CERITA MISTERI HUTAN LADANG KARET PART 4
PART 4
Senja telah tiba. Langit terlihat indah berwarna jingga, menandakan siang akan segera berganti malam.
Malam ini adalah malam yang ke enam.
Ba'da isya, kami semua berkumpul melingkari tumpukan kayu api unggun sembari ngobrol santai dan berbagi cerita. Pak Witan masih bercerita mengenai kejadian semalam mengenai anjingnya yang tewas mengenaskan oleh seekor beruang jantan. Beliau kelihatan prihatin sekali dengan anjing kesayangan beliau tersebut. Karena beliau sudah lama memeliharanya, kata beliau sudah hampir sekitar tujuh tahun.
Di dalam kejadian tersebut, rupa-rupanya Pak Witan dan dua orang temanku itu terlambat hanya beberapa menit saja, setelah mereka sampai di lokasi ternyata anjing milik beliau sudah kejang-kejang di gigit oleh beruang tersebut. Saat melihat kejadian itu, Logi langsung melepaskan tembakan hingga tepat mengenai bagian belakang kepala beruang tersebut. Seakan masih ragu, Ia kemudian menembaknya sekali lagi juga di posisi kepala hingga beruang itu benar-benar jatuh dan tewas.
Aku belum juga menceritakan mengenai mimpiku tadi malam kepada mereka, kata orang mimpi buruk itu tidak boleh untuk di ceritakan, maka karena itulah aku tidak mau menceritakannya kepada mereka. Walaupun jika nanti aku ceritakan, dua orang temanku itu pasti akan tertawa mendengarnya dan mengatakan bahwa mimpi itu datang karena aku menyimpan rasa takut yang berlebihan, dengan kata lain alias pengecut. Aku pun memutuskan untuk diam.
Jam sudah menunjukkan pukul 20:06 malam, langit mulai terlihat gelap, bintang-gemintang perlahan redup tertutup awan hitam. Sepertinya hujan akan segera turun. Ini adalah bulan Desember, bulan dimana musim hujan biasa turun.
Pak Witan dan Mardian berjaga duluan, sementara aku dan Logi mengambil posisi untuk beristirahat. Tidak lama setelah itu, hujan pun mulai turun mengguyur tanah.
Waktu terus berlalu, hujan semakin lebat di luar. Sepertinya hal tersebut tidak menyurutkan semangat Pak Witan dan Mardian di luar yang duduk berjaga-jaga di bawah atap plastik. Mereka terdengar masih asyik ngoceh dan bercerita mengenang masalalu.
Seperti pada malam-malam sebelumnya, udara di malam hari masih tetap terasa dua kali lipat lebih dingin daripada di rumah kakek.
Mendengar suara hujan yang jatuh membuat rasa kantukku ini datang dengan begitu cepat, hingga aku pun tertidur pulas di dalam selimut.
Beberapa jam telah berlalu, tiba-tiba aku terbangun dari tidur. Ku lihat keluar tenda api masih menyala di bawah atap plastik, dan Pak Witan dan Mardian pun juga masih bertahan di posisi yang sama. Mereka masih asyik bercerita.
Kulihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11 lewat. Aku sedikit terkejut, padahal rasanya sudah begitu lama aku tidur di dalam tenda. Biasanya aku selalu bangun lewat pukul 1 malam. Aneh. Kulihat Logi pun masih asyik tidur di sebelahku. Aku pun memutuskan untuk keluar tenda dan bergabung dengan Pak Witan dan Mardian.
Mereka membicarakan tentang masa muda Pak Witan saat beliau berburu babi di hutan seberang sawah, hebatnya lagi beliau berhasil membunuh babi hutan jantan hanya dengan menggunakan sebilah golok tanpa bantuan anjing seekor pun. Itu benar-benar patut untuk di acungi jempol. Luar biasa.
Waktu terus berlalu, kabut malam perlahan-lahan mulai terlihat turun membasahi tanah. Kini hujan lebat telah berganti gerimis kecil.
Saat itu, aku tidak tahu pasti pukul berapa. Karena aku tidak sempat melihat jam, dan yang jelas pada saat itu Logi masih juga tidur di dalam tenda. Aku menebaknya mungkin hampir memasuki pukul 01:00 dini hari.
Di dalam semak yang gelap di samping kanan tenda kami, tiba-tiba terdengar suara ranting pohon yang patah. Hal itu bahkan sampai membuat dua ekor anjing langsung menyalak. Pak Witan langsung berdiri dan kemudian menyorotkan cahaya senternya ke arah semak-semak tersebut. Namun beliau tidak melihat apapun kecuali hanya malam yang gelap serta di taburi oleh kabut-kabut tipis.
Beliau masih berdiri, terlihat sedikit penasaran. Bahkan Mardian juga ikut mengintip. Namun tetap saja tidak ada yang terlihat mencurigakan.
"Mungkin ranting pohon mati yang jatuh"
Begitu kata Mardian dengan santai. Dia kemudian kembali duduk untuk meneguk kopi dan kemudian menyalakan rokoknya. Begitupun denganku. Kini, Pak Witan juga sudah kembali duduk di posisi semula.
Aku pamit sebentar setelah menyalakan asap rokok untuk pergi buang hajat di belakang tenda.
Setibanya di belakang tenda, aku langsung membuang hajatku karena mungkin sudah tidak tahan lagi. Aku pipis dalam jarak sekitar 10 meter di belakang tenda. Sekitar 20 meter di depanku itu ada semak-semak yang setinggi dua meter. Aku tidak melihat apapun, aku terus melanjutkan pekerjaanku.
Setelah selesai buang hajat, aku kembali berjalan menuju tenda. Namun pada saat itu juga, tiba-tiba aku tidak sengaja mengarahkan cahaya senterku saat posisi tubuhku berputar balik badan ke arah beberapa pohon karet dekat semak yang ku katakan tadi.
Aku melihat seolah-olah ada sesuatu yang terlihat aneh yang bergerak dan sembunyi di belakang pohon tersebut. Aku tidak tahu pasti apakah aku ini salah lihat dan ataukah itu benar-benar ada. Hingga aku pun kembali menyorotkan cahaya senterku itu ke arah pohon tersebut, namun aku tidak melihat apapun. Mungkin aku salah lihat, begitulah dugaan ku.
Aku kembali berjalan menuju tenda.
Tiba-tiba seekor anjing milik pak Witan berlari ke belakang tenda ke arahku yang sedang berjalan. Anjing itu menggonggong keras. Anjing-anjing yang lainnya juga ikut berlarian ke arahku dan kemudian melewatiku hingga cukup jauh di belakangku.
Pada saat yang sama pula, ku lihat Logi pun sudah terbangun dari tidurnya. Ia juga ikut berlari ke arahku bersama Pak Witan dan Mardian dengan senjata api di tangan.
"Kenapa anjingnya Pak, Wo?" Aku bertanya pada pak Witan. Begitulah aku biasa memanggil beliau.
Pak Witan hanya menjawabnya dengan gelengan kepala, tidak tahu. Beliau terus berlari bersama Logi mengejar anjing-anjing tersebut untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sementara aku berlari kembali menuju tenda untuk mengambil parang dan ketapel milik kakekku yang ketinggalan. Setelah itu aku dan Mardian juga ikut berlari dari belakang untuk menyusul mereka.
Ternyata anjing-anjing tersebut berhenti di dekat semak-semak yang tadinya aku lihat sewaktu buang hajat. Apakah tadi aku benar-benar tidak salah lihat? Begitulah tanyaku dalam hati sambil mengingatnya.
Anehnya, anjing anjing tersebut hanya menggonggong dari luar semak, tidak ada yang berani masuk duluan ke dalam semak.
Pak Witan kemudian mengambil beberapa obor bambu di dalam tenda, dan kemudian menyalakan obor tersebut, setelah itu beliau melemparkan obor tersebut kedalam semak-semak.
Aku dapat melihatnya dengan jelas, cahaya obor itu yang terbang ke dalam semak perlahan-lahan dapat membantu penglihatan kami. Tadi semak-semak itu sangat gelap, kini sudah cukup terang, dan kami bisa melihat isi yang ada di dalamnya. Ternyata semuanya tidak ada apa-apa. Aneh sekali bagiku, lalu kenapa anjing-anjing menggonggong serentak ke arah yang sama?
Angin terus bertiup, hingga membuat daun-daunan satu persatu jatuh dari dahannya. Langit masih terlihat gelap, kabut tipis juga masih berkeliaran seakan tak mau beranjak.
Beberapa menit telah berlalu. Semenjak Pak Witan melemparkan obor kedalam semak-semak tadi, tidak lama kemudian satu persatu anjing kamipun mulai terlihat tenang kembali, mereka tidak lagi segalak tadi. Aku merasa sedikit lega.
"Sudah ku bilang pada kalian sebelumnya, bahwa makhluk itu bukanlah makhluk yang nyata. Makhluk itu adalah jelmaan Jin!" Aku kembali menegaskan pendapatku itu kepada dua sahabatku dengan nada yang sedikit kesal. Namun mereka hanya diam dan tidak mau menanggapinya.
"Kalian harus percaya kata-kataku itu, Mardian, makhluk itu adalah makhluk halus. Dia tidak akan selalu muncul seperti kau mencari beruk dan lalu kau bisa seenaknya menemukannya begitu saja di hutan, kalian keliru. Ayolah, besok kita harus kemas-kemas barang dan kembali ke kota. Jika kalian tidak mau, maka aku sendiri yang akan kembali ke kota bersama Kakek dan Nenek ku, karena mereka juga mau pindah ke rumah kami" Begitu kataku pada mereka.
Entah kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat kesal kepada mereka. Mereka tetap tidak menjawabnya. Namun beberapa detik kemudian, tiba-tiba Mardian mulai buka suara.
"Iya juga Gi, mungkin kata Rayhan itu benar, itu adalah makhluk halus, bagaimana mungkin kita bisa mencarinya seperti mencari beruk di hutan. Sepertinya besok kita harus pulang, gak usahlah sampai hari minggu, sampai besok aja, ya" Mardian bertutur pada Logi dengan nada yang sedikit mendayu.
Logi masih belum menjawabnya, kelihatannya dia masih berpikir untuk menimbang-nimbang keputusannya.
"Hmmm, iya deh, besok kita akan pulang" Begitulah jawaban yang keluar dari mulut Logi. Dan aku pun merasa lega mendengarnya.
Pak Witan berjalan ke dalam semak untuk menjemput obor miliknya, seekor anjing entah milik siapa itu tuba-tiba berlari mengikuti beliau dari belakang, sementara aku dan teman-temanku yang lain masih menunggu di luar semak-semak sambil menghisap rokok. Santai.
Tiba-tiba anjing tersebut berbunyi pelan sambil kakinya menggali tanah dan sesekali dia juga terlihat menempelkan hidungnya di tanah. Gaya anjing tersebut persis sama dengan tingkah anjing yang sedang menggali tanah untuk mendapatkan tulang.
Aku sibuk dengan ponselku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 02:11 malam. Ada sebuah pesan yang masuk.
"Pulsa anda telah habis!" Begitu bunyi pesan nya.
"Haha, gila, tengah-tengah malam gini tiba-tiba sms masuk, setelah di buka, ternyata isi pesan nya, Tai! Pulsa anda sudah.....
Belum sempat aku menyudahi kalimatku, tiba-tiba Pak Witan memanggil kami bertiga agar segera mendekat.
"Hey, ayo sini, coba lihat ini, cepat!" Pak Witan memanggil kami dengan nada suara yang sedikit mendesak. Kami yang mendengarnya pun juga menjadi sedikit terkejut dan sedikit panik. Kami pun berjalan untuk melihatnya.
"Gagang apa ini?" Mardian bertanya dengan nada bingung.
"Sepertinya ini adalah gagang pintu, ayo sama-sama kita coba untuk menariknya, barangkali saja pintu ini masih bisa di buka" Kata Pak Mardian pada kami dengan nada yang sedikit mengajak. Dengan serentak, kami semua pun mulai mengambil posisi dan kemudian mulai menariknya.
Kedengarannya persis sekali seperti pintu besi yang sudah lama tidak terbuka, terdengar sedikit berisik, mungkin karena pintu besi itu sudah banyak yang berkarat.
Jadi agak susah untuk di buka. Setelah sedikit berusaha keras, dan kami pun berhasil membuka pintu tersebut.
Pandangan mata kami semuanya langsung tertuju kepada isi yang ada di balik pintu tersebut. Kami semua bahkan sampai tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun sakin fokus dan penasarannya. Begitupun dengan 7 ekor anjing yang bersama kami, mereka semua terlihat juga ikut berkumpul untuk melihat apakah isi yang ada di balik pintu tersebut.
Tidak ada yang terlihat, semuanya nampak gelap. Ternyata ada sebuah ruangan bawah tanah yang sangat gelap. Kami tidak tahu ruangan apakah itu? Dan seluas apakah ruangan itu? Yang terdengar dari mulut pintu tersebut hanyalah suara dentingan air yang menetes pelan dari langit-langit yang mengenai lantai ruangan.
Tepat di depan mulut pintu itu terdapat anak tangga yang tertancap di didinding, anak tangga tersebut berjajar rapi hingga ke lantai dasar. Tebakanku jarak pintu tersebut dengan lantai dasar ialah sekitar 20 meter. Tinggi sekali gumam ku dalam hati. Itu hanyalah tebakanku.
Dasar lantai ruangan tersebut terlihat berdebu, dan ada juga bagian lainnya yang tampak basah oleh tetesan air yang jatuh. Kemudian aku memasukkan tangan ke dalam saku tas kecilku untuk meraih beberapa butir batu. Kemudian batu-batu tersebut aku jatuhkan ke dalam ruangan tersebut.
Ketika batu itu menghantam lantai dasar, kedengarannya seperti benturan batu dengan batu.
"Sepertinya lantai ruangan ini terbuat dari semen" Begitu kata Pak Witan. Kami semua diam tidak menanggapi karena mungkin sama setuju dengan pendapat beliau.
"Ayo, siapa yang berani turun duluan?" Tanya Pak Witan kepada kami sambil tersenyum kecil. Kami semua saling tatap-menatap tidak ada yang bersedia lebih dulu.
"Baiklah, mari kita periksa apakah ada emas yang masih tersimpan di bawah sana?" Pak Witan langsung mengambil posisi untuk menjadi orang yang pertama kali masuk dan turun kedalam ruangan misterius tersebut. Beliau tampak tersenyum kecil sambil menengadah ke atas ke arah kami. Sedikitpun beliau tidak terlihat takut.
Setelah itu, kami bertiga pun menyusulnya satu persatu. Sedangkan anjing-anjing kami masih tinggal di atas.
Ruangan pertama yang kami masuki itu cukup besar, luasnya mungkin hampir sama dengan luas lapangan bulu tangkis. Akan tetapi sepertinya itu bukanlah satu-satunya ruangan tersembunyi yang ada di bawah sana. Terlihat ada lagi lorong panjang yang yang mengarah ke arah barat.
Aku mendekati dinding ruangan dan kemudian menempelkan tanganku untuk melihat dari bahan apakah ruangan ini di bangun. Ternyata ruangan itu di bangun menggunakan semen dan sebagiannya lagi dari batu alami yang di pahat rapi.
Pak Witan kembali menyalakan obornya, dan kemudian beliau meletakkan obor-obor tersebut di tepi-tepi lorong jalan supaya jalan di lorong tersebut dapat terlihat dengan jelas.
"Tempat apa ini?" Logi berbicara sendiri. Dari nadanya terdengar seperti orang yang masih bingung dan tidak percaya.
"Mungkin tempat ini adalah tempat ruangan bawah tanah milik penjajah Belanda ataupun Jepang pada zaman dulu yang sudah lama di tinggalkan" Begitu terang Pak Witan kepada Logi.
Aku juga sependapat dengan beliau.
"Hey, ayo kesini, coba lihat ini tulisan apa?" Mardian sedikit meninggikan nada suaranya. Kamipun segera bergegas untuk menilik.
"Sepertinya ini bahasa Belanda, tapi aku tidak tahu apakah artinya tulisan tersebut. Disana juga tertulis "1876".
Mungkin bangunan ini di dirikan pada tahun ini? Aku meletakkan telunjukku di atas angka tersebut.
"Waw, ini adalah sebuah keajaiban kita bisa menemukannya, tempat ini adalah salah satu tempat yang paling bersejarah di negara kita" Mardian menatap wajah kami satu persatu dengan tampan serius dan kagum.
Kami terus berjalan melihat-lihat satu ruangan ke ruangan yang lain. Ternyata ruangan bawah tanah itu sangat luas sekali, sudah lebih dari 30 ruangan yang telah kami temui, akan tetapi jalan masih juga terlihat panjang ke arah barat.
Kami terus berjalan pelan.
"Hey! Sini, Cepat!
Logi berteriak memanggil kami. Kamipun segera bergegas untuk melihat apakah benda yang hendak ia tunjukkan kepada kami itu.
"Bukankah itu adalah tulang-tulang manusia?" Logi bertanya dengan nada suara yang cukup tinggi, sehingga membuat aku sedikit terkejut mendengarnya. Apa lagi dia mengatakan tulang manusia, bukan main terkejutnya aku mendengarnya.
Benar itu adalah tulang manusia. Tulang tulang itu terlihat berserakan di lantai dalam ruangan yang tertutup rapat oleh jeruji besi. Tulang-tulang tengkorak itu terlihat sangat mengenaskan, hampir semua tulang-tulangnya itu terlihat banyak yang lepas dari anggota badannya. Mungkin mereka di bunuh dan kemudian di biarkan begitu saja hingga jasad mereka membusuk dan hancur. Begitulah dugaanku.
Setelah melihat kejadian tersebut, sekujur bulu romaku mulai berdiri. Aku dapat merasakan rasa takutku tiba-tiba saja datang menyerangku. Akan tetapi aku berusaha untuk tetap tenang dan berjalan dengan santai bersama teman-temanku.
Tidak lama setelah itu, tiba-tiba saja kami mendengar ada suara orang yang memukul besi dengan pukulan yang cukup keras. Bayangkan jika ada orang yang memukul besi dalam ruangan yang tertutup, bunyinya terdengar sangat jelas dan menggema.
Kami semua langsung berhenti. Kami diam di tempat masing-masing untuk mencari tahu dari arah manakah suara pukulan itu berasal. Dan ternyata suara pukulan itu berasal dari belakang ruangan yang berada di samping kiri Pak Witan.
Pak Witan mengarahkan senternya ke arah ruangan tersebut, namun beliau tidak menemukan apapun. Akan tetapi, tiba-tiba beliau berjalan sedikit cepat ke arah depan, dan kemudian belok ke arah kiri hingga tubuhnya pun lenyap terhalang dinding. Kami semua langsung menyusul dari belakang.
Ternyata ada jalan kecil yang mengarah ke belakang ruangang tersebut. Dan mengejutkan lagi, ternyata jalan kecil itu menghubungkan kami dengan sebuah lorong yang jauh lebih besar dari pada jalan lorong yang tadinya kami lewati. Benar-benar misterius sekali tempat itu.
Suara itu terdengar semakin dekat. Bunyinya semakin nyaring sekali. Aku bahkan sudah bersiap-siap dengan ketapel di tangan. Sementara Mardian dan Logi bersiap-siap dengan senjata api mereka. Mereka berjalan mengikuti Pak Witan dengan amat pelan, begitu juga denganku.
Pak Witan menoleh ke belakang untuk melihat apakah kami masih berada di belakangnya atau tidak. Sepertinya beliau juga mulai diserang oleh rasa takut.
Mardian menggerakkan kepalanya untuk bertanya kepada Pak Witan dengan bahasa isyarat, Pak Witan menjawabnya dengan muka sipit sembari menggeleng tidak tahu. Suara itu kini sudah semakin dekat sekali dengan kami.
Suara itu terdengar seperti orang yang memberontak untuk merobohkan jeruji besi penjara dengan tangan kosong. Dia terdengar terus memberontak seolah-olah ingin keluar dari jeruji tersebut. Begitulah bunyi suaranya yang kami dengar.
Aku terus berjalan pelan dengan hati dan perasaan yang bercampur aduk antara takut dan penasaran. Dadaku berdetak lebih kencang. Keringat mulai bercucuran deeas di dahi dan juga wajahku. Aku terus melihat ke depan menggunakan cahaya senter yang ada di kepalaku.
Pak Witan tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Beliau perlahan mundur ke belakang dengan sangat hati-hati sekali. Sementara Mardian dan Logi pun juga mengehentikan langkah mereka untuk menunggu Pak Witan tiba di dekat mereka.
Setelah Pak Witan sampai, beliau kemudian menggerakkan tangan seolah menggambarkan sesuatu dengan tangan nya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Dari bahasa isyarat beliau tersebut dapat ku pahami bahwa beliau sedang menjelaskan rupa sebuah makhluk yang memiliki wajah yang sangat buruk dan juga punya rambut yang panjang.
Mardian dan Logi bahkan juga terlihat kaget setelah mendengar penjelasan Pak Witan. Mereka kemudian perlahan-lahan mundur kebelakang untuk menemui ku. Sementara Logi berjalan mundur dalam posisi siaga dengan menodongkan senjata ke arah punca suara aneh itu berasal.
Kini suara aneh tersebut tiba-tiba berhenti. Pak Witan mulai menjelaskannya sekali lagi kepada kami. Dan ternyata beliau mengatakan bahwa di sana ada beberapa makhluk yang sedang berdiri memegang besi jeruji penjara, akan tetapi beliau belum sempat melihatnya dengan jelas. Di sana nampak banyak sekali warna merah seperti darah yang tergenang di lantai.
Setelah mendengar hal tersebut, untuk memastikannya, Mardian pun memberanikan diri untuk melihatnya sekali lagi. Sedangkan Logi bersiap-siap menodongkan senjatanya dari belakang untuk menjaga Mardian.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DI SINI
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
Senja telah tiba. Langit terlihat indah berwarna jingga, menandakan siang akan segera berganti malam.
Malam ini adalah malam yang ke enam.
Ba'da isya, kami semua berkumpul melingkari tumpukan kayu api unggun sembari ngobrol santai dan berbagi cerita. Pak Witan masih bercerita mengenai kejadian semalam mengenai anjingnya yang tewas mengenaskan oleh seekor beruang jantan. Beliau kelihatan prihatin sekali dengan anjing kesayangan beliau tersebut. Karena beliau sudah lama memeliharanya, kata beliau sudah hampir sekitar tujuh tahun.
Di dalam kejadian tersebut, rupa-rupanya Pak Witan dan dua orang temanku itu terlambat hanya beberapa menit saja, setelah mereka sampai di lokasi ternyata anjing milik beliau sudah kejang-kejang di gigit oleh beruang tersebut. Saat melihat kejadian itu, Logi langsung melepaskan tembakan hingga tepat mengenai bagian belakang kepala beruang tersebut. Seakan masih ragu, Ia kemudian menembaknya sekali lagi juga di posisi kepala hingga beruang itu benar-benar jatuh dan tewas.
Aku belum juga menceritakan mengenai mimpiku tadi malam kepada mereka, kata orang mimpi buruk itu tidak boleh untuk di ceritakan, maka karena itulah aku tidak mau menceritakannya kepada mereka. Walaupun jika nanti aku ceritakan, dua orang temanku itu pasti akan tertawa mendengarnya dan mengatakan bahwa mimpi itu datang karena aku menyimpan rasa takut yang berlebihan, dengan kata lain alias pengecut. Aku pun memutuskan untuk diam.
Jam sudah menunjukkan pukul 20:06 malam, langit mulai terlihat gelap, bintang-gemintang perlahan redup tertutup awan hitam. Sepertinya hujan akan segera turun. Ini adalah bulan Desember, bulan dimana musim hujan biasa turun.
Pak Witan dan Mardian berjaga duluan, sementara aku dan Logi mengambil posisi untuk beristirahat. Tidak lama setelah itu, hujan pun mulai turun mengguyur tanah.
Waktu terus berlalu, hujan semakin lebat di luar. Sepertinya hal tersebut tidak menyurutkan semangat Pak Witan dan Mardian di luar yang duduk berjaga-jaga di bawah atap plastik. Mereka terdengar masih asyik ngoceh dan bercerita mengenang masalalu.
Seperti pada malam-malam sebelumnya, udara di malam hari masih tetap terasa dua kali lipat lebih dingin daripada di rumah kakek.
Mendengar suara hujan yang jatuh membuat rasa kantukku ini datang dengan begitu cepat, hingga aku pun tertidur pulas di dalam selimut.
Beberapa jam telah berlalu, tiba-tiba aku terbangun dari tidur. Ku lihat keluar tenda api masih menyala di bawah atap plastik, dan Pak Witan dan Mardian pun juga masih bertahan di posisi yang sama. Mereka masih asyik bercerita.
Kulihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11 lewat. Aku sedikit terkejut, padahal rasanya sudah begitu lama aku tidur di dalam tenda. Biasanya aku selalu bangun lewat pukul 1 malam. Aneh. Kulihat Logi pun masih asyik tidur di sebelahku. Aku pun memutuskan untuk keluar tenda dan bergabung dengan Pak Witan dan Mardian.
Mereka membicarakan tentang masa muda Pak Witan saat beliau berburu babi di hutan seberang sawah, hebatnya lagi beliau berhasil membunuh babi hutan jantan hanya dengan menggunakan sebilah golok tanpa bantuan anjing seekor pun. Itu benar-benar patut untuk di acungi jempol. Luar biasa.
Waktu terus berlalu, kabut malam perlahan-lahan mulai terlihat turun membasahi tanah. Kini hujan lebat telah berganti gerimis kecil.
Saat itu, aku tidak tahu pasti pukul berapa. Karena aku tidak sempat melihat jam, dan yang jelas pada saat itu Logi masih juga tidur di dalam tenda. Aku menebaknya mungkin hampir memasuki pukul 01:00 dini hari.
Di dalam semak yang gelap di samping kanan tenda kami, tiba-tiba terdengar suara ranting pohon yang patah. Hal itu bahkan sampai membuat dua ekor anjing langsung menyalak. Pak Witan langsung berdiri dan kemudian menyorotkan cahaya senternya ke arah semak-semak tersebut. Namun beliau tidak melihat apapun kecuali hanya malam yang gelap serta di taburi oleh kabut-kabut tipis.
Beliau masih berdiri, terlihat sedikit penasaran. Bahkan Mardian juga ikut mengintip. Namun tetap saja tidak ada yang terlihat mencurigakan.
"Mungkin ranting pohon mati yang jatuh"
Begitu kata Mardian dengan santai. Dia kemudian kembali duduk untuk meneguk kopi dan kemudian menyalakan rokoknya. Begitupun denganku. Kini, Pak Witan juga sudah kembali duduk di posisi semula.
Aku pamit sebentar setelah menyalakan asap rokok untuk pergi buang hajat di belakang tenda.
Setibanya di belakang tenda, aku langsung membuang hajatku karena mungkin sudah tidak tahan lagi. Aku pipis dalam jarak sekitar 10 meter di belakang tenda. Sekitar 20 meter di depanku itu ada semak-semak yang setinggi dua meter. Aku tidak melihat apapun, aku terus melanjutkan pekerjaanku.
Setelah selesai buang hajat, aku kembali berjalan menuju tenda. Namun pada saat itu juga, tiba-tiba aku tidak sengaja mengarahkan cahaya senterku saat posisi tubuhku berputar balik badan ke arah beberapa pohon karet dekat semak yang ku katakan tadi.
Aku melihat seolah-olah ada sesuatu yang terlihat aneh yang bergerak dan sembunyi di belakang pohon tersebut. Aku tidak tahu pasti apakah aku ini salah lihat dan ataukah itu benar-benar ada. Hingga aku pun kembali menyorotkan cahaya senterku itu ke arah pohon tersebut, namun aku tidak melihat apapun. Mungkin aku salah lihat, begitulah dugaan ku.
Aku kembali berjalan menuju tenda.
Tiba-tiba seekor anjing milik pak Witan berlari ke belakang tenda ke arahku yang sedang berjalan. Anjing itu menggonggong keras. Anjing-anjing yang lainnya juga ikut berlarian ke arahku dan kemudian melewatiku hingga cukup jauh di belakangku.
Pada saat yang sama pula, ku lihat Logi pun sudah terbangun dari tidurnya. Ia juga ikut berlari ke arahku bersama Pak Witan dan Mardian dengan senjata api di tangan.
"Kenapa anjingnya Pak, Wo?" Aku bertanya pada pak Witan. Begitulah aku biasa memanggil beliau.
Pak Witan hanya menjawabnya dengan gelengan kepala, tidak tahu. Beliau terus berlari bersama Logi mengejar anjing-anjing tersebut untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sementara aku berlari kembali menuju tenda untuk mengambil parang dan ketapel milik kakekku yang ketinggalan. Setelah itu aku dan Mardian juga ikut berlari dari belakang untuk menyusul mereka.
Ternyata anjing-anjing tersebut berhenti di dekat semak-semak yang tadinya aku lihat sewaktu buang hajat. Apakah tadi aku benar-benar tidak salah lihat? Begitulah tanyaku dalam hati sambil mengingatnya.
Anehnya, anjing anjing tersebut hanya menggonggong dari luar semak, tidak ada yang berani masuk duluan ke dalam semak.
Pak Witan kemudian mengambil beberapa obor bambu di dalam tenda, dan kemudian menyalakan obor tersebut, setelah itu beliau melemparkan obor tersebut kedalam semak-semak.
Aku dapat melihatnya dengan jelas, cahaya obor itu yang terbang ke dalam semak perlahan-lahan dapat membantu penglihatan kami. Tadi semak-semak itu sangat gelap, kini sudah cukup terang, dan kami bisa melihat isi yang ada di dalamnya. Ternyata semuanya tidak ada apa-apa. Aneh sekali bagiku, lalu kenapa anjing-anjing menggonggong serentak ke arah yang sama?
Angin terus bertiup, hingga membuat daun-daunan satu persatu jatuh dari dahannya. Langit masih terlihat gelap, kabut tipis juga masih berkeliaran seakan tak mau beranjak.
Beberapa menit telah berlalu. Semenjak Pak Witan melemparkan obor kedalam semak-semak tadi, tidak lama kemudian satu persatu anjing kamipun mulai terlihat tenang kembali, mereka tidak lagi segalak tadi. Aku merasa sedikit lega.
"Sudah ku bilang pada kalian sebelumnya, bahwa makhluk itu bukanlah makhluk yang nyata. Makhluk itu adalah jelmaan Jin!" Aku kembali menegaskan pendapatku itu kepada dua sahabatku dengan nada yang sedikit kesal. Namun mereka hanya diam dan tidak mau menanggapinya.
"Kalian harus percaya kata-kataku itu, Mardian, makhluk itu adalah makhluk halus. Dia tidak akan selalu muncul seperti kau mencari beruk dan lalu kau bisa seenaknya menemukannya begitu saja di hutan, kalian keliru. Ayolah, besok kita harus kemas-kemas barang dan kembali ke kota. Jika kalian tidak mau, maka aku sendiri yang akan kembali ke kota bersama Kakek dan Nenek ku, karena mereka juga mau pindah ke rumah kami" Begitu kataku pada mereka.
Entah kenapa aku tiba-tiba menjadi sangat kesal kepada mereka. Mereka tetap tidak menjawabnya. Namun beberapa detik kemudian, tiba-tiba Mardian mulai buka suara.
