BUS PENYELAMAT PART 5
Empat orang pria itu menggotong tubuhnya. Meri menjerit dan memberontak berusaha untuk melepaskan diri. Suaranya terdengar histeris memadati lorong yang kumuh itu. Akan tetapi semuanya sia-sia, mereka terus menyeret tubuhnya dan membawanya menuju ke sebuah ruangan yang terletak di lantai bawah.
Ketika mereka tiba di depan mulut pintu ruangan tersebut, seketika itu juga aroma busuk langsung menyeruak menusuk ke dalam hidungnya. Sungguh menjijikkan. Tempat itu penuh dengan bangkai-bangkai yang telah membusuk. Tulang-belulang berserakan. Darah merah tersebar di mana-mana melumuri lantai ruangan.
Di dalam ruangan tersebut, terdapat banyak sekali kandang-kandang besi yang sengaja dibuat untuk menampung para mangsa mereka sebelum disembelih. Terlihat beberapa ekor babi hutan yang telah mati dan sebagiannya lagi ada juga yang sedang terkurung di balik jeruji. Mereka memasukkan Meri ke dalam salah satu kandang besi tersebut, dan kemudian meninggalkannya begitu saja di tempat itu.
Meri terus menerus menjerit dan menggoncang-goncangkan kandang besi itu dengan sekuat tenaga berusaha untuk keluar dari tempat tersebut, akan tetapi jeruji besi itu terlalu kuat untuk dijebol. Ia tak sanggup untuk menjebolnya. Kini, ruangan pembantaian itu kembali menjadi hening dan sunyi. Yang terdengar hanyalah suara rintihan dan tangisannya yang begitu memilukan.
Aroma busuk terus menerus menyeruak memenuhi ruangan. Ribuan lalat terlihat dan terdengar berdengung di mana-mana. Meri tak sanggup lagi mencium aroma busuk tersebut, sehingga membuatnya mual dan muntah-muntah.
Ruangan itu sungguh menakutkan. Ia melihat ada dua tubuh manusia tanpa kepala yang menggantung bersama dengan beberapa tengkorak kepala manusia yang lain . Darahnya menetes ke lantai. Banyak sekali tulang-belulang lain yang berserakan di tepi dinding. Kepala sapi dan babi juga berserakan dilantai ruangan, sebagiannya masih berdarah dan sebagian yang lainnya telah dipenuhi oleh cacing dan belatung. Membusuk.
Meri ketakutan. Dia sudah tidak tahan lagi berada di tempat itu. Ia kembali mendobrak jeruji besi itu dengan sekuat tenaga, namun dia tetap juga tidak berhasil menjebolnya. Saat ia sibuk mendobrak kandang besi itu dengan kedua tangannya, tiba-tiba ia mendengar ada suara dari luar. Suara itu adalah suara para psikopat yang tadi mengurungnya. Mereka berjalan menuju ke arah ruangan tersebut dengan berlari. Meri pun segera diam dan menghentikan pekerjaannya.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia melihat ada seseorang yang berjalan di depan ruangan tersebut. Orang itu berhenti sejenak selama beberapa detik. Ia sedang bersembunyi dan mengendap-ngendap di tepi dinding. Saat ia mendongak keluar sana untuk memperhatikannya dengan jelas, orang itu malah berlalu pergi meninggalkan tempat itu. Sepertinya ia sedang terburu-buru.
Satu menit kemudian, tiba-tiba muncullah empat orang pria yang sadis tersebut. Mereka berlari sambil berteriak ke arah depan sana. Sepertinya mereka sedang mengejar seseorang. Oh Tuhan! Ternyata orang yang tadinya berhenti di depan sana itu bukanlah saah satu dari mereka. Akan tetapi orang itu adalah salah satu dari mangsa mereka yang berusaha untuk melarikan diri. Siapakah sosok itu? Meri tidak mengetahuinya.
Saat empat orang itu sibuk mengejar mangsanya tersebut, Meri pun mulai berpikir. Perhatian mereka sedang teralihkan untuk sementara. Inilah kesempatan terbaik baginya untuk meloloskan diri. Dia pun segera menggoncang kandang besi itu dengan sekuat tenaga. Kemudian menghentakkan kedua kakinya itu, menendang dan mendobraknya. Kandang besi itu pun jatuh dan terguling ke lantai. Meri merintih menahan sakit.
Ia segera bangun kembali. Entah bagaimana jadinya, dengan ajaib ternyata ia berhasil membuat beberapa besi lantainya menjadi copot. Ia pun segera bergegas keluar dari kandang itu dan kemudian berlari meninggalkan ruangan yang busuk itu untuk menyelamatkan diri. Ia berlari dengan terseok-seok melewati lorong bawah tanah itu seperti orang gila. Terhuyung-huyung sampai beberapa kali terjatuh dan menabrak dinding, namun ia kembali bangkit dan berlari menuju tangga ke lantai dua. Dia berhasil tiba di sana dengan selamat.
Suasana di lantai dua itu sedikit jauh lebih baik dan bersih dari pada lantai bawah yang begitu kumuh. Ruangan dan lorongnya juga tidak terlalu luas. Ia dapat dengan mudah menemukan tangga menuju lantai atas. Akan tetapi, sebelum tiba di kaki tangga itu, ia melihat ada sebuah ruangan yang diterangi oleh listrik yang terdapat di lorong sebelah kiri tangga. Ia segera menghampiri ruangan itu untuk mencari tahu. Tempat apakah itu?
Ruangan itu tampak bersih. Tidak ada kandang besi dan cipratan darah yang melumuri lantai dan dinding. Yang terlihat hanyalah layar-layar plastik yang menggantung berlapis-lapis. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia mendengar ada bunyi suara dengungan mesin. Suaranya begitu pelan. Meri yang ketakutan itu pun segera masuk dan bersembunyi di dalam ruangan tersebut. Ia menyingkap layar-layar plastik bening itu dengan kedua tangannya. Lalu bersembunyi di belakangnya.
Setibanya ia di belakang sana, Ia melihat ada beberapa freezer besar yang berada di dalam ruangan tersebut. Meri sangat berharap bisa menemukan makanan di dalam lemari-lemari es itu, karena ia sudah mulai merasa lapar. Dia pun segera membuka freezer tersebut dengan kedua tangannya. Ya Tuhan! Ia hampir saja berteriak. Beruntung ia segera menutupi mulutnya itu dengan kedua tangan sembari mundur jauh ke belakang. Ia sungguh terhenyak melihat benda-benda yang berada di balik freezer-freezer tersebut. Ternyata tempat itu adalah tempat penyimpanan daging-daging manusia dan binatang.
Daging-daging itu dimasukkan kedalam plastik bening. Di setiap plastiknya sudah diberi label sesuai dengan isinya. Jantung, Ginjal, Hati, dan juga daging. Mereka membaginya dalam empat jenis, lengkap dengan tulisan alamat dan juga nama pembeli. Ternyata para psikopat yang kejam itu adalah penjual organ tubuh manusia. Mereka menculik para korbannya, lalu memutilasi tubuh mereka, dan kemudian diambil organnya untuk dijual. Sungguh biadab. Meri mengutuk.
Ia segera berlari keluar meninggalkan ruangan tersebut, dan kemudian menaiki anak tangga itu menuju lantai atas. Dia berhasil menggapai ruangan tersebut tanpa hambatan yang serius.
Ssst. Tiba-tiba langkahnya terhenti tepat ketika ia pertamakali menginjakkan kaki di ruangan tersebut. Ia berdiri mematung menatap sesosok yang tengah berdiri di hadapannya. Sosok kecil itu tengah menatapnya lamat. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Ssst.. Meri menempelkan jemari telunjuknya itu di depan bibir, memberi isyarat kepada anak kecil itu agar ia tidak berteriak memanggil keluarganya yang lain. Anak tersebut tidak bergeming sedikitpun. Ia hanya terdiam membisu dan terus memandangi Meri yang berada di hadapannya.
Susana begitu hening. Ruangan itu tampak kosong dan sepi. Tidak ada orang lain yang mengisi ruangan itu selain dari pada anak kecil tersebut. Ruangan itu tidak begitu luas, hanya berlantaikan semen dan berdindingkan kayu. Tidak ada perabot-perabot mewah yang menghiasinya. Yang ada hanyalah beberapa kepala binatang yang terpaku di dinding.
Meri mulai melangkahkan kakinya. Perlahan-lahan. Matanya tak lepas dari wajah anak tersebut. Tiba-tiba saja, anak kecil itu berteriak histeris memanggil-manggil keluarganya yang lain, untuk memberitahu bahwa Meri ada di dekatnya. Meri yang kaget itu langsung memukul kepala anak tersebut dengan sekuat tenaga, sehingga membuat anak kecil itu terbentur ke dinding dan terjatuh ke lantai. Kepalanya menghantam sesuatu.
"Ya Tuhan!" Meri menjerit. Ternyata kepala anak itu menghantam sebuah paku yang menancap di dinding. Kepalanya terluka. Darah merah mulai mengalir membasahi lantai. Anak kecil itu tidak bergeming sedikitpun. Meri sungguh begitu takut dan panik. Ia segera berlari keluar dari rumah tersebut untuk menyelamatkan dirinya.
Beberapa saat kemudian, datanglah beberapa dari keluarganya yang lain. Orangtuanya, kakaknya dan mungkin juga adalah pamannya. Mereka sungguh kaget dan histeris ketika mendapati anak kecil mereka itu terkapar di lantai berlumuran darah. Anak tersebut tewas seketika. Mereka semua pun menjadi sungguh begitu marah dan murka.
Meri terus berlari ke dalam ladang karet yang begitu luas untuk menyelamatkan dirinya. Tidak peduli kemanakah ia akan pergi, ia hanya berusaha untuk menjauh sejauh-jauhnya dari tempat yang terkutuk itu. Ia terus berlari menembus belukar demi belukar, duri demi duri, hingga akhirnya tubuhnya pun terjerembab ke dalam sebuah parit yang berisikan lumpur. Ia menjerit kesakitan.
Sungguh beruntung. Jika sejengkal lagi tubuhnya itu jatuh ke sebelah kanan, maka perutnya akan berlubang oleh kayu-kayu runcing yang tertanam di dalam sana. Itu adalah perangkap yang dipasang oleh para psikopat itu untuk menjerat mangsanya. Dengan sisa-sisa tenaganya yang masih ada tersebut, ia pun segera bangun kembali dan keluar dari parit tersebut untuk menyelamatkan dirinya. Kemudian melanjutkan pelariannya itu tanpa mempedulikan apapun. Ia sudah macam orang yang kehilangan akal dan kerasukan setan.
Sindi terbangun. Ia merintih menahan sakit. Kepalanya masih terasa begitu berat. Ia kembali berdiri dan berusaha untuk keluar dari lubang perangkap tersebut. Ia mencabut satu persatu kayu runcing itu, dan kemudian menggunakannya untuk memanjat keluar dari tempat itu. Sindi hampir berhasil.
Hanya beberapa meter saja ia berlari meninggalkan parit tersebut, tiba-tiba langkahnya pun terhenti. Ia sungguh begitu kaget. Ada sesuatu yang ditangkap oleh telinganya. Suara itu, iya benar, suara itu menghentikan langkahnya. "Me..rri..." Suara itu terdengar begitu pelan memanggil namanya. Ia pun segera menoleh sana-sini untuk mencari sumber dari suara tersebut.
OH TUHAN! Meri sungguh begitu kaget. Ia segera berlari menghampiri sosok tersebut yang ternyata adalah temannya, Sindi. Meri langsung menarik tubuh temannya itu dari lubang tersebut. Mereka saling berpelukan. Tak disangka mereka akan bertemu kembali di tempat itu.
Para psikopat gila itu sungguh begitu sedih ketika melihat tubuh salah satu dari anggota keluarganya yang telah tewas. Mereka meratap sejadi-jadinya. Mereka benar-benar sungguh begitu murka. Mereka segera keluar dan berpencar menyusuri kebun karet itu untuk memburu Meri yang berusaha kabur melarikan diri. Mereka akan membantainya. Menggorok lehernya, mengambil jantungnya, ginjalnya, dan juga semua daging-daging beserta kulitnya untuk dijual dan juga dimakan.
Para psikopat yang kejam itu berhamburan di dalam kebun karet dengan begitu beringasnya. Mereka membawa semua senjata. Menyapu semua sudut ladang karet itu dengan berlari dan membabi buta.
Meri dan Sindi segera bangkit, dan kemudian berlari meninggalkan tempat itu untuk menghindari kejaran para psikopat yang sadis tersebut. Meskipun padang duri melintang menahan langkah mereka, namun mereka tetap tidak peduli. Mereka terus berlari ke depan sana tanpa henti, dan tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Sudah hampir 1 km mereka berlari meninggalkan lubang perangkap itu, tiba-tiba saja Meri terjatuh ke tanah. Ia menjerit keras kesakitan. Kakinya berlubang. Sebuah benda runcing menembus telapak kaki kirinya. Ia tak sanggup lagi berjalan. Tak sanggup lagi membantu Sindi untuk berlari. Salah satu perangkap yang dibuat oleh psikopat itu berhasil menjerat kaki Meri. Mereka berdua kini sudah bernasib sama. Sungguh begitu malang. Mereka terpaksa menggunakan kayu menjadi tongkat untuk terus melangkahkan kaki mereka.
Di sisi lain, para psikopat itu telah menemukan jejak mereka. Mereka terus berlari menyusuri ladang karet itu untuk memburu mangsa mereka yang berusaha untuk kabur melarikan diri.
Tidak lama kemudian, mereka pun berhenti sejenak. Mereka menemukan sisa-sisa tetesan darah segar yang melumuri dedaunan. Terlihatlah salah satu perangkap mereka yang telah hancur dan berlumuran darah. Salah satu dari pria itu langsung mengangkat tangannya, memberi sebuah isyarat perintah. Setelah itu, para pria yang lain itu pun segera berpencar ke segala arah. Memburu mangsanya yang kabur.
Mereka melangkah dengan perlahan sembari mengintip ke segala arah. Begitu jeli, langkah kaki mereka nyaris tak terdengar. Seperti hantu yang berjalan di atas angin. Tak menyisakan suara sedikitpun. Ditangan mereka tampak parang dan pedang yang mengkilap tajam. Siap memotong dan memenggal apa saja yang menghalangi langkah mereka.
Meri dan Sindi berbaring di balik padang duri. Mereka menutup tubuh mereka dengan daun-daunan untuk bersembunyi dari kejaran para orang gila yang kejam itu. Mereka menangis sembari menutup mulut mereka dengan kedua tangan. Waktu berlalu dan terasa begitu menakutkan. Jantung mereka berdegup. Kematian semakin dekat menghampiri mereka.
Para psikopat yang gila itu hanya terpaut beberapa meter di depan mereka. Mereka melangkah dengan perlahan, sembari menghunus senjata tajam itu di tangan mereka. Mereka semakin dekat. OH TIDAK! Mereka berteriak di dalam hati.
DOORR! Suara ledakan itu membuat jantung mereka meledak.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment