BUS PENYELAMAT - PART 12
Ia mulai melempar pandang ke luar sana, lalu memasang kedua telinganya itu dengan lebar untuk mendengarkan sesuatu. Mengapa suara yang indah itu belum juga terdengar bersenandung dengan lagunya yang sendu itu? Bukankah sejak dua malam yang lalu ia selal bernyanyi? Ataukah dia sudah tertidur pulas di rumahnya? Sindi masih penasaran melempar matanya ke dalam gelap di luar sana.
Saat itu, jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul dua lewat dini hari. Perlahan-lahan suara hujan itu mulai melemah, hanya menyisakan rintik-rintik gerimis kecil yang jatuh menimpa atap. Tak lama berselang, suara yang indah itu pun mulai terdengar di ujung telinganya. Sindi yang tadinya sudah kembali ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya itu, sekarang ia kembali bangkit dan berdiri di balik jendela untuk mendengarkan nyanyian yang misterisu tersebut. Nadanya benar-benar indah dan menyayat. Walaupun ia tidak mengerti dengan setiap kalimat yang dinyanyikan oleh sosok wanita yang misterius itu, namun entah mengapa ia seakan-akan merasa paham dan ikut merasakan apa yang wanita itu rasakan. Lagu itu adalah sebuah ratapan. Seakan-akan menggambarkan isi hati sang penyanyi yang telah hancur tersayat berkeping-keping. Entah apa yang telah menimpa hidupnya, sepertinya ia sungguh begitu sedih. Hingga hujan berlalu, suara nyanyian indah itu pun lenyap ditelan oleh malam.
Sindi sungguh penasaran dengan sosok wanita yang misterius itu. Siapakah dia? Apa yang telah menimpa hidupnya? Apakah makna dari setiap untaian bait-bait lagu yang ia nyanyikan tersebut? Semua pertanyaan itu benar-benar mengusik relung hatinya. Ia bahkan sampai berencana untuk menanyakan hal tersebut kepada Buyung di pagi besok. Ia pun kembali menyambung tidurnya.
Pagi telah tiba. Seperti yang telah mereka rencanakan, hari itu Ole akan berangkat ke kota untuk membelikan barang-barang yang telah Sindi terangkan padanya tadi malam.Selain membeli barang, hari itu Ole juga akan menjemput Meri dan Irma dengan mobil pickup miliknya. Di sisi lain, hari itu Sindi akan berkunjung ke ladang kopi milik Pak Muradi bersama dengan Buyung. Sekitar pukul delapan pagi, Ole pun pamit dengan membawa mobil pickupnya. Tak lama setelah itu, Buyung dan Meri pulalah yang berangkat menuju ladang Pak Muradi.
Di pagi itu Pak Muradi sengaja datang lebih awal ke ladangnya bersama dengan beberapa orang pekerjanya. Saat Sindi dan Buyung tiba, mereka menyambutnya dengan ramah. Tidak banyak basa-basi, Pak Muradi segera menujukkan beberapa cara yang sering ia lakukan dalam merawat tanaman kopi miliknya.
Satu dari salah satu cara tersebut yang beliau tunjukkan pada Sindi ialah teknik mematahkan atau menanggalkan dahan-dahan kopi yang sudah mati dari batang pohonnya. Jika dahan-dahan tersebut tidak dipatahkan atau dilepaskan dari batang pohon kopi, maka hal tersebut dapat mengganggu atau menghambat pertumbuhan batang kopi tersebut. Selain itu juga, jika pohon kopi sudah besar, kalau ada tunas baru atau dahan baru yang tumbuh di batang kopi bagian bawah, maka tunas tersebut juga harus dipatahkan, karena hal tersebut juga dapat menghambat pertumbuhan batang kopi dan juga dapat mempengaruhi buah kopi yang dihasilkan. Sindi mencatat semuanya dengan penanya, dia juga tak lupa mengabadikan momen tersebut dengan kamera milknya.
Hari telah siang, matahari sudah berada tepat di posisi tertingginya. Mereka semua pun memutuskan untuk beristirahat di sebuah pondok kayu yang ada di ladang tersebut. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang dan menyantap beberapa makanan.
Saat acara break itu berlangsung, tiba-tiba terdengarlah suara mobil yang cukup kencang menuju ke arah gerbang ladang milk Pak Muradi. Semua perhatian pun langsung tertuju pada sosok pria yang mengendarainya. Pria itu membawa sesuatu di bak belakang, benda itu tertutup dengan terpal, sehingga Sindi tak bisa melihatnya dengan jelas.
