BUS PENYELAMAT PART 7
Hampir saja ia terjatuh ke lantai. Jantungnya berdegup seakan ingin meledak. Suara itu? Bukankah dia adalah sopir bus yang menyeramkan itu? Bagaimana mungkin dia bisa selamat dari sergapan para polisi yang bersenjata lengkap? Sindi menekan bdadanya dengan raut muka cemas. Rasa takut mulai menyerang.
Seakan masih tak percaya dengan kejadian yang baru terjadi, ia pun segera berlari untuk mengunci pintu rumah kontrakan nya. Lalu berdiri sambil membelakanginya dengan wajah yang pucat. Keringat dingin mengucur di pelipis matanya. Ia masih ingat betul bagaimana ngerinya pria gila itu saat memburunya di ladang karet satu bulan yang lalu. Ia berlari membawa pedang yang tajam menyusuri rerumputan di kebun karet. Andai kata saat itu jika dia berhasil menemukan Meri dan Sindi yang mengumpat, pasti ia akan memenggal kepala mereka tanpa belas kasih. Pria itu benar-benar adalah manusia yang kejam dan tidak punya hati nurani.
Tiba-tiba teleponnya kembali berdering di kamar.
"Krriiing... Kriiingg..." Bunyinya nyaring sekali. Sindi terperanjat, matanya sampai melotot tajam saat pertamakali mendengar suara handphone nya tersebut. Ada seseorang yang menelepon. Perlahan-lahan Sindi mulai melangkah maju menuju kamar dengan kaki yang dijinjit. Nyaris tak terdengar.
"Nomor tidak di ketahui"
Sindi langsung lemas ketika melihat tulisan itu di layar ponselnya. Jantungnya kembali berdebar kencang. Sindi berusaha mengatur nafasnya sesaat untuk menenangkan dirinya yang sudah di luar kendali. Ia menarik nafas yang panjang, setelah itu ia langsung menolak panggilan tersebut.
Belum sempat ia hembuskan nafas panjang yang tertahan di dadanya itu, "Kriing.. Kriing.." ponsel ditangannya itu kembali lagi berdering. Panggilan masuk. Sosok misterius itu kembali meneleponnya dengan nomor yang tidak diketahui. Sindi kaget. Dengan buru-buru ia segera menolak panggilan tersebut. Sudah lima kali hal yang sama terjadi, dan sudah lima kali pula ia menolak panggilan itu. Akan tetapi, sosok misterius itu seperti ya belum juga berniat untuk menghentikan pekerjaan nya. Akhirnya, Sindi pun memutuskan untuk mematikan handphone nya. Keadaan pun menjadi sedikit lebih tenang, akan tetapi rasa takut dan cemas itu masih juga tak mau hilang dari dalam hatinya.
Sindi mematikan semua lampu. Ia segera beranjak menuju jendela kaca yang menghadap ke jalan raya. Perlahan-lahan ia menyibakkan layar jendela tersebut dan mulai mengintip keluar ke segala arah. Akan tetapi ia tidak menemukan siapapun di luar sana.
Jam sudah menunjukkan pukul 21:13 malam. Entah mengapa saat itu Meri belum juga pulang ke rumah. Tadi sore dia pamit pergi ke sebuah kafe untuk bertemu dengan teman-teman kuliahnya yang lain. Mungkin di sana mereka sedang sibuk berdiskusi membicarakan tentang masalah perkuliahan. Sindi sendirian. Dia benar-benar gelisah.
Seluruh ruangan sudah gelap. Sindi masih berdiri cemas sembari mengintip keluar halaman dari balik jendela. Saat itu jalanan masih cukup ramai. Satu dua mobil saling berderet dan berpapasan dari arah yang berlawanan. Namun, rasa cemas Sindi masih juga tak mau hilang. Ia harus menghubungi Meri agar segera menjemputnya, karena malam itu dia tidak berani tidur di rumah tersebut.
Sindi segera menyalakan kembali ponselnya yang telah padam. Baru saja dinyalakan, nomor misterius itu sudah kembali muncul meneleponnya. Sindi takut bercampur kesal. Ia segera menolak panggilan tersebut, dan langsung menghubungi Meri.
Sudah hampir satu menit berlalu, layar ponselnya masih belum juga berubah. "Memnanggil." Sindi menggertakan giginya. Kesal dan panik. Ia segera mengirimkan pesan pada Meri. "Meri, kamu di mana? Tolong jemput dan bawa aku pergi sekarang dari rumah kontrakaan ini. Pria kejam itu kembali meneror ku. Dia meneleponku dan mengancam ku. Aku mohon, jika kau membaca pesan ini, aku harap kau langsung datang ke sini secepatnya." Pesan itu terkirim. Setelah ditunggu-tunggu, namun pesan itu tidak juga masuk. Hanya conteng satu. Sepertinya Meri tidak mengaktifkan data selulernya. Meri segera meneleponnya dengan panggilan biasa. Akan tetapi, ternyata nomor hp Meri tidak aktif. Mungkin baterai hp nya sudah habis. Bagaimana ini? Sindi menggerutu dengan berbagai pertanyaan. Perasan panik dan takut benar-benar sudah menguasainya.
Hanya sesaat kemudian, nomor misterius itu kembali meneleponnya lagi. Meri benar-benar kesal. Ia memberanikan diri untuk mengangkatnya.
"HALO!" Nada suaranya meninggi. Kali ini ia benar-benar sudah kesal. Ia bahkan sampai berani meneriaki sosok misterius yang meneleponnya tersebut.
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara nafas seseorang yang sedang kelelahan. Sindi terdiam sambil menaikkan volume ponselnya untuk mendengarnya lebih jelas. Benar, itu terdengar seperti suara nafas seseorang yang sedang kelelahan? Habis berlari? Entahlah. Sepertinya orang ini ingin benar-benar ingin mempermainkannya. Sindi marah.
"HEY! AKU SUDAH TIDAK PUNYA WAKTU UNTUK BERMAIN-MAIN DENGAN LELUCON INI BAJING..." Belum sempat ia melangsungkan kalimat terakhirnya, pria misterius itu sudah mulai membuka mulutnya.
"HAHAHHA... SETELAH JANTUNG ORANG INI KU AMBIL, KAU ADALAH YANG SELANJUTNYA! HAHAHAH..." Pria itu tertawa lantang. Hanya beberapa detik kemudian,
"Tooo...looong... Jaanngan bunuh aa... " Sayup, terdengar suara rintihan seseorang di balik telepon.
"Plak" suara pukulan itu melenyapkan suara pria itu. Ia sudah tak berdaya lagi untuk menjerit. Yang terdengar hanyalah suara nafasnya yang sudah tiba di ujung tenggorokan.
"Bagaimana? Apakah kau masih menganggapnya sebagai lelucon, PEMABUK?" Pria misterius itu memekik di ujung kalimatnya. Sindi kaget. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Hampir saja ia terjatuh ke lantai jika saja tangannya tidak segera meraih dinding.
"Hey PEMABUK! Aku tahu kau takut, tapi kau janganlah berdiri seperti tikus yang bersembunyi dari seekor kucing di belakang layar jendela kamar mu itu. Lambaikan tanganmu padaku. Aku akan memotretnya untukmu! Aku akan segera datang untukmu, sayang. Hahaha..." Pria itu tertawa keras. Sindi langsung menutup teleponnya. Tidak tahan.
Kali ini rasa takutnya benar-benar sudah memuncak. Psikopat itu sudah berada di sana. Ia bahkan sudah tahu bahwa Sindi sedang berdiri bersembunyi untuk mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Bagaimana ini? Pria itu akan segera datang untuk membunuhnya seperti yang telah ia lakukan kepada seorang pria malang itu. Sindi meringkup di sudut kamar dengan tangan yang menekan kepala. Ia sedang berpikir.
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 23:02 malam. Jalanan sudah mulai tampak sepi, walaupun masih ada satu atau dua kendaraan yang sesekali melintas. Suasana mulai terasa hening dan senyap. Hujan masih awet di luar sana dengan kilatan petirnya yang sesekali terpancar menyilaukan malam.
Sindi tak punya pilihan lain, ia harus keluar dari tempat itu secepatnya untuk meminta bantuan kepada tetangganya yang berada di rumah sebelah. Tidak jauh, jarak rumah mereka hanya terpaut sekitar puluhan meter.
"Krriiing.. Krriiing.." Teleponnya kembali berdering. Sindi segera menutup teleponnya. Ia mulai berpikir untuk mengatur langkahnya agar ia dapat keluar dari rumah kontrakan itu menuju rumah tetangnya.
Sindi memberanikan diri. Ia mulai bangkit dari lantai kamar untuk menyiapkan nyalinya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dari kamarnya, lalu menuju ke ruangan tamu tanpa alas kaki. Ia begitu sangat berhati-hati. Setelah mengambil pisau dapur, ia pun segera melangkah menuju jendela depan untuk mengintip situasa dari balik tirai kaca.
Di luar sudah sepi. Tidak ada lagi kendaraan yang lewat. Dahan-dahan pepohonan tampak berayun pelan dihembus oleh angin malam yang lembut. Hujan mengguyur malam semakin deras. Jam sudah hampir pukul 01 : 00 dini hari. Meri beranjak menuju ruangan belakang untuk meliha5 situasi di sana.
Di belakang sana juga tampak begitu sepi. Cukup gelap walaupun ada sepercik bias-bias sinar lampu yang memancar dari rumah sebelah menyinari dahan-dahan pohon beringin yang rindang di halaman belakang. Tidak begitu terang, akan tetapi ia masih bisa melihat situasi di sana saat ia menempelkan wajahnya pada celah-celah jendela kayu. Tidak ada yang mencurigakan.
Perlahan-lahan Sindi mulai membuka jendela di ruangan belakang, lalu mulai melongakkan kepalanya keluar sana. Satu dua tiga. Leher dan kepalanya sudah menjulur keluar, ia segera melirik ke sekelilingnya. "Aman" gumamnya di dalam hati. Ia langsung menutup jendela kayu itu dan beranjak menuju pintu belakang.
Pelan sekali, hampir tidak mengeluarkan suara sedikitpun, pintu itu sudah mulai menganga. Sebelum ia benar-benar keluar dari tempat itu, Sindi kembali menjulurkan kepalanya keluar untuk melihat situasi yang ada di kiri kanan luar pintu untuk memastikan keadaan. Di sisi lain, tangan kanannya bersiap-siap menghunuskan pisau dapur yang begitu runcing. Dia benar-benar waspada.
Jantungnya berdegup kencang. Kakinyanbahkan sampai gemetaran. Lemas.Tak sadar kini keringatnya sudah bercucuran di wajahnya sejak tadi. Saat kepalanya menoleh, berhembuslah angin malam yang sejuk ke wajahnya. Tidak ada siapa pun yang berada di tempat itu. Yang tampak hanyalah malam yang gelap.
Tanpa pikir panjang, ia pun segera berlari kencang menuju rumah tetangga dengan kaki yang telanjang.
Setibanya ia di depan pagar tembok rumah tersebut, ia benar-benar dibuat panik. Ternyata pintu pagarnya dikunci dengan gembok. Sindi sudah tidak punya waktu, wajah sosok pria psikopat yang gila itu terasa seakan-akan terus mengejarnya dari belakang. Ia hampir menjerit dan menangis, namun ia takut suaranya itu akan terdengar oleh psikopat yang gila itu. Ia seakan-akan berada di mana-mana seperti hantu.
Hujan lebat terus mengguyur malam. Sekujur tubuhnya basah tersiram hujan. Sindi yang panik itu sudah hampir kehilangan akalnya, ia bahkan sampai nekat memanjat tembok besi itu dengan kedua tangan dan kakinya. Entah bagaimana caranya, ia berhasil melewati tembok yang setinggi dua meter itu hanya dalam waktu hitungan detik. Kini, ia sudah tiba di dalam halaman rumah tetangganya.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment