi di dalam hutan, selain itu beliau juga beternak sapi. Daging-daging babi dan sapi tersebut beliau jual ke kota raya kepada agen-agen yang menjual daging di sana. Sebelum daging-daging itu dikemas, beliau mencucinya terlebih dahulu, dan menampung air pembasuh daging itu yang telah dicampur dengan darah di belakang rumahnya ke dalam beberapa drom besar. Setiap sebulan sekali, Pak Dunto selalu menyembelih lima ekor babi dan satu ekor sapi. Setiap air pembasuh daging yang didapatnya sebulan sekali tersebut cukup untuk menjadi penyiram tanamannya selama satu bulan kedepan.
Ternyata pak Dunto bukan hanya mengandalkan obat-obat tradisional itu semata, beliau juga rajin merawatnya dan membersihkan ladangnya di setiap hari. Saat orang lain melakukannya sekali, maka beliau selalu melakukannya dua kali. Bahkan, beliau dua kali lipat lebih tekun dari pada para petani yang lain. Itulah rahasia yang membuat Pak Dunto selalu mendapatkan hasil panen yang melimpah.
Pak Dunto adalah seorang petani yang sukses, beliau bahkan sudah punya beberapa perumahan kontrakan yang terletak di Kota Raya. Di ladang milknya itu, Pak Dunto menanam Vanili di atas tanah yang seluas puluhan hektare. Setiap kali muusim panen tiba, Beliau mampu mendapatkan keutungan yang mencapai miliaran rupiah.
Setelah mewawancarai Pak Dunto, Buyung dan Ole kemudian membawanya lagi menuju ke sebuah rumah kayu yang yang terletak cukup jauh dari rumah penginapannya. Nara sumber mereka yang selanjutnya ini adalah Pak Jumri.
Di dalam perjalanan menuju rumah Pak Jumri tersebut, belasan orang masyarakat tiba-tiba datang dan mengerumuni mereka. Yang paling mengherankan adalah, entah mengapa wajah-wajah mereka itu tampak sungguh menakutkan. Mereka semua saat itu terlihat seperti orang yang sedang marah. Apa yang mereka marahkan? Entahlah, Sindi hanya terpaku diam menyaksikan Ole dan Buyung berbicara dengan mereka menggunakan bahasa daerah mereka.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment