CERITA MISTERI HUTAN LADANG KARET PART 6
Ada yang menarik perhatian kami di ujung tangga tersebut. Di sana terlihat ada lagi sebuah ruangan ataupun jalan. Entahlah aku tidak tahu.
"Ya Tuhan, besar sekali bangunan ini. Tolong selamatkan temanku itu" Begitu gumamku dengan nada cemas.
Kami terus mengikuti jalan yang menurun ke arah bawah untuk mencapai ruangan tersebut.
**************************
PART 6
Sebelum keluar dari Lorong tangga tersebut, kami membiarkan si hitam terlebih dahulu untuk memantau situasi. Karena si hitam jauh lebih berani dari pada kami semua yang pada saat itu merasa takut.
Pak Witan takut karena beliau baru saja sudah menyaksikan langsung makhluk yang telah aku ceritakan kepada beliau dulu. Dan begitu juga dengan aku sendiri. Maka karena itulah kami berdua menjadi takut. Namun kami tidak tahu dengan Mardian, karena dia belum pernah melihat makhluk itu secara langsung. Dan dia hanya mengenalinya dari ceritaku dan juga cerita Pak Witan. Akan tetapi, walaupun belum bertemu langsung, sepertinya kali ini Mardian juga merasakan hal yang sama sebagaimana yang kami rasakan.
Kembali pada cerita.
Si hitam telah sampai di luar. Dan kini dia sudah mulai berjalan pelan ke arah kiri, sedangkan kami baru hendak keluar mengikutinya.
Setibanya di ruangan baru tersebut, kami bertiga serentak menoleh kiri kanan untuk melihat situasi sekaligus mencari arah jalan yang hendak kami tuju. Ternyata yempat itu bukan ruangan, akan tetapi itu adalah sebuah lorong panjang yang lebarnya sekitar 4 meter. Dan pada saat itu pula, dengan tidak sengaja cahaya senterku ini menyorot ke lantai sebelah kiri. Aku sedikit kaget, ternyata si hitam sedang sibuk memperhatikan sesuatu di lantai. Di lantai tersebut ada sebuah benda panjang seukuran satu setengah lengan. Dan benda itu adalah senapan.
"Hey lihat itu, itu adalah senjata Logi yang jatuh!" Telunjukku langsung ter-acung ke benda tersebut. Pak Witan dan Mardian pun langsung menoleh. Setelah itu, aku langsung mengambil benda tersebut yang pada saat itu tergeletak di lantai.
"Hey, lihat! Ini darah Logi! Begitu kataku setengah panik.
Gagang senapan itu sedikit di lumuri oleh darah merah yang masih segar. Aku langsung menoleh kembali ke belakang untuk memeriksanya. Dan benar, kami semua menemukan ada bekas-bekas darah yang menetes di lantai.
"Apapun yang terjadi, kita harus membawa Logi keluar dari sini dengan selamat" Begitu kataku pada Pak Witan dan Mardian. Dan mereka berdua-pun serentak mengangguk. Sepertinya mereka sudah terlihat sedikit mendapatkan kekuatan mengenai kejadian tersebut. Begitupun denganku.
Bagaimana tidak? Kawan kami telah dibawa oleh makhluk tersebut entah kemana, dan kami pun juga tidak tahu, apakah teman kami itu masih hidup dan ataukah sudah tewas? Itulah yang membuat kami menjadi sedikit berani untuk melawan makhluk tersebut.
Aku bertanya kepada Mardian mengenai cara menggunakan senjata tersebut, dan dia pun bersedia mengajarkanku. Namun setelah diajarkan olehnya, aku malah lebih memilih untuk menyerahkan senjata tersebut kepada Pak Witan, karena mungkin beliau lebih paham dan mungkin saja beliau sudah pernah menggunakannya. Dan benar, ternyata beliau sudah pernah menggunakan senjata tersebut setiap kali beliau pergi berburu.
Kamipun mulai berjalan menyusuri lorong gelap tersebut dengan menggunakan cahaya senter. Pak Witan bahkan juga menyalakan obornya.
Jejak-jejak tetesan darah masih terlihat kental di lantai. Jika itu memang darah Logi, pasti dia sudah begitu banyak kehilangan darah. Dan jika sedikit saja kami terlambat, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan tewas. Semoga saja itu tidak akan terjadi. Begitulah doaku dalam hati.
Dinding ruangan tersebut sudah berlumut. Warnanya hitam dan kehijau-hijauan. Bila disentuh pakai tangan, maka dinding itu akan terasa dingin sekali, karena dinding tersebut basah oleh resapan air yang entah dari mana asalnya.
Lantai ruangan yang tadinya kering dan berdebu itu, tapi seiring dengan jauhnya langkah kaki kami ini melangkah menuruninya, maka perlahan-lahan situasinya pun juga terlihat mulai berubah. Kini lantai ruangan terlihat lembab dan sedikit basah. Kami terus berjalan dan berjalan. Hingga akhirnya kami pun kehilangan jejak darah yang kami ikuti. Kini, lantai lorong sudah mulai sedikit berlumpur dan berair.
"Kemana jejaknya pergi?" Begitu tanyaku setengah berbisik kepada Pak Witan dan Mardian. Mereka hanya menggelengkan kepala tidak tahu. Namun Pak Witan memberi isyarat agar terus berjalan ke depan untuk melihat-lihat, barangkali saja jejaknya itu ada di depan sana. Maka kamipun terus melanjutkan pencarian.
Tak lama berselang, kamipun menemukan sebuah tanda yang sedikit aneh. Tanda itu masih berbekas di lumpur yang yang sedikit ada genangan airnya. Air yang ada di dalam lumpur tersebut nampak sedikit keruh, serta ada pula beberapa bekas pijakan kaki yang masih terlihat baru. Bekas pijakan kaki itu itu terlihat besar sekali, dan aku bahkan belum pernah melihat bekas telapak kaki yang sebeaar itu ukurannya.
Tebakanku pada waktu itu, ukuran bekas telapak kaki tersebut terlihat sebesar tiga kali ukuran bekas telapak kakiku. Ini benar-benar mengerikan. Perasaanku mulai terasa tidak enak. Aku mulai sedikit di serang oleh rasa takut.
Namun, anehnya bekas pijakan kaki itu malah terlihat mengarah ke arah belakang kami. Ke arah tempat kami mulai masuk. Berarti kami sedang berada di jalan yang salah, karena menurutku jejak kaki itu malah mengarah ke arah belakang dan bukan ke arah depan. Akan tetapi yang paling aneh lagi, padahal kami tidak menemukan apapun di belakang sana. Semua bekas tetesan darah malah mengarah ke arah depan sana dan bukan ke arah belakang kami. Itulah yang menjadi pertanyaan ku kala itu.
Aku bahkan sampai menyipitkan mata kepada Pak Witan untuk menanyakan hal yang aneh tersebut, begitupun yang terjadi dengan Mardian. Akan tetapi Pak Witan malah menyuruh kami berdua untuk terus melanjutkan perjalanan ke arah depan. Beliau bahkan mengacungkan telunjuk sebagai kode bahwa kami harus mengikuti jejak anjing kakekku yang sudah sekitar 4 meter di depan kami.
Melihat kami berdua yang masih kebingungan, kemudian Pak Witan pun menghentikan langkah kakinya sebentar. Beliau kemudian menatap kami satu persatu, lalu mengatur nafas sejenak. Kemudian mulailah beliau berbicara.
"Baiklah, biarkan bapak menjelaskan kepada kalian berdua supaya tidak bingung lagi" Begitulah kata Pak Witan dengan nada yang setengah berbisik.
Baiklah, aku dan Mardian pun langsung mematung beberapa saat untuk mendengar penjelasan beliau.
"Makhluk itu adalah makhluk yang sering diceritakan oleh masyarakat setempat, baik di masa sekarang ini maupun dari masa dulu.
Itulah Tiha yang sering orang tua dulu ceritakan kepada bapak, dan mungkin kakek dan nenek kamu juga sering menceritakannya kepada kamu. Apakah kamu pernah mendengarnya? Pak Witan bertanya kepadaku. Aku hanya diam sembari mengangguk pelan. Kemudian beliau melanjutkannya lagi.
"Makhluk itu punya kaki yang persis sama seperti kita ini, akan tetapi perbedaannya ialah kaki makhluk tersebut berbulu lebat serta terbalik. Tumitnya di bagian depan dan jari kakinya itu berada di belakang."
"Jika kita berjalan mengikuti arah jejak tapak kakinya, maka kita akan tersesat dan salah. Jadi, kita harus berjalan mengikuti jejak tumitnya." Lalu Pak Witan mengacungkan telunjuknya ke arah bekas pijakan kaki itu persis di bagian tumit.
Setelah mendengar penjelasan beliau tersebut, aku pun kembali teringat dengan cerita kakek dan nenekku. Dan itu mungkin sudah pernah aku ceritakan kepada kalian.
Baiklah, kembali ke cerita.
Pak Witan kembali memimpin di depan. Sedangkan kami berdua mengikuti beliau dengan pelan dari belakang. Saat itu, aku melihat si hitam sudah jauh di depan, posisinya sekitar 20 meter di depan kami. Si hitam nampak terus berjalan pelan sambil sesekali juga menempelkan hidungnya di lantai.
Suasana di ruangan lorong bawah tanah terasa semakin mengerikan. Aku bahkan tidak mendengar suara apapun selain dari pada suara pijakan kaki kami yang sedang berjalan. Tidak ada angin yang bertiup, tidak ada suara dahan pohon yang saling memukul, yang ada hanyalah kesunyian yang amat mencekam.
Makhluk seperti apa dia? Sehingga ia mau tinggal di dalam tempat yang sejauh ini, yang gelap tanpa ada cahaya matahari walau sepercik-pun. Begitulah gumamku di dalam hati.
Beberapa saat kemudian, dari arah depan, tiba-tiba anjing kakekku mengeluarkan suaranya. Dia menggonggong ke arah kami seakan ada yang hendak ia tunjukkan pada kami. Kamipun segera mendekat ke arah sana untuk melihat.
Ternyata benar, kami menemukan senter milik Logi sudah tergelatak di dalam genangan air yang setinggi mata kaki. Dan ternyata pula, sekitar 5 meter di depan kami melihat ada sebuah belokan yang menuju arah samping kanan kami. Aku bahkan sempat berteriak di dalam hati sedikit kesal. Karena aku benar-benar tidak menduga bahwa tempat yang kami lihat pintunya sangat kecil didalam hutan kebun karet itu ternyata dalamnya sangat luas. Aku bahkan sampai menekan pinggang beberapa kali dan juga mengernyitkan dahi sakin lelahnya.
Kami saling melempar pandang, bertanya-tanya arah manakah yang akan kami tuju. Karena dua jalan tersebut sama-sama terlihat sedikit mendaki. Jadi, tidak ada lumpur dan air yang tergenang di sana. Dan parahnya lagi, kami kehilangan bekas pijakan kaki makhluk tersebut.
Pada saat itu, kami hanya bergantung kepada anjing kakekku. Karena dia memiliki inating penciuman dan pendengaran yang lebih baik dari kami semua. Kamipun sepakat dengan rencana tersebut. Ternyata anjing kakekku memilih untuk terus ke depan. Lurus. Kamipun juga memilih untuk terus berjalan mengikutinya.
Sekitar 15 meter dari persimpangan jalan tersebut, tiba-tiba saja anjing kakekku itu berputar kembali ke belakang. Kami pun terdiam dan saling melirik satu sama lain. Lalu kemudian mulai memperhatikan kemanakah perginya anjing tersebut. Dan ternyata anjing tersebut berbelok ke jalan yang lain, ke jalan yang tadinya berada di sebelah kanan itu kini sudah berubah posisi menjadi posisi kiri. Iya, si hitam itu sedang mengarah ke arah sana. Kamipun bergegas segera menyusul.
Anjing itu terus berjalan ke depan, dan kamipun juga terus mengikutinya dari arah belakang. Jalan itu terus mengarah lurus dengan medan yang sedikit demi sedikit mulai beranjak naik. Sejauh ini, kami belum juga menemukan apapun.
Disini, situasinya mulai berbeda. Kami menemukan banyak sekali tulang-tulang yang tergeletak di tanah yang berdebu. Bahkan sebagian dari tulang-tulang itupun sudah banyak yang tertimbun oleh debu-debu tersebut.
Sedangkan di bagian dinding lorong terdapat banyak sekali sarang laba-laba yang menggantung. Dinding-dinding lorong terlihat lembab dan sudah tua. Menurutku dinding-dinding tersebut tidak akan mampu bertahan dalam kurung masa 5 tahun ke depan, karena kondisinya benar-benar sudah buruk sekali. Sudah banyak yang retak dan bahkan juga runtuh.
"Hey, lihat...!" Mardian tiba-tiba berseru dari arah depan memanggil kami.
"Bawa obor itu kesini, Ray" Lanjut Mardian lagi.
Semenjak Pak Mardian memegang senjata, obor itu berpindah tangan kepadaku. Aku langsung membawa obor tersebut kepadanya. Sedangkan Pak Witan masih sibuk menilik sesuatu ke arah debu-debu yang ada di lantai.