“Air darahnya sudah datang. Kunek, tolong bantu si algojo kita untuk menurunkan barang-barang tersebut di belakang sana” Perintah Pak Muradi kepada salah satu pekerjanya. Tanpa jawaban, pria itu pun segera bergegas menuju mobil tersebut yang terparkir di belakang pondok kayu. Sindi merasa penasaran, dan ia pun segera turun dari rumah kayu itu untuk mengikuti si Kunek ke halaman belakang.
“Kenapa dia ada di sini?” tanya sopir tersebut kepada temannya sambil melirik ujung kaki Sindi hingga ke ujung kepalanya. Sindi tiba-tiba saja menjadi gentar. Suara pria itu terasa seakan-akan tidak begitu asing bagi dirinya. Saat ia memandang wajah pria tersebut, entah mengapa rasa takutnya mendadak saja muncul.
“Dia sedang melakukan sebuah penelitian kampus di desa kita” begitu jawab Kunek kepada pria tersebut. Pria itu pun menganggukkan kepalanya. Paham. Mereka berdua segera menurunkan barang-barang tersebut, dan memindahkannya ke dalam sebuah kolam yang telah disiapkan.
Saat mereka membukakan tutup-tutup galon itu untuk menuangkan air darah daging tersebut, aroma busuk pun langsung menyeruak ke dalam hidung. Sindi bahkan sampai menutupi hidungnya itu dengan tangan kanannya. Mungkin air tersebut sudah lama dipengap, sehingga membuat aromanya sungguh tidak enak untuk dicium.
Hari telah sore, sudah waktunya untuk pulang. Sebelum pulang ke rumah penginapannya, Sindi meminta izin kepada pak Muradi untuk mengisi baterai ponsel dan jugga baterai kameranya yang sudah habis, karena kebetulan sekali di rumah Pak Muradi tersebut ada listrik yang memakai tenaga surya. Rencananya nanti malam ia akan mengambil barang-barang tersebut ketika semuanya sudah terisi penuh bersama dengan Buyung dan juga Ole. Pak Muradi tidak banyak cerita, beliau pun mengizinkannya.
Saat mereka tiba di rumah, ternyata Ole belum juga pulang dari Kota Raya. Mungkin maghrib atau biasanya paling lambat adalah setelah Isya, mereka akan nyampe di rumah. Biasanya kalau di musim-musim hujan begini, air sungai akan menjadi deras—sehingga sulit untuk dilewati baik itu oleh kendaraan yang beroda dua maupun yang beroda empat. Para pengendara harus menunggu di sana selama beberapa jam sampai air sungai itu menjadi normal kembali, dan itu biasanya akan berakhir sampai pada waktu senja menjelang malam. Begitu kata Buyung. Sindi pun mengangguk, dan berharap semuanya dapat berjalan dengan baik.
Hari telah beranjak malam. Sisa-sisa sinar senja yang jingga itu kini bahkan telah lenyap dari cakrawala barat, hari benar-benar sudah menjadi gelap. Sindi melihat jarum jam di tangannya, saat itu sudah pukul delapan malam. Mengapa Ole belum juga datang? Apakah dia baik-baik saja? Ataukah sesuatu telah terjadi padanya di jalan? Oh tidak, Sindi sungguh tidak mengharapkan semua hal tersebut menimpa Ole. Semoga saja Ole akan cepat pulang.
Sindi bersandar di balkon rumah di atas sebuah kursi kayu sambil melepas jauh matanya memandang ke jalan setapak sambil berharap akan ada cahaya lampu mobil yang terlihat dari ujung sana. Setelah lama ditunggu, akan tetapi mobil Ole tersebut belum juga terlihat muncul di hadapannya. Saat itu sudah pukul sembilan, Sindi pun meminta Buyung untuk menemaninya pergi ke rumah Pak Muradi, dia hendak mengambil barang-barangnya yang tadi sore ia titipkan di sana, termasuk juga dengan ponselnya.
Buyung segera menyalakan motor trailnya, mereka berdua pun segera berangkat menuju rumah pak Muradi yang terletak di kaki bukit di belakang desa. Untuk sampai di rumah tersebut, mereka harus melewati jalanan yang berbelok-belok dan juga agak mendaki.
