CERITA MISTERI HUTAN LADANG KARET - PART 1/9
PART 1
Malam ini hujan turun deras, petir menggelegar terdengar saling bersahutan di atas langit malam. Sudah begitu lama musim panas ini melanda, sepertinya inilah waktu yang tepat untuk musim hujan pulalah yang mendapat gilirannya.
Malam ini adalah malam minggu, konon katanya malam ini adalah malam yang panjang bagi kaum muda, akan tetapi aku kurang setuju, karena bagiku semua malam itu sama saja panjangnya, namun hal itu juga tergantung dengan situasi apakah yang sedang kita hadapi.
Sebagaimana halnya dengan malam ini, sepertinya aku harus mengakui bahwa malam minggu ini adalah malam yang cukup panjang dan mencekam daripada malam-malam minggu yang sebelumnya. Karena malam ini aku harus menginap dirumah kakek ku di sebuah desa yang terpencil dan cukup jauh dari pusat kota.
Aku ingin ceritakan sedikit cerita mengenai desa kakek ku ini.
Desa kakekku ini adalah sebuah desa yang kecil, desa ini adalah desa petani yang kebanyakan mereka berasal dari kota maupun luar kota.
Disini, mereka hanya bekerja untuk menggarap ladang mereka, dan biasanya mereka selalu pulang dalam waktu seminggu sekali walaupun kadang-kadang ada juga yang pulang dua minggu sekali.
Biasanya mereka selalu pulang pada hari sabtu dan akan kembali lagi ke ladang mereka pada hari senin pagi.
Seperti pada saat ini, suasana desa kakekku ini benar-benar sepi dan mencekam. Tidak ada suara manusia yang terdengar berceloteh, tidak ada kendaraan yang berlalu lalang, semuanya seakan sibuk menyembunyikan diri mereka masing-masing di dalam rumah.
Oh iya, saya baru ingat, bahwa lebih dari separuh petani di desa ini sudah pulang ke kampung mereka sore tadi, termasuk juga Pak Witan teman baik ayahku yang berasal dari kota.
Jumlah rumah di desa ini tidak lebih dari 30 rumah. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain terbilang cukup jauh, adalah sekitar puluhan meter. Jadi rumah penduduk disini tidak merata dan tidak berdekatan, mereka kebanyakan mendirikan rumah di ladang mereka masing-masing.
Dulu, sewaktu aku masih kecil, tepatnya sewaktu aku masih duduk di bangku SD, kakek ku sering menakutiku dengan cerita-cerita hantu yang menunggu rumah kosong sekitar 100 meter dari rumah kakekku. Aku tidak tahu apakah cerita itu benar dan ataukah hanya sebatas dongeng yang menakutiku agar aku tidak bandel lagi dan cepat tidur.
Kini di umurku yang menginjak 23 tahun ini, aku memutuskan bahwa cerita itu hanyalah dongeng belaka yang di peralat oleh kakekku dengan tujuan yang tidak lain hanyalah untuk menakut-nakutiku yang pada waktu itu sangat bandel. Namun, entah mengapa aku merasa seperti ada yang berbeda dengan malam tersebut.
Hujan masih terdengar berisik diluar sana bersama hembusan angin malam dan juga petir yang saling bersahutan.
Jam sudah menunjukkan pukul 12:13 dini hari. Nenek dan Kakekku sudah tertidur pulas di dalam kamar mereka. Sementara aku masih juga terbangun dan tidak bisa memejamkan mataku walau sedikitpun.
Ada yang mengusik ku, tiba-tiba salah satu anjing kepunyaan kakekku terdengar berlari dari teras depan menuju arah jalan. Anjing tersebut menyalak sambil berlari menuju jalan yang gelap. Aku langsung bangun dari ranjang, dan kemudian segera mengintip dari celah-celah tirai jendela kamar untuk mencari tahu apakah gerangan yang sedang terjadi.
Pada waktu yang bersamaan pula, tiba-tiba anjing tersebut berlari kembali menuju rumah kakekku dengan suara yang kecut seakan baru saja dikejar oleh sesuatu. Sementara anjing yang satunya (yang tadinya tidak ikut berlari) mulai berdiri dan menyalak keras ke arah jalan sewaktu teman nya itu berlari kecut menghampirinya.
Entah mengapa pada saat itu juga aku langsung menebak, bahwa di sana, di dalam gelap dekat jalan, ada sesuatu yang besar yang tidak dapat kulihat dengan kedua mataku. Entah itu karena malam yang gelap, dan ataukah itu hanyalah ilusiku, entahlah, aku masih berdiri penasaran mengintip dari balik tirai jendela.
Karena tidak mendapat jawaban dari rasa penasaranku itu, aku pun memutuskan untuk mengambil senter di dalam lemari kamarku. Kemudian kembali lagi menuju jendela untuk mengintip. Tetap saja tidak ada yang dapat aku lihat dengan senterku melainkan hanyalah malam yang gelap gulita dan mencekam, mungkin cahayanya tertahan oleh runtik-rintik hujan, begitulah dugaanku.
15 menit telah berlalu, kini kedua anjing milik kakekku itu sudah kembali terdiam, kini akupun menebak bahwa apapun itu yang berada di dalam gelap di luar sana sudah pergi menghilang dan menjauh. Kini saatnya aku harus tidur, karena di pagi besok aku harus bangun sholat subuh dan berada di bukit Tumba sebelum fajar datang.
Oh iya, aku lupa memberitahukan kepada kalian, bahwa aku adalah seorang youtuber. Tujuanku datang ke kampung kakekku ini ialah untuk membuat sebuah video dokumenter, dan tujuanku untuk mendatangi bukit Tumba ialah untuk merekam Sunrise dari atas sana, karena menurutku disana adalah spot yang paling terbaik untuk merekam Sunrise di desa ini.
Aku kembali berbaring di atas ranjang. Namun entah mengapa aku masih saja tidak bisa tidur. Hujan lebat kini sudah reda, yang tersisa hanyalah gerimis kecil yang terdengar lembut menghantam seng rumah. Kini jam telah menunjukkan pukul 01:17 dini hari.
Anjing kakekku kembali menyalak. Kali ini bukan saja yang hitam, yang kuning pun juga serentak menyalak ke arah jalan. Aku sedikit kesal karena aku yang hampir saja tertidur tadi kini sudah harus kembali terbangun disebabkan oleh suara mereka. Aku sedikit bertekad dalam hati, apapun makhluk yang berada di luar sana, dia harus pergi dan jangan lagi mengganggu anjing-anjing milik kakekku itu lagi.
Ku kenakkan jacket yang tebal, lalu ku pasangkan senter di kepalaku, sementara satu senter lagi berada di tangan kiriku. Aku membawa Ketapel milik kakekku dan juga beberapa butir batu, parang juga tidak lupa ku selipkan di pinggang kanan. Kini aku bersiap-siap memasukkan sepatu gunungku.
Kakek dan nenekku masih tertidur pulas di kamar mereka. Sepertinya mereka tidak mendengar betapa bisingnya suara-suara anjing yang menyalak di luar. Saat aku hendak beranjak dari depan pintu kamar kakekku itu, mendadak tiba-tiba suara atap rumah di lempar dengan batu. Dan itu terjadi berturut-turut sampai dua kali.
Aku langsung berlari keluar untuk mencari tahu perbuatan siapakah itu. Kali ini aku benar-benar merasa marah dan kesal. Pertama dia mengganggu anjing-anjing milik kakekku, dan yang kedua dia melempari rumah dengan batu? Tidak akan lagi aku biarkan sampai yang ketiga, karena itu sudah kelewatan. Begitulah bisikku dalam hati.
Kini, aku sudah berada di luar rumah. Pintu telah ku kunci rapat dari luar agar kakek dan nenekku aman berada di dalam. Untuk menghilangkan sedikit rasa was-wasku di dalam hati, aku memutuskan untuk menyalakan rokok ku.
Saat melihatku keluar, dua ekor anjing jantan milik kekek ku itu tiba-tiba terlihat seakan menjadi lebih berani kembali. Mereka bahkan sampai berlari keluar separuh jalan untuk menyalak ke arah jalan yang gelap, namun mereka tidak berani keluar halaman rumah terlalu jauh. Aku menebak, bahwa mereka tidak akan berani keluar dari halaman rumah ini tanpa aku ikut serta bersama mereka.
Aku mulai mengamati ke arah jalan dengan sorot cahaya senter yang menempel di kepalaku. Namun aku tidak menemukan apapun. Sebelum pergi keluar halaman rumah, aku memutuskan untuk mencari tahu sebesar apakah batu yang dilemparkan ke atap rumah kakekku tadi, yang tadi kudengar batu-batu itu jatuh dari atap rumah ke arah samping kiri halaman rumah.
Aku menemukan sebuah batu yang seukuran tinju. Dan yang satunya bukanlah batu, akan tetapi itu adalah buah mangga yang tinggal separuh. Mungkin buah mangga itu adalah sisa dari kelelawar yang secara kebetulan terbang di atas atap rumah, lalu tiba-tiba terkejut mendengar suara atap seng yang di lempar, dan akhirnya ia panik dan tidak sengaja menjatuhkan buah mangga tersebut di atas atap rumah kakekku. Jadi, lemparan batu itu cuma sekali, dan bukan dua kali. Begitulah simpulku pada saat itu.
Dua ekor anjing kakekku itu kini sudah hampir berada di pintu pagar halaman rumah. Namun mereka masih tidak berani keluar. Mereka hanya menyalak dari kejauhan, dan sesekali melihat ke arahku seolah-olah ingin memberitahukan padaku bahwa ada sesuatu yang berada tidak jauh dari luar pagar halaman rumah.
Aku pun segera bergegas untuk berjalan menghampiri mereka sembari tanganku juga menggenggam ketapel yang berisikan peluru batu seukuran dua kali bola kelereng. Kini aku sudah berada tepat di luar pintu pagar halaman rumah bersama dua ekor anjing milik kakekku.
Jika itu adalah babi hutan, pasti dia akan lari jika di salaki ole anjing dan apalagi anjing-anjing tersebut bersamaku. Pasti ini bukanlah babi hutan, begitulah gemingku.
Aku mulai mengamati sekeliling, pada saat itu aku merasa sudah menjadi seperti pemburu srigala yang pernah kulihat di film-film, hanya saja senjataku ini jauh lebih primitif di bandingkan dengan senjata mereka yang menggunakan senjata api.
Tidak ada yang kulihat dan yang kudengar kecuali hanyalah pohon-pohon karet yang rindang serta hembusan angin malam dan gerimis. Semuanya masih terlihat sunyi, sepi dan mencekam. Tanpa cahaya.
Pada saat itu, anjing hitam milik kakekku tiba-tiba berlari lebih dulu ke dalam ladang karet yang seluas puluhan hektare. Sementara yang berwarna kuning masih menyalak di depan seakan-akan sedang menungguku dan menyuruhku masuk untuk mengikuti ayahnya.
Oh iya, saya lupa memberitahu kalian, bahwa anjing kuning itu adalah adalah anak si hitam. Dulu si kuning punya kembarannya, namun sekitar 2 bulan yang lalu kata kakekku bahwa kembaran si kuning tewas mengenaskan di ladang karet dengan isi perut yang keluar dan bola mata yang hilang. Sedangkan ibu si kuning masih tidur di halaman belakang rumah kakekku untuk menyusui adik-adik si kuning.
Kembali pada cerita.
Si hitam masih terdengar menyalak ganas dengan suaranya yang keras sekitar puluhan meter di dalam ladang karet. Kini, si kuning juga sudah mulai masuk kedalam ladang karet. Aku memutuskan untuk mengikuti mereka dan melindungi mereka, apapun yang terjadi.
Gerimis kini semakin menjadi, sepertinya hujan lebat telah kembali tiba. Aku masih berjalan pelan dengan senter ku sembari menggenggam ketapel-walaupun pada saat itu aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang membuatku merasa sangat takut.