"Apakah kau melihat lubang kecil yang ada di sana? Begitu tanya Mardian kepadaku. Tangannya menunjuk ke arah depan bawah tebing-tebing sisa reruntuhan.
Aku langsung melihatnya. Namun aku tidak melihat apapun.
"Dimana? Tanyaku dengan nada yang sedikit penasaran.
"Itu... Tepat di bagian tengah tebing tersebut" Tangannya kembali mengarah ke tebing sana. Dan aku pun juga kembali mengintipnya dengan dengan lebih jelas. Bahkan Pak Witan pun juga sampai ikut memperhatikannya.
Aku masih tidak menemukan apapun. Lalu kemudian Mardian menghalang cahaya oborku dengan tangannya, kemudian tebing itu terlihat sedikit gelap. Namun ada sebuah lubang ditebing tersebut yang terlihat sedikit memancarkan cahaya. Cukup terang jika dilihat dari dalam gelap. Lubang itu berada sekitar 30 meter di depan kami, tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Tanpa aba-aba lagi, kami semua langsung bergegas untuk melihat lubang tersebut lebih dekat.
Setelah didekati lebih dekat, akan tetapi anehnya lubang itu malah terlihat berubah-rubah. Dengan jarak yang sekitar 5 meter ini, kini lubang tersebut tidak lagi terlihat seperti lubang. Akan tetapi itu malah terlihat seperti sebuah benda yang sedikit memantulkan cahaya. Warnanya terlihat kekuningan.
Untuk menjawab pertanyaan kami, aku langsung menyuruh Mardian sedikit merunduk, lalu akupun naik ke atas pundaknya untuk melihat benda itu lebih jelas.
Ketika ku dekati benda tersebut, bukan main kagetnya aku. Ternyata benda itu adalah emas yang seukuran piring. Namun bagian lainnya masih tertancap di dalam dinding tanah lorong tersebut.
"Emas, ini emas! Begitu teriakku dengan nada panik. Mardian bahkan sampai terkejut mendengar kataku, sehingga dia sedikit bergerak dan akupun terjatuh.
Aku sedikit kesal, akan tetapi syukurlah aku tidak apa-apa. Karena tanganku sempat menahan diri. Jadi aku tidak terluka sedikitpun.
"Kamu gak bohong, kan Ray? Beneran itu emas? Mardian bertanya dengan nada yang sedikit mendesakku.
"Iya, itu emas, Mar. Dari warnanya aku sudah tahu, bahwa benda itu adalah emas!" Begitu terangku lagi
Mendengar kataku tersebut, bukan main senangnya Mardian mendengarnya. Dia bahkan sampai berlari dan mencoba untuk memanjatnya.
"Benar, Ray, ini emas, hahaha.." Mardian berteriak kegirangan.
"Emas tidak ada artinya jika di bandingkan dengan harga seorang teman! Tiba-tiba Pak Witan memotong tawa kami. Sehingga membuatku langsung menutup mulut dan sadar kembali. Bahwa tujuan kami datang ke tempat yang sejauh ini tidak ada tujuan lain selain daripada untuk menyelamatkan teman kami, yaitu Logi.
Kini, Mardian-pun juga sudah tidak lagi terlihat se-riang tadi, dia kembali turun dengan wajah semula. Kamipun melanjutkan pencarian ke arah depan.
Berselang beberapa menit kemudian, tiba-tiba suasana berubah menjadi sedikit menegangkan. Aku sempat kaget, tiba-tiba anjing kakekku berlari ke depan dengan begitu cepat sambil menggonggong keras. Pak Witan dengan sigap langsung berlari mengikutinya dengan gaya seorang tentara yang sedang menjalankan tugas. Aku dan Mardian juga tidak mau tinggal diam, kami segera bergegas menyusul beliau dari belakang dengan membawa obor.
Di ujung sana, tiba-tiba terdengar suara teriakan. Suara itu terdengar menjerit menahan sakit. Aku dan Mardian bahkan sempat berhenti sejenak untuk mendengarkan suara tersebut.
Suara itu terdengar lagi, namun beberapa detik kemudian tak terdengar lagi karena lenyap oleh suara anjing kakekku yang sedang menyalak dan berlari ke arah sana.
"ITU SUARA Logi, Mar!
"AYO CEPAT..!" Aku berkata pada Mardian dengan nada yang panik.
"LOO...GII.....!
Begitulah suara terikanku memanggilnya. Suara teriakanku itu terdengar keras sekali, menggema hingga ke ujung lorong. Kami semua langsung berlari ke arah depan untuk menuju tempat dimana suara itu berasal.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DISINI
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
"Ya Tuhan, besar sekali bangunan ini. Tolong selamatkan temanku itu" Begitu gumamku dengan nada cemas.
Kami terus mengikuti jalan yang menurun ke arah bawah untuk mencapai ruangan tersebut.
**************************
PART 6
Sebelum keluar dari Lorong tangga tersebut, kami membiarkan si hitam terlebih dahulu untuk memantau situasi. Karena si hitam jauh lebih berani dari pada kami semua yang pada saat itu merasa takut.
Pak Witan takut karena beliau baru saja sudah menyaksikan langsung makhluk yang telah aku ceritakan kepada beliau dulu. Dan begitu juga dengan aku sendiri. Maka karena itulah kami berdua menjadi takut. Namun kami tidak tahu dengan Mardian, karena dia belum pernah melihat makhluk itu secara langsung. Dan dia hanya mengenalinya dari ceritaku dan juga cerita Pak Witan. Akan tetapi, walaupun belum bertemu langsung, sepertinya kali ini Mardian juga merasakan hal yang sama sebagaimana yang kami rasakan.
Kembali pada cerita.
Si hitam telah sampai di luar. Dan kini dia sudah mulai berjalan pelan ke arah kiri, sedangkan kami baru hendak keluar mengikutinya.
Setibanya di ruangan baru tersebut, kami bertiga serentak menoleh kiri kanan untuk melihat situasi sekaligus mencari arah jalan yang hendak kami tuju. Ternyata yempat itu bukan ruangan, akan tetapi itu adalah sebuah lorong panjang yang lebarnya sekitar 4 meter. Dan pada saat itu pula, dengan tidak sengaja cahaya senterku ini menyorot ke lantai sebelah kiri. Aku sedikit kaget, ternyata si hitam sedang sibuk memperhatikan sesuatu di lantai. Di lantai tersebut ada sebuah benda panjang seukuran satu setengah lengan. Dan benda itu adalah senapan.
"Hey lihat itu, itu adalah senjata Logi yang jatuh!" Telunjukku langsung ter-acung ke benda tersebut. Pak Witan dan Mardian pun langsung menoleh. Setelah itu, aku langsung mengambil benda tersebut yang pada saat itu tergeletak di lantai.
"Hey, lihat! Ini darah Logi! Begitu kataku setengah panik.
Gagang senapan itu sedikit di lumuri oleh darah merah yang masih segar. Aku langsung menoleh kembali ke belakang untuk memeriksanya. Dan benar, kami semua menemukan ada bekas-bekas darah yang menetes di lantai.
"Apapun yang terjadi, kita harus membawa Logi keluar dari sini dengan selamat" Begitu kataku pada Pak Witan dan Mardian. Dan mereka berdua-pun serentak mengangguk. Sepertinya mereka sudah terlihat sedikit mendapatkan kekuatan mengenai kejadian tersebut. Begitupun denganku.
Bagaimana tidak? Kawan kami telah dibawa oleh makhluk tersebut entah kemana, dan kami pun juga tidak tahu, apakah teman kami itu masih hidup dan ataukah sudah tewas? Itulah yang membuat kami menjadi sedikit berani untuk melawan makhluk tersebut.
Aku bertanya kepada Mardian mengenai cara menggunakan senjata tersebut, dan dia pun bersedia mengajarkanku. Namun setelah diajarkan olehnya, aku malah lebih memilih untuk menyerahkan senjata tersebut kepada Pak Witan, karena mungkin beliau lebih paham dan mungkin saja beliau sudah pernah menggunakannya. Dan benar, ternyata beliau sudah pernah menggunakan senjata tersebut setiap kali beliau pergi berburu.
Kamipun mulai berjalan menyusuri lorong gelap tersebut dengan menggunakan cahaya senter. Pak Witan bahkan juga menyalakan obornya.
Jejak-jejak tetesan darah masih terlihat kental di lantai. Jika itu memang darah Logi, pasti dia sudah begitu banyak kehilangan darah. Dan jika sedikit saja kami terlambat, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan tewas. Semoga saja itu tidak akan terjadi. Begitulah doaku dalam hati.
Dinding ruangan tersebut sudah berlumut. Warnanya hitam dan kehijau-hijauan. Bila disentuh pakai tangan, maka dinding itu akan terasa dingin sekali, karena dinding tersebut basah oleh resapan air yang entah dari mana asalnya.
Lantai ruangan yang tadinya kering dan berdebu itu, tapi seiring dengan jauhnya langkah kaki kami ini melangkah menuruninya, maka perlahan-lahan situasinya pun juga terlihat mulai berubah. Kini lantai ruangan terlihat lembab dan sedikit basah. Kami terus berjalan dan berjalan. Hingga akhirnya kami pun kehilangan jejak darah yang kami ikuti. Kini, lantai lorong sudah mulai sedikit berlumpur dan berair.
"Kemana jejaknya pergi?" Begitu tanyaku setengah berbisik kepada Pak Witan dan Mardian. Mereka hanya menggelengkan kepala tidak tahu. Namun Pak Witan memberi isyarat agar terus berjalan ke depan untuk melihat-lihat, barangkali saja jejaknya itu ada di depan sana. Maka kamipun terus melanjutkan pencarian.
Tak lama berselang, kamipun menemukan sebuah tanda yang sedikit aneh. Tanda itu masih berbekas di lumpur yang yang sedikit ada genangan airnya. Air yang ada di dalam lumpur tersebut nampak sedikit keruh, serta ada pula beberapa bekas pijakan kaki yang masih terlihat baru. Bekas pijakan kaki itu itu terlihat besar sekali, dan aku bahkan belum pernah melihat bekas telapak kaki yang sebeaar itu ukurannya.
Tebakanku pada waktu itu, ukuran bekas telapak kaki tersebut terlihat sebesar tiga kali ukuran bekas telapak kakiku. Ini benar-benar mengerikan. Perasaanku mulai terasa tidak enak. Aku mulai sedikit di serang oleh rasa takut.
Namun, anehnya bekas pijakan kaki itu malah terlihat mengarah ke arah belakang kami. Ke arah tempat kami mulai masuk. Berarti kami sedang berada di jalan yang salah, karena menurutku jejak kaki itu malah mengarah ke arah belakang dan bukan ke arah depan. Akan tetapi yang paling aneh lagi, padahal kami tidak menemukan apapun di belakang sana. Semua bekas tetesan darah malah mengarah ke arah depan sana dan bukan ke arah belakang kami. Itulah yang menjadi pertanyaan ku kala itu.
Aku bahkan sampai menyipitkan mata kepada Pak Witan untuk menanyakan hal yang aneh tersebut, begitupun yang terjadi dengan Mardian. Akan tetapi Pak Witan malah menyuruh kami berdua untuk terus melanjutkan perjalanan ke arah depan. Beliau bahkan mengacungkan telunjuk sebagai kode bahwa kami harus mengikuti jejak anjing kakekku yang sudah sekitar 4 meter di depan kami.
Melihat kami berdua yang masih kebingungan, kemudian Pak Witan pun menghentikan langkah kakinya sebentar. Beliau kemudian menatap kami satu persatu, lalu mengatur nafas sejenak. Kemudian mulailah beliau berbicara.
"Baiklah, biarkan bapak menjelaskan kepada kalian berdua supaya tidak bingung lagi" Begitulah kata Pak Witan dengan nada yang setengah berbisik.
Baiklah, aku dan Mardian pun langsung mematung beberapa saat untuk mendengar penjelasan beliau.
"Makhluk itu adalah makhluk yang sering diceritakan oleh masyarakat setempat, baik di masa sekarang ini maupun dari masa dulu.
Itulah Tiha yang sering orang tua dulu ceritakan kepada bapak, dan mungkin kakek dan nenek kamu juga sering menceritakannya kepada kamu. Apakah kamu pernah mendengarnya? Pak Witan bertanya kepadaku. Aku hanya diam sembari mengangguk pelan. Kemudian beliau melanjutkannya lagi.
"Makhluk itu punya kaki yang persis sama seperti kita ini, akan tetapi perbedaannya ialah kaki makhluk tersebut berbulu lebat serta terbalik. Tumitnya di bagian depan dan jari kakinya itu berada di belakang."
"Jika kita berjalan mengikuti arah jejak tapak kakinya, maka kita akan tersesat dan salah. Jadi, kita harus berjalan mengikuti jejak tumitnya." Lalu Pak Witan mengacungkan telunjuknya ke arah bekas pijakan kaki itu persis di bagian tumit.
Setelah mendengar penjelasan beliau tersebut, aku pun kembali teringat dengan cerita kakek dan nenekku. Dan itu mungkin sudah pernah aku ceritakan kepada kalian.
Baiklah, kembali ke cerita.