Suara dengungan mesin motor trail milik Buyung itu benar-benar risih, bahkan telinga Sindi sudah berdengung-dengung dibuatnya. Sorot lampunya yang menyala terang membuat jalanan tampak sungguh begitu jelas. Saat itu beruntunglah hujan belum turun, jadi, kondisi jalanan tidak begitu parah dan mudah untuk di lewati.
Suasana di desa Serampeh di malam hari cukup ramai, terlihat ada beberapa api unggun yang dinyalakan di tepi jalan, semuanya diisi oleh kaum bapak-bapak yang asyik berbincang-bincang dengan teman-teman mereka. Mereka bahkan terlihat cukup ramah saat Buyung membunyikan klakson motornya, mereka semua tersenyum sambil mengangkat tangan mereka. Namun, di sisi lain jalanan di desa tersebut juga terkesan sepi dan mencekam. Karena suasana di sini sungguh begitu gelap, hampir semua rumah yang ada di sini tidak menggunakan listrik.
Beberapa belas meter saja setelah melewati rumah terakhir yang berada di tepi jalan tersebut, terlihat lagi ada sebuah jalan setapak yang mengarah naik menuju ke kaki bukit. Tepat di persimpangan tersebut, ada sebidang tanah yang dipenuhi dengan batu-batu kecil. Saat Sindi memperhatikannya dengan jelas, ternyata itu adalah batu-batu nisan. “Oh Tuhan! Ternyata ini adalah kuburan!” Sindi terperanjat.
Setelah cukup lama berkendara di jalan, akhirnya mototr trail itu pun sampai di tempat tujuan. Di depan rumah, terlihat ada beberapa orang yang duduk di atas kursi yang menghadap ke sebuah api yang menyala. Aroma gurih dan lezat pun tercium. Ternyata bapak-bapak tersebut sedang memanggang daging.
Mereka menawari Sindi dan Buyung untuk ikut makan malam bersama mereka. Sindi dan Buyung sungguh tak bisa menolak, akhirnya mereka pun ikut duduk bersama Pak Muradi dan beberapa temannya yang lain menikmati makan malam yang lezat tersebut. Suara tawa, canda, dan kecipak-kecipung piring yang diadu dengan sendok pun mulai terdengar berbarengan dalam waktu yang bersamaan. Sungguh tak bisa dipungkiri, masakan tersebut sungguh begitu lezat, kali ini Sindi benar-benar sungguh tak menyesal karena telah ikut bergabung dalam jamuan makan malam bersama dengan mereka semua.
Saat acara makan malam itu hampir saja berakhir, tiba-tiba terdengarlah satu dua tetes hujan yang jatuh menimpa atap. Semakin lama semakin banyak dan nyaring. Hujan deras telah tiba.
“Dek, sebaiknya kalian berdua malam ini nginap di sini aja, ya. Hujannya deras sekali. Kondisi jalan ke bawah sana pasti juga akan menjadi licin dan susah untuk dilalui. Ibu takut nanti terjadi apa-apa sama kalian berdua di jalan..” Istri Pak Muradi berucap ramah menawarkan Sindi. Sindi pun membalasnya dengan terimakasih banyak, sepertinya tawaran dan saran tersebut tidak merubah pendiriannya. Sindi tetap ingin pulang ke rumah penginapannya. Tak ada ilihan lain, Buyung pun hanya menurut.
Penulis : Zain Losta Masta
PART 9 PART 10 PART 11 PART 12
PART 13 PART 14 PART 15 PART 16
PART 17 PART 18 PART 19 PART 20
PART 21 PART 22 PART 23 PART 24
PART 25 PART 26 PART 27 PART 28
PART 29 PART 30 PART 31 PART 32
PART 33 PART 34 PART 35 PART 36
PART 37 PART 38 PART 39 PART 40
PART 41 PART 42 PART 43 PART 44
PART 45 PART 46 PART 47 PART 48
PART 49 PART 50 PART 51 PART 52
PART 53 PART 54 PART 55 PART 56
PART 57 PART 58 PART 59 PART 60
PART 61 PART 62 PART 63 PART 64
PART 65 PART 66 PART 67 PART 68
PART 69 PART 70 PART 71 PART 72
PART 73 PART 74 PART 75 PART 76
PART 77 PART 78 PART 79 PART 80
PART 81 PART 82 PART 83 PART 84
PART 85 PART 86 PART 87 PART 88
PART 89 PART 90 PART 91 PART 92
Comments
Post a Comment