Dahan-dahan pohon karet terdengar bising saling menghantam satu sama lain karena tertiup oleh angin. Aku terus berjalan ke depan bersama si kuning untuk menemui si hitam yang masih menyalak. Kini kami sudah masuk cukup jauh kedalam ladang karet, tebakanku mungkin sudah mencapai sekitar 200 meter ke dalam.
Saat jarak antara aku dan si hitam masih sekitar 40 meter, tiba-tiba terdengar suara auman dari balik semak-semak di depan sana dekat si hitam menyalak. Aku langsung berlari sambil berteriak untuk mengusir makhluk yang saat itu aku tebak adalah seekor beruk ataupun orang hutan. Karena secara tidak sengaja aku sempat melihat makhluk itu sekilas berada di atas pohon dan kemudian menghilang.
Kini aku sudah bersama si hitam dan si kuning. Mereka masih menyalak ke dalam semak. Aku diam sesaat untuk mengamati sekeliling dengan teliti menggunakan dua senterku. Dan benar, aku menemukan orang hutan itu berada di atas dahan pohon karet yang tidak terlalu tinggi. Mungkin hanya setinggi 5-6 meter dari tanah.
Orang hutan itu bertubuh besar, sedikit aneh menurutku, karena bulunya tidak berwarna kuning seperti orang hutan kebanyakan, akan tetapi warna bulunya itu terlihat hitam pekat, ukurannya sangat besar. Aku bahkan hampir saja berlari karena sakin terkejutnya aku ketika melihatnya pada waktu itu.
Kini, aku tidak lagi memanggilnya orang hutan, dan aku akan memanggilnya makhluk aneh.
Makhluk aneh itu diam di atas pohon sambil membelakangi kami, sedikitpun tidak bergerak. Jika tidak di perhatikan dengan jelas, sekilas pandang makhluk itu hampir saja sudah terlihat seperti pohon yang di naikinya tersebut.
Walaupun si hitam dan anaknya si kuning terus menyalakinya, namun ia masih saja diam dan tidak bergerak sedikitpun. Kini si hitam menjadi lebih berani karena melihat lawannya itu tidak melawan. Ia kini sudah semakin dekat dengan makhluk tersebut. Jaraknya mungkin hanya sekitar enam sampai tujuh meter. Si kuning-pun juga mulai mendekat.
Dua ekor anjing tersebut terus menyalak dari bawah, sementara aku masih diam dengan ketapel di tangan untuk mengamati dengan jelas. Jarak aku dan pohon tersebut mungkin hanya sekitar 15 meter saja. Aku bingung dan sedikit penasaran. Makhluk apakah itu? Begitulah pertanyaan ku dalam hati.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 02:09 dini hari. Malam terasa semakin dingin. Hujan gerimis terus menyirami ladang karet tanpa henti, yang terdengar hanyalah suara daun-daunan yang terpukul oleh rintik hujan. Sesekali juga terlihat kilatan petir yang berkedip-kedip.
Aku masih berdiri diam tanpa bergerak sedikitpun. Kulihat si hitam mulai mendekati pohon, jaraknya dengan pohon mungkin hanya tersisa 1 atau 2 meter saja. Si hitam terus menyalak dengan keras.
Pada saat itu juga, mendadak makhluk itu mengaum dengan suaranya yang ganas bagai halilintar, lututku menggigil tidak karuan. Dua ekor anjing itu kini sudah tidak berani lagi mengeluarkan suara mereka, suara mereka seakan lenyap begitu saja bagaikan asap yang lenyap dilahap angin.
Aneh sekali. Ya Tuhan, sekali auman saja yang dia keluarkan dua ekor anjing kekakku yang gagah itupun langsung ciut. Bagaimana bisa?
Kini dua ekor anjing itu hanya duduk sambil menggerakkan ekor mereka, sesekali kaki depan mereka nampak menggali tanah, dan juga telinga mereka yang tadinya berdiri tegap namun kini sudah terlihat sangat lemah dan kendur, telinga mereka terlihat kecut seakan menahan takut.
Aku semakin penasaran, apakah gerangan yang sedang terjadi? Dan aku mulai menduga bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kedua anjingku tersebut. Aku merasa seolah-olah ada aura yang kuat yang membuat nyali kedua ekor anjingku itu menjadi ciut. Dan kini mereka berdua sedang tidak berdaya lagi untuk menyalak dan apalagi untuk melawan.
Pada saat itu, hujan sudah reda. Kini embun tipis sudah mulai turun menyelimuti hutan, hawa terasa dingin membalut kulit. Aku tidak tahu, entah kenapa aku masih diam di tempat tanpa mau beranjak sedikitpun. Apakah karena aku penasaran? Dan ataukah juga sudah terkena aura kuat yang sedang menimpa kedua ekor anjingku tersebut? Tidak, aku tidak boleh diam, aku harus membawa si kuning dan si hitam pulang bersamaku.
Aku tidak boleh takut, aku harus menjadi lebih berani daripada sebelumnya. Kini, tiba-tiba bulu romaku berdiri tegap, lututku mulai menggigil pelan, aku benar-benar sudah dikalahkan oleh rasa takut yang begitu besar. Aku masih diam seribu bahasa sambil menatap makhluk besar itu yang berada di atas pohon.
Aku benar-benar takut. Aku hampir tidak percaya, bagaimana mungkin aku yang tadinya asyik berbaring di dalam kamarku tiba-tiba saja sudah berada di dalam gelap hutan kebun karet ini? Jika disuruh memilih, aku lebih memilih untuk tetap berada dikamarku dan tidak akan keluar sampai pagi datang.
Makhluk itu mulai bergerak, kulihat tangannya yang sebesar pahaku dengan kuku yang menyeramkan mulai bergerak untuk menoleh kepadaku yang masih berdiri di belakangnya. Aku harus berbuat sesuatu sebelum dia melihatku, ya Tuhan.. tolong aku.. Begitulah resah ku dalam hati.
Kali ini aku benar-benar memberanikan diri untuk menarik karet ketapel ku. Makhluk itu kini telah menghadap kedepan, namun ia masih tidak mau mepperlihatkan wajah aslinya. Dia mengintip dari celah-celah tangannya. Entah untuk menahan cahaya senterku dan ataukah kenapa? Aku benar-benar tidak tahu.
Makhluk itu bertanduk, di bagian bahu depannya terlihat seperti ada duri-durinya yang sebesar jari kelingkingku. Makhluk itu benar-benar menyeramkan. Bulunya sangat lebat dan hitam pekat.
Dua ekor anjingku kini sudah semakin tidak berdaya, sepertinya makhluk itu punya kekuatan yang besar untuk melumpuhkan mereka. Hanya saja dia belum bisa sepenuhnya melumpuhkan diriku.
Aku terus berdoa dalam hati, membaca ayat kursi, surah tiga kul dan juga beristighfar untuk memohon perlindungan dari Allah. Sedikit demi sedikit kini aku sudah bisa mengontrol rasa takutku, hanya saja sekujur tubuhku ini masih basah oleh keringat yang aku sendiri tidak tahu darimana asalnya. Mungkin itulah yang sering disebut dengan keringat dingin, yaitu adalah keringat yang sering keluar pada saat kita sakit, gerogi, dan bahkan juga takut.
Bismillah.. begitulah ucapku dengan khusyuk sambil menarik nafas dan kemudian melepaskan peluru ketapel yang terbuat dari batu ke arahnya.
Uaaarrgghhhh....! Begitulah pekikan suara auman makhluk tersebut ketika peluru ketapel ku mengenai perutnya.
Bukan main kagetnya aku mendengarnya, makhluk itu langsung keluar memperlihatkan wajah aslinya kepadaku dengan marah. Makhluk itu bertaring panjang dari tepi mulutnya menjulur keluar seperti taring babi. Wajahnya berbulu lebat, dan di atas kepalanya terdapat bulu-bulu hitam yang lebat, dan ditengah-tengahnya itu ada sebuah tanduk yang sepanjang satu jengkal.
Melihat wajahnya pada waktu itu juga aku seakan merasa seperti di sambar oleh petir, aku langsung berlari untuk menyelamatkan diri. Sebelum berlari, dalam sekilas pandang aku dapat melihat dengan jelas bahwa ketika peluru ketapel ku itu mengenai makhluk tersebut, dua ekor anjing milik kakekku itu langsung bisa berdiri dan ikut berlari bersamaku. Kini kami lari secara bersamaan untuk keluar menyelamatkan diri dari kebun karet tersebut.
Dua ekor Anjing milik kakekku sudah lebih jauh di depanku, sementara aku masih tertinggal di belakang.
Aku mendengar semua pohon karet yang ada di belakangku pada waktu itu seakan-akan roboh dan jatuh tumbang ke tanah karena ditabrak oleh makhluk yang mengerikan tersebut.
Aku tetap fokus dan bertekad untuk terus berlari agar dapat dapat keluar dari kebun karet tersebut. Kini jarakku dengan jalan hanya sekitar 10 meter. Dua ekor anjing kakekku sudah menungguku di tepi jalan diluar kebun karet. Sementara aku masih terus berjuang dengan sekuat tenaga.
Makhluk itu terus berlari mengejarku dari belakang dengan suara pekikannya yang menyeramkan, aku bahkan dapat merasakan betapa ngerinya punggung bagian belakangku ini, aku merasa seakan-akan kukunya yang tajam itu hampir-hampir berhasil menangkap punggung bagian belakangku.
Pohon-pohon terdengar hancur dipatahkan dari belakang, aku benar-benar takut. Aku terus berlari sekuat tenaga. Dan kini aku hampir sampai.
Bahkan si hitam sampai berlari masuk sedikit ke dalam kebun karet untuk menolongku dan ataukah menjemputku? entahlah, aku tidak tahu.
Lima langkah lagi aku akan segera melompat keluar dan sampai di parit pembatas antara kebun karet dengan jalan.
Namun pada dua langkah terakhir, tiba-tiba kaki kiriku ini tersandung keras dengan salah satu batang pohon mati. Hal itu membuat tubuhku ini sampai terpental jauh kedalam parit pembatas antara jalan dengan kebun karet.
Pada saat itu juga aku langsung tidak sadarkan diri. Yang terakhir kaliku ingat pada waktu itu ialah kakiku ini tersandung kayu dan kemudian tubuhku ini terpental jauh kedalam parit, lalu kepalaku ini terbentur lagi pada semen-semen di dinding parit. Aku berhasil sampai di luar kebun karet, namun kepalaku terbentur keras, sehingga membuat aku tidak bisa mengingatnya lagi dengan jelas.
Beberapa saat kemudian, penglihatanku kembali pulih. Semuanya terlihat buram dan remang. Dimanakah aku sekarang? Apakah aku sudah mati? Begitulah pertanyaan yang pertamakali muncul dari dalam benakku.
Kulihat kakek dan nenekku sudah duduk di sebelah kiri, sementara di bagian kanan terlihat ayah dan ibuku bersama adikku Citra.
"Dimana aku pa?" Tanyaku pelan.
"Kamu di rumah sakit, nak" Begitu jawab ayahku.
Beberapa hari kemudian, alkhamdulillah, akupun kembali pulih dari sakitku.
Menurut cerita kakekku, beliau mencariku setelah tidak menemukan aku di dalam kamar, beliau keluar bersama nenekku dari pintu belakang setelah sholat shubuh. Dan kemudian beliau menemukan aku tergeletak di tengah jalan depan gerbang halaman depan bersama dua ekor anjing miliknya.
Dalam kejadian tersebut, si hitam terluka parah di bagian lehernya, sementara si kuning mengalami luka robek di bagian telinganya.
Sampai saat ini, alkhamdulillah kedua anjing yang berani itu sudah pulih kembali.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DISINI...
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
Malam ini hujan turun deras, petir menggelegar terdengar saling bersahutan di atas langit malam. Sudah begitu lama musim panas ini melanda, sepertinya inilah waktu yang tepat untuk musim hujan pulalah yang mendapat gilirannya.
Malam ini adalah malam minggu, konon katanya malam ini adalah malam yang panjang bagi kaum muda, akan tetapi aku kurang setuju, karena bagiku semua malam itu sama saja panjangnya, namun hal itu juga tergantung dengan situasi apakah yang sedang kita hadapi.
Sebagaimana halnya dengan malam ini, sepertinya aku harus mengakui bahwa malam minggu ini adalah malam yang cukup panjang dan mencekam daripada malam-malam minggu yang sebelumnya. Karena malam ini aku harus menginap dirumah kakek ku di sebuah desa yang terpencil dan cukup jauh dari pusat kota.
Aku ingin ceritakan sedikit cerita mengenai desa kakek ku ini.
Desa kakekku ini adalah sebuah desa yang kecil, desa ini adalah desa petani yang kebanyakan mereka berasal dari kota maupun luar kota.
Disini, mereka hanya bekerja untuk menggarap ladang mereka, dan biasanya mereka selalu pulang dalam waktu seminggu sekali walaupun kadang-kadang ada juga yang pulang dua minggu sekali.
Biasanya mereka selalu pulang pada hari sabtu dan akan kembali lagi ke ladang mereka pada hari senin pagi.
Seperti pada saat ini, suasana desa kakekku ini benar-benar sepi dan mencekam. Tidak ada suara manusia yang terdengar berceloteh, tidak ada kendaraan yang berlalu lalang, semuanya seakan sibuk menyembunyikan diri mereka masing-masing di dalam rumah.
Oh iya, saya baru ingat, bahwa lebih dari separuh petani di desa ini sudah pulang ke kampung mereka sore tadi, termasuk juga Pak Witan teman baik ayahku yang berasal dari kota.
Jumlah rumah di desa ini tidak lebih dari 30 rumah. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain terbilang cukup jauh, adalah sekitar puluhan meter. Jadi rumah penduduk disini tidak merata dan tidak berdekatan, mereka kebanyakan mendirikan rumah di ladang mereka masing-masing.
Dulu, sewaktu aku masih kecil, tepatnya sewaktu aku masih duduk di bangku SD, kakek ku sering menakutiku dengan cerita-cerita hantu yang menunggu rumah kosong sekitar 100 meter dari rumah kakekku. Aku tidak tahu apakah cerita itu benar dan ataukah hanya sebatas dongeng yang menakutiku agar aku tidak bandel lagi dan cepat tidur.
Kini di umurku yang menginjak 23 tahun ini, aku memutuskan bahwa cerita itu hanyalah dongeng belaka yang di peralat oleh kakekku dengan tujuan yang tidak lain hanyalah untuk menakut-nakutiku yang pada waktu itu sangat bandel. Namun, entah mengapa aku merasa seperti ada yang berbeda dengan malam tersebut.
Hujan masih terdengar berisik diluar sana bersama hembusan angin malam dan juga petir yang saling bersahutan.
Jam sudah menunjukkan pukul 12:13 dini hari. Nenek dan Kakekku sudah tertidur pulas di dalam kamar mereka. Sementara aku masih juga terbangun dan tidak bisa memejamkan mataku walau sedikitpun.
Ada yang mengusik ku, tiba-tiba salah satu anjing kepunyaan kakekku terdengar berlari dari teras depan menuju arah jalan. Anjing tersebut menyalak sambil berlari menuju jalan yang gelap. Aku langsung bangun dari ranjang, dan kemudian segera mengintip dari celah-celah tirai jendela kamar untuk mencari tahu apakah gerangan yang sedang terjadi.
Pada waktu yang bersamaan pula, tiba-tiba anjing tersebut berlari kembali menuju rumah kakekku dengan suara yang kecut seakan baru saja dikejar oleh sesuatu. Sementara anjing yang satunya (yang tadinya tidak ikut berlari) mulai berdiri dan menyalak keras ke arah jalan sewaktu teman nya itu berlari kecut menghampirinya.
Entah mengapa pada saat itu juga aku langsung menebak, bahwa di sana, di dalam gelap dekat jalan, ada sesuatu yang besar yang tidak dapat kulihat dengan kedua mataku. Entah itu karena malam yang gelap, dan ataukah itu hanyalah ilusiku, entahlah, aku masih berdiri penasaran mengintip dari balik tirai jendela.
Karena tidak mendapat jawaban dari rasa penasaranku itu, aku pun memutuskan untuk mengambil senter di dalam lemari kamarku. Kemudian kembali lagi menuju jendela untuk mengintip. Tetap saja tidak ada yang dapat aku lihat dengan senterku melainkan hanyalah malam yang gelap gulita dan mencekam, mungkin cahayanya tertahan oleh runtik-rintik hujan, begitulah dugaanku.
15 menit telah berlalu, kini kedua anjing milik kakekku itu sudah kembali terdiam, kini akupun menebak bahwa apapun itu yang berada di dalam gelap di luar sana sudah pergi menghilang dan menjauh. Kini saatnya aku harus tidur, karena di pagi besok aku harus bangun sholat subuh dan berada di bukit Tumba sebelum fajar datang.
Oh iya, aku lupa memberitahukan kepada kalian, bahwa aku adalah seorang youtuber. Tujuanku datang ke kampung kakekku ini ialah untuk membuat sebuah video dokumenter, dan tujuanku untuk mendatangi bukit Tumba ialah untuk merekam Sunrise dari atas sana, karena menurutku disana adalah spot yang paling terbaik untuk merekam Sunrise di desa ini.
Aku kembali berbaring di atas ranjang. Namun entah mengapa aku masih saja tidak bisa tidur. Hujan lebat kini sudah reda, yang tersisa hanyalah gerimis kecil yang terdengar lembut menghantam seng rumah. Kini jam telah menunjukkan pukul 01:17 dini hari.
Anjing kakekku kembali menyalak. Kali ini bukan saja yang hitam, yang kuning pun juga serentak menyalak ke arah jalan. Aku sedikit kesal karena aku yang hampir saja tertidur tadi kini sudah harus kembali terbangun disebabkan oleh suara mereka. Aku sedikit bertekad dalam hati, apapun makhluk yang berada di luar sana, dia harus pergi dan jangan lagi mengganggu anjing-anjing milik kakekku itu lagi.
Ku kenakkan jacket yang tebal, lalu ku pasangkan senter di kepalaku, sementara satu senter lagi berada di tangan kiriku. Aku membawa Ketapel milik kakekku dan juga beberapa butir batu, parang juga tidak lupa ku selipkan di pinggang kanan. Kini aku bersiap-siap memasukkan sepatu gunungku.
Kakek dan nenekku masih tertidur pulas di kamar mereka. Sepertinya mereka tidak mendengar betapa bisingnya suara-suara anjing yang menyalak di luar. Saat aku hendak beranjak dari depan pintu kamar kakekku itu, mendadak tiba-tiba suara atap rumah di lempar dengan batu. Dan itu terjadi berturut-turut sampai dua kali.
Aku langsung berlari keluar untuk mencari tahu perbuatan siapakah itu. Kali ini aku benar-benar merasa marah dan kesal. Pertama dia mengganggu anjing-anjing milik kakekku, dan yang kedua dia melempari rumah dengan batu? Tidak akan lagi aku biarkan sampai yang ketiga, karena itu sudah kelewatan. Begitulah bisikku dalam hati.
Kini, aku sudah berada di luar rumah. Pintu telah ku kunci rapat dari luar agar kakek dan nenekku aman berada di dalam. Untuk menghilangkan sedikit rasa was-wasku di dalam hati, aku memutuskan untuk menyalakan rokok ku.
Saat melihatku keluar, dua ekor anjing jantan milik kekek ku itu tiba-tiba terlihat seakan menjadi lebih berani kembali. Mereka bahkan sampai berlari keluar separuh jalan untuk menyalak ke arah jalan yang gelap, namun mereka tidak berani keluar halaman rumah terlalu jauh. Aku menebak, bahwa mereka tidak akan berani keluar dari halaman rumah ini tanpa aku ikut serta bersama mereka.
Aku mulai mengamati ke arah jalan dengan sorot cahaya senter yang menempel di kepalaku. Namun aku tidak menemukan apapun. Sebelum pergi keluar halaman rumah, aku memutuskan untuk mencari tahu sebesar apakah batu yang dilemparkan ke atap rumah kakekku tadi, yang tadi kudengar batu-batu itu jatuh dari atap rumah ke arah samping kiri halaman rumah.
Aku menemukan sebuah batu yang seukuran tinju. Dan yang satunya bukanlah batu, akan tetapi itu adalah buah mangga yang tinggal separuh. Mungkin buah mangga itu adalah sisa dari kelelawar yang secara kebetulan terbang di atas atap rumah, lalu tiba-tiba terkejut mendengar suara atap seng yang di lempar, dan akhirnya ia panik dan tidak sengaja menjatuhkan buah mangga tersebut di atas atap rumah kakekku. Jadi, lemparan batu itu cuma sekali, dan bukan dua kali. Begitulah simpulku pada saat itu.
Dua ekor anjing kakekku itu kini sudah hampir berada di pintu pagar halaman rumah. Namun mereka masih tidak berani keluar. Mereka hanya menyalak dari kejauhan, dan sesekali melihat ke arahku seolah-olah ingin memberitahukan padaku bahwa ada sesuatu yang berada tidak jauh dari luar pagar halaman rumah.
Aku pun segera bergegas untuk berjalan menghampiri mereka sembari tanganku juga menggenggam ketapel yang berisikan peluru batu seukuran dua kali bola kelereng. Kini aku sudah berada tepat di luar pintu pagar halaman rumah bersama dua ekor anjing milik kakekku.
Jika itu adalah babi hutan, pasti dia akan lari jika di salaki ole anjing dan apalagi anjing-anjing tersebut bersamaku. Pasti ini bukanlah babi hutan, begitulah gemingku.
Aku mulai mengamati sekeliling, pada saat itu aku merasa sudah menjadi seperti pemburu srigala yang pernah kulihat di film-film, hanya saja senjataku ini jauh lebih primitif di bandingkan dengan senjata mereka yang menggunakan senjata api.
Tidak ada yang kulihat dan yang kudengar kecuali hanyalah pohon-pohon karet yang rindang serta hembusan angin malam dan gerimis. Semuanya masih terlihat sunyi, sepi dan mencekam. Tanpa cahaya.
Pada saat itu, anjing hitam milik kakekku tiba-tiba berlari lebih dulu ke dalam ladang karet yang seluas puluhan hektare. Sementara yang berwarna kuning masih menyalak di depan seakan-akan sedang menungguku dan menyuruhku masuk untuk mengikuti ayahnya.
Oh iya, saya lupa memberitahu kalian, bahwa anjing kuning itu adalah adalah anak si hitam. Dulu si kuning punya kembarannya, namun sekitar 2 bulan yang lalu kata kakekku bahwa kembaran si kuning tewas mengenaskan di ladang karet dengan isi perut yang keluar dan bola mata yang hilang. Sedangkan ibu si kuning masih tidur di halaman belakang rumah kakekku untuk menyusui adik-adik si kuning.
Kembali pada cerita.
Si hitam masih terdengar menyalak ganas dengan suaranya yang keras sekitar puluhan meter di dalam ladang karet. Kini, si kuning juga sudah mulai masuk kedalam ladang karet. Aku memutuskan untuk mengikuti mereka dan melindungi mereka, apapun yang terjadi.
Gerimis kini semakin menjadi, sepertinya hujan lebat telah kembali tiba. Aku masih berjalan pelan dengan senter ku sembari menggenggam ketapel-walaupun pada saat itu aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang membuatku merasa sangat takut.
Dahan-dahan pohon karet terdengar bising saling menghantam satu sama lain karena tertiup oleh angin. Aku terus berjalan ke depan bersama si kuning untuk menemui si hitam yang masih menyalak. Kini kami sudah masuk cukup jauh kedalam ladang karet, tebakanku mungkin sudah mencapai sekitar 200 meter ke dalam.
Saat jarak antara aku dan si hitam masih sekitar 40 meter, tiba-tiba terdengar suara auman dari balik semak-semak di depan sana dekat si hitam menyalak. Aku langsung berlari sambil berteriak untuk mengusir makhluk yang saat itu aku tebak adalah seekor beruk ataupun orang hutan. Karena secara tidak sengaja aku sempat melihat makhluk itu sekilas berada di atas pohon dan kemudian menghilang.
Kini aku sudah bersama si hitam dan si kuning. Mereka masih menyalak ke dalam semak. Aku diam sesaat untuk mengamati sekeliling dengan teliti menggunakan dua senterku. Dan benar, aku menemukan orang hutan itu berada di atas dahan pohon karet yang tidak terlalu tinggi. Mungkin hanya setinggi 5-6 meter dari tanah.
Orang hutan itu bertubuh besar, sedikit aneh menurutku, karena bulunya tidak berwarna kuning seperti orang hutan kebanyakan, akan tetapi warna bulunya itu terlihat hitam pekat, ukurannya sangat besar. Aku bahkan hampir saja berlari karena sakin terkejutnya aku ketika melihatnya pada waktu itu.
Kini, aku tidak lagi memanggilnya orang hutan, dan aku akan memanggilnya makhluk aneh.
Makhluk aneh itu diam di atas pohon sambil membelakangi kami, sedikitpun tidak bergerak. Jika tidak di perhatikan dengan jelas, sekilas pandang makhluk itu hampir saja sudah terlihat seperti pohon yang di naikinya tersebut.
Walaupun si hitam dan anaknya si kuning terus menyalakinya, namun ia masih saja diam dan tidak bergerak sedikitpun. Kini si hitam menjadi lebih berani karena melihat lawannya itu tidak melawan. Ia kini sudah semakin dekat dengan makhluk tersebut. Jaraknya mungkin hanya sekitar enam sampai tujuh meter. Si kuning-pun juga mulai mendekat.
Dua ekor anjing tersebut terus menyalak dari bawah, sementara aku masih diam dengan ketapel di tangan untuk mengamati dengan jelas. Jarak aku dan pohon tersebut mungkin hanya sekitar 15 meter saja. Aku bingung dan sedikit penasaran. Makhluk apakah itu? Begitulah pertanyaan ku dalam hati.
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 02:09 dini hari. Malam terasa semakin dingin. Hujan gerimis terus menyirami ladang karet tanpa henti, yang terdengar hanyalah suara daun-daunan yang terpukul oleh rintik hujan. Sesekali juga terlihat kilatan petir yang berkedip-kedip.
Aku masih berdiri diam tanpa bergerak sedikitpun. Kulihat si hitam mulai mendekati pohon, jaraknya dengan pohon mungkin hanya tersisa 1 atau 2 meter saja. Si hitam terus menyalak dengan keras.
Pada saat itu juga, mendadak makhluk itu mengaum dengan suaranya yang ganas bagai halilintar, lututku menggigil tidak karuan. Dua ekor anjing itu kini sudah tidak berani lagi mengeluarkan suara mereka, suara mereka seakan lenyap begitu saja bagaikan asap yang lenyap dilahap angin.
Aneh sekali. Ya Tuhan, sekali auman saja yang dia keluarkan dua ekor anjing kekakku yang gagah itupun langsung ciut. Bagaimana bisa?
Kini dua ekor anjing itu hanya duduk sambil menggerakkan ekor mereka, sesekali kaki depan mereka nampak menggali tanah, dan juga telinga mereka yang tadinya berdiri tegap namun kini sudah terlihat sangat lemah dan kendur, telinga mereka terlihat kecut seakan menahan takut.
Aku semakin penasaran, apakah gerangan yang sedang terjadi? Dan aku mulai menduga bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan kedua anjingku tersebut. Aku merasa seolah-olah ada aura yang kuat yang membuat nyali kedua ekor anjingku itu menjadi ciut. Dan kini mereka berdua sedang tidak berdaya lagi untuk menyalak dan apalagi untuk melawan.
Pada saat itu, hujan sudah reda. Kini embun tipis sudah mulai turun menyelimuti hutan, hawa terasa dingin membalut kulit. Aku tidak tahu, entah kenapa aku masih diam di tempat tanpa mau beranjak sedikitpun. Apakah karena aku penasaran? Dan ataukah juga sudah terkena aura kuat yang sedang menimpa kedua ekor anjingku tersebut? Tidak, aku tidak boleh diam, aku harus membawa si kuning dan si hitam pulang bersamaku.
Aku tidak boleh takut, aku harus menjadi lebih berani daripada sebelumnya. Kini, tiba-tiba bulu romaku berdiri tegap, lututku mulai menggigil pelan, aku benar-benar sudah dikalahkan oleh rasa takut yang begitu besar. Aku masih diam seribu bahasa sambil menatap makhluk besar itu yang berada di atas pohon.
Aku benar-benar takut. Aku hampir tidak percaya, bagaimana mungkin aku yang tadinya asyik berbaring di dalam kamarku tiba-tiba saja sudah berada di dalam gelap hutan kebun karet ini? Jika disuruh memilih, aku lebih memilih untuk tetap berada dikamarku dan tidak akan keluar sampai pagi datang.
Makhluk itu mulai bergerak, kulihat tangannya yang sebesar pahaku dengan kuku yang menyeramkan mulai bergerak untuk menoleh kepadaku yang masih berdiri di belakangnya. Aku harus berbuat sesuatu sebelum dia melihatku, ya Tuhan.. tolong aku.. Begitulah resah ku dalam hati.