Pak Witan kembali memimpin di depan. Sedangkan kami berdua mengikuti beliau dengan pelan dari belakang. Saat itu, aku melihat si hitam sudah jauh di depan, posisinya sekitar 20 meter di depan kami. Si hitam nampak terus berjalan pelan sambil sesekali juga menempelkan hidungnya di lantai.
Suasana di ruangan lorong bawah tanah terasa semakin mengerikan. Aku bahkan tidak mendengar suara apapun selain dari pada suara pijakan kaki kami yang sedang berjalan. Tidak ada angin yang bertiup, tidak ada suara dahan pohon yang saling memukul, yang ada hanyalah kesunyian yang amat mencekam.
Makhluk seperti apa dia? Sehingga ia mau tinggal di dalam tempat yang sejauh ini, yang gelap tanpa ada cahaya matahari walau sepercik-pun. Begitulah gumamku di dalam hati.
Beberapa saat kemudian, dari arah depan, tiba-tiba anjing kakekku mengeluarkan suaranya. Dia menggonggong ke arah kami seakan ada yang hendak ia tunjukkan pada kami. Kamipun segera mendekat ke arah sana untuk melihat.
Ternyata benar, kami menemukan senter milik Logi sudah tergelatak di dalam genangan air yang setinggi mata kaki. Dan ternyata pula, sekitar 5 meter di depan kami melihat ada sebuah belokan yang menuju arah samping kanan kami. Aku bahkan sempat berteriak di dalam hati sedikit kesal. Karena aku benar-benar tidak menduga bahwa tempat yang kami lihat pintunya sangat kecil didalam hutan kebun karet itu ternyata dalamnya sangat luas. Aku bahkan sampai menekan pinggang beberapa kali dan juga mengernyitkan dahi sakin lelahnya.
Kami saling melempar pandang, bertanya-tanya arah manakah yang akan kami tuju. Karena dua jalan tersebut sama-sama terlihat sedikit mendaki. Jadi, tidak ada lumpur dan air yang tergenang di sana. Dan parahnya lagi, kami kehilangan bekas pijakan kaki makhluk tersebut.
Pada saat itu, kami hanya bergantung kepada anjing kakekku. Karena dia memiliki inating penciuman dan pendengaran yang lebih baik dari kami semua. Kamipun sepakat dengan rencana tersebut. Ternyata anjing kakekku memilih untuk terus ke depan. Lurus. Kamipun juga memilih untuk terus berjalan mengikutinya.
Sekitar 15 meter dari persimpangan jalan tersebut, tiba-tiba saja anjing kakekku itu berputar kembali ke belakang. Kami pun terdiam dan saling melirik satu sama lain. Lalu kemudian mulai memperhatikan kemanakah perginya anjing tersebut. Dan ternyata anjing tersebut berbelok ke jalan yang lain, ke jalan yang tadinya berada di sebelah kanan itu kini sudah berubah posisi menjadi posisi kiri. Iya, si hitam itu sedang mengarah ke arah sana. Kamipun bergegas segera menyusul.
Anjing itu terus berjalan ke depan, dan kamipun juga terus mengikutinya dari arah belakang. Jalan itu terus mengarah lurus dengan medan yang sedikit demi sedikit mulai beranjak naik. Sejauh ini, kami belum juga menemukan apapun.
Disini, situasinya mulai berbeda. Kami menemukan banyak sekali tulang-tulang yang tergeletak di tanah yang berdebu. Bahkan sebagian dari tulang-tulang itupun sudah banyak yang tertimbun oleh debu-debu tersebut.
Sedangkan di bagian dinding lorong terdapat banyak sekali sarang laba-laba yang menggantung. Dinding-dinding lorong terlihat lembab dan sudah tua. Menurutku dinding-dinding tersebut tidak akan mampu bertahan dalam kurung masa 5 tahun ke depan, karena kondisinya benar-benar sudah buruk sekali. Sudah banyak yang retak dan bahkan juga runtuh.
"Hey, lihat...!" Mardian tiba-tiba berseru dari arah depan memanggil kami.
"Bawa obor itu kesini, Ray" Lanjut Mardian lagi.
Semenjak Pak Mardian memegang senjata, obor itu berpindah tangan kepadaku. Aku langsung membawa obor tersebut kepadanya. Sedangkan Pak Witan masih sibuk menilik sesuatu ke arah debu-debu yang ada di lantai.
"Apakah kau melihat lubang kecil yang ada di sana? Begitu tanya Mardian kepadaku. Tangannya menunjuk ke arah depan bawah tebing-tebing sisa reruntuhan.
Aku langsung melihatnya. Namun aku tidak melihat apapun.
"Dimana? Tanyaku dengan nada yang sedikit penasaran.
"Itu... Tepat di bagian tengah tebing tersebut" Tangannya kembali mengarah ke tebing sana. Dan aku pun juga kembali mengintipnya dengan dengan lebih jelas. Bahkan Pak Witan pun juga sampai ikut memperhatikannya.
Aku masih tidak menemukan apapun. Lalu kemudian Mardian menghalang cahaya oborku dengan tangannya, kemudian tebing itu terlihat sedikit gelap. Namun ada sebuah lubang ditebing tersebut yang terlihat sedikit memancarkan cahaya. Cukup terang jika dilihat dari dalam gelap. Lubang itu berada sekitar 30 meter di depan kami, tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Tanpa aba-aba lagi, kami semua langsung bergegas untuk melihat lubang tersebut lebih dekat.
Setelah didekati lebih dekat, akan tetapi anehnya lubang itu malah terlihat berubah-rubah. Dengan jarak yang sekitar 5 meter ini, kini lubang tersebut tidak lagi terlihat seperti lubang. Akan tetapi itu malah terlihat seperti sebuah benda yang sedikit memantulkan cahaya. Warnanya terlihat kekuningan.
Untuk menjawab pertanyaan kami, aku langsung menyuruh Mardian sedikit merunduk, lalu akupun naik ke atas pundaknya untuk melihat benda itu lebih jelas.
Ketika ku dekati benda tersebut, bukan main kagetnya aku. Ternyata benda itu adalah emas yang seukuran piring. Namun bagian lainnya masih tertancap di dalam dinding tanah lorong tersebut.
"Emas, ini emas! Begitu teriakku dengan nada panik. Mardian bahkan sampai terkejut mendengar kataku, sehingga dia sedikit bergerak dan akupun terjatuh.
Aku sedikit kesal, akan tetapi syukurlah aku tidak apa-apa. Karena tanganku sempat menahan diri. Jadi aku tidak terluka sedikitpun.
"Kamu gak bohong, kan Ray? Beneran itu emas? Mardian bertanya dengan nada yang sedikit mendesakku.
"Iya, itu emas, Mar. Dari warnanya aku sudah tahu, bahwa benda itu adalah emas!" Begitu terangku lagi
Mendengar kataku tersebut, bukan main senangnya Mardian mendengarnya. Dia bahkan sampai berlari dan mencoba untuk memanjatnya.
"Benar, Ray, ini emas, hahaha.." Mardian berteriak kegirangan.
"Emas tidak ada artinya jika di bandingkan dengan harga seorang teman! Tiba-tiba Pak Witan memotong tawa kami. Sehingga membuatku langsung menutup mulut dan sadar kembali. Bahwa tujuan kami datang ke tempat yang sejauh ini tidak ada tujuan lain selain daripada untuk menyelamatkan teman kami, yaitu Logi.
Kini, Mardian-pun juga sudah tidak lagi terlihat se-riang tadi, dia kembali turun dengan wajah semula. Kamipun melanjutkan pencarian ke arah depan.
Berselang beberapa menit kemudian, tiba-tiba suasana berubah menjadi sedikit menegangkan. Aku sempat kaget, tiba-tiba anjing kakekku berlari ke depan dengan begitu cepat sambil menggonggong keras. Pak Witan dengan sigap langsung berlari mengikutinya dengan gaya seorang tentara yang sedang menjalankan tugas. Aku dan Mardian juga tidak mau tinggal diam, kami segera bergegas menyusul beliau dari belakang dengan membawa obor.
Di ujung sana, tiba-tiba terdengar suara teriakan. Suara itu terdengar menjerit menahan sakit. Aku dan Mardian bahkan sempat berhenti sejenak untuk mendengarkan suara tersebut.
Suara itu terdengar lagi, namun beberapa detik kemudian tak terdengar lagi karena lenyap oleh suara anjing kakekku yang sedang menyalak dan berlari ke arah sana.
"ITU SUARA Logi, Mar!
"AYO CEPAT..!" Aku berkata pada Mardian dengan nada yang panik.
"LOO...GII.....!
Begitulah suara terikanku memanggilnya. Suara teriakanku itu terdengar keras sekali, menggema hingga ke ujung lorong. Kami semua langsung berlari ke arah depan untuk menuju tempat dimana suara itu berasal.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DISINI
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
Ngerinyaaa..
ReplyDeleteBang ini udh slesai blm crita ny
ReplyDeleteFfg
ReplyDelete