Kali ini aku benar-benar memberanikan diri untuk menarik karet ketapel ku. Makhluk itu kini telah menghadap kedepan, namun ia masih tidak mau mepperlihatkan wajah aslinya. Dia mengintip dari celah-celah tangannya. Entah untuk menahan cahaya senterku dan ataukah kenapa? Aku benar-benar tidak tahu.
Makhluk itu bertanduk, di bagian bahu depannya terlihat seperti ada duri-durinya yang sebesar jari kelingkingku. Makhluk itu benar-benar menyeramkan. Bulunya sangat lebat dan hitam pekat.
Dua ekor anjingku kini sudah semakin tidak berdaya, sepertinya makhluk itu punya kekuatan yang besar untuk melumpuhkan mereka. Hanya saja dia belum bisa sepenuhnya melumpuhkan diriku.
Aku terus berdoa dalam hati, membaca ayat kursi, surah tiga kul dan juga beristighfar untuk memohon perlindungan dari Allah. Sedikit demi sedikit kini aku sudah bisa mengontrol rasa takutku, hanya saja sekujur tubuhku ini masih basah oleh keringat yang aku sendiri tidak tahu darimana asalnya. Mungkin itulah yang sering disebut dengan keringat dingin, yaitu adalah keringat yang sering keluar pada saat kita sakit, gerogi, dan bahkan juga takut.
Bismillah.. begitulah ucapku dengan khusyuk sambil menarik nafas dan kemudian melepaskan peluru ketapel yang terbuat dari batu ke arahnya.
Uaaarrgghhhh....! Begitulah pekikan suara auman makhluk tersebut ketika peluru ketapel ku mengenai perutnya.
Bukan main kagetnya aku mendengarnya, makhluk itu langsung keluar memperlihatkan wajah aslinya kepadaku dengan marah. Makhluk itu bertaring panjang dari tepi mulutnya menjulur keluar seperti taring babi. Wajahnya berbulu lebat, dan di atas kepalanya terdapat bulu-bulu hitam yang lebat, dan ditengah-tengahnya itu ada sebuah tanduk yang sepanjang satu jengkal.
Melihat wajahnya pada waktu itu juga aku seakan merasa seperti di sambar oleh petir, aku langsung berlari untuk menyelamatkan diri. Sebelum berlari, dalam sekilas pandang aku dapat melihat dengan jelas bahwa ketika peluru ketapel ku itu mengenai makhluk tersebut, dua ekor anjing milik kakekku itu langsung bisa berdiri dan ikut berlari bersamaku. Kini kami lari secara bersamaan untuk keluar menyelamatkan diri dari kebun karet tersebut.
Dua ekor Anjing milik kakekku sudah lebih jauh di depanku, sementara aku masih tertinggal di belakang.
Aku mendengar semua pohon karet yang ada di belakangku pada waktu itu seakan-akan roboh dan jatuh tumbang ke tanah karena ditabrak oleh makhluk yang mengerikan tersebut.
Aku tetap fokus dan bertekad untuk terus berlari agar dapat dapat keluar dari kebun karet tersebut. Kini jarakku dengan jalan hanya sekitar 10 meter. Dua ekor anjing kakekku sudah menungguku di tepi jalan diluar kebun karet. Sementara aku masih terus berjuang dengan sekuat tenaga.
Makhluk itu terus berlari mengejarku dari belakang dengan suara pekikannya yang menyeramkan, aku bahkan dapat merasakan betapa ngerinya punggung bagian belakangku ini, aku merasa seakan-akan kukunya yang tajam itu hampir-hampir berhasil menangkap punggung bagian belakangku.
Pohon-pohon terdengar hancur dipatahkan dari belakang, aku benar-benar takut. Aku terus berlari sekuat tenaga. Dan kini aku hampir sampai.
Bahkan si hitam sampai berlari masuk sedikit ke dalam kebun karet untuk menolongku dan ataukah menjemputku? entahlah, aku tidak tahu.
Lima langkah lagi aku akan segera melompat keluar dan sampai di parit pembatas antara kebun karet dengan jalan.
Namun pada dua langkah terakhir, tiba-tiba kaki kiriku ini tersandung keras dengan salah satu batang pohon mati. Hal itu membuat tubuhku ini sampai terpental jauh kedalam parit pembatas antara jalan dengan kebun karet.
Pada saat itu juga aku langsung tidak sadarkan diri. Yang terakhir kaliku ingat pada waktu itu ialah kakiku ini tersandung kayu dan kemudian tubuhku ini terpental jauh kedalam parit, lalu kepalaku ini terbentur lagi pada semen-semen di dinding parit. Aku berhasil sampai di luar kebun karet, namun kepalaku terbentur keras, sehingga membuat aku tidak bisa mengingatnya lagi dengan jelas.
Beberapa saat kemudian, penglihatanku kembali pulih. Semuanya terlihat buram dan remang. Dimanakah aku sekarang? Apakah aku sudah mati? Begitulah pertanyaan yang pertamakali muncul dari dalam benakku.
Kulihat kakek dan nenekku sudah duduk di sebelah kiri, sementara di bagian kanan terlihat ayah dan ibuku bersama adikku Citra.
"Dimana aku pa?" Tanyaku pelan.
"Kamu di rumah sakit, nak" Begitu jawab ayahku.
Beberapa hari kemudian, alkhamdulillah, akupun kembali pulih dari sakitku.
Menurut cerita kakekku, beliau mencariku setelah tidak menemukan aku di dalam kamar, beliau keluar bersama nenekku dari pintu belakang setelah sholat shubuh. Dan kemudian beliau menemukan aku tergeletak di tengah jalan depan gerbang halaman depan bersama dua ekor anjing miliknya.
Dalam kejadian tersebut, si hitam terluka parah di bagian lehernya, sementara si kuning mengalami luka robek di bagian telinganya.
Sampai saat ini, alkhamdulillah kedua anjing yang berani itu sudah pulih kembali.
Namun ada satu hal yang membuat aku bingung, siapakah yang membawaku ke depan gerbang halaman? Apakah makhluk itu? Dan ataukah siapa?
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DISINI...
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
Comments
Post a Comment