"Iya juga Gi, mungkin kata Rayhan itu benar, itu adalah makhluk halus, bagaimana mungkin kita bisa mencarinya seperti mencari beruk di hutan. Sepertinya besok kita harus pulang, gak usahlah sampai hari minggu, sampai besok aja, ya" Mardian bertutur pada Logi dengan nada yang sedikit mendayu.
Logi masih belum menjawabnya, kelihatannya dia masih berpikir untuk menimbang-nimbang keputusannya.
"Hmmm, iya deh, besok kita akan pulang" Begitulah jawaban yang keluar dari mulut Logi. Dan aku pun merasa lega mendengarnya.
Pak Witan berjalan ke dalam semak untuk menjemput obor miliknya, seekor anjing entah milik siapa itu tuba-tiba berlari mengikuti beliau dari belakang, sementara aku dan teman-temanku yang lain masih menunggu di luar semak-semak sambil menghisap rokok. Santai.
Tiba-tiba anjing tersebut berbunyi pelan sambil kakinya menggali tanah dan sesekali dia juga terlihat menempelkan hidungnya di tanah. Gaya anjing tersebut persis sama dengan tingkah anjing yang sedang menggali tanah untuk mendapatkan tulang.
Aku sibuk dengan ponselku. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 02:11 malam. Ada sebuah pesan yang masuk.
"Pulsa anda telah habis!" Begitu bunyi pesan nya.
"Haha, gila, tengah-tengah malam gini tiba-tiba sms masuk, setelah di buka, ternyata isi pesan nya, Tai! Pulsa anda sudah.....
Belum sempat aku menyudahi kalimatku, tiba-tiba Pak Witan memanggil kami bertiga agar segera mendekat.
"Hey, ayo sini, coba lihat ini, cepat!" Pak Witan memanggil kami dengan nada suara yang sedikit mendesak. Kami yang mendengarnya pun juga menjadi sedikit terkejut dan sedikit panik. Kami pun berjalan untuk melihatnya.
"Gagang apa ini?" Mardian bertanya dengan nada bingung.
"Sepertinya ini adalah gagang pintu, ayo sama-sama kita coba untuk menariknya, barangkali saja pintu ini masih bisa di buka" Kata Pak Mardian pada kami dengan nada yang sedikit mengajak. Dengan serentak, kami semua pun mulai mengambil posisi dan kemudian mulai menariknya.
Kedengarannya persis sekali seperti pintu besi yang sudah lama tidak terbuka, terdengar sedikit berisik, mungkin karena pintu besi itu sudah banyak yang berkarat.
Jadi agak susah untuk di buka. Setelah sedikit berusaha keras, dan kami pun berhasil membuka pintu tersebut.
Pandangan mata kami semuanya langsung tertuju kepada isi yang ada di balik pintu tersebut. Kami semua bahkan sampai tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun sakin fokus dan penasarannya. Begitupun dengan 7 ekor anjing yang bersama kami, mereka semua terlihat juga ikut berkumpul untuk melihat apakah isi yang ada di balik pintu tersebut.
Tidak ada yang terlihat, semuanya nampak gelap. Ternyata ada sebuah ruangan bawah tanah yang sangat gelap. Kami tidak tahu ruangan apakah itu? Dan seluas apakah ruangan itu? Yang terdengar dari mulut pintu tersebut hanyalah suara dentingan air yang menetes pelan dari langit-langit yang mengenai lantai ruangan.
Tepat di depan mulut pintu itu terdapat anak tangga yang tertancap di didinding, anak tangga tersebut berjajar rapi hingga ke lantai dasar. Tebakanku jarak pintu tersebut dengan lantai dasar ialah sekitar 20 meter. Tinggi sekali gumam ku dalam hati. Itu hanyalah tebakanku.
Dasar lantai ruangan tersebut terlihat berdebu, dan ada juga bagian lainnya yang tampak basah oleh tetesan air yang jatuh. Kemudian aku memasukkan tangan ke dalam saku tas kecilku untuk meraih beberapa butir batu. Kemudian batu-batu tersebut aku jatuhkan ke dalam ruangan tersebut.
Ketika batu itu menghantam lantai dasar, kedengarannya seperti benturan batu dengan batu.
"Sepertinya lantai ruangan ini terbuat dari semen" Begitu kata Pak Witan. Kami semua diam tidak menanggapi karena mungkin sama setuju dengan pendapat beliau.
"Ayo, siapa yang berani turun duluan?" Tanya Pak Witan kepada kami sambil tersenyum kecil. Kami semua saling tatap-menatap tidak ada yang bersedia lebih dulu.
"Baiklah, mari kita periksa apakah ada emas yang masih tersimpan di bawah sana?" Pak Witan langsung mengambil posisi untuk menjadi orang yang pertama kali masuk dan turun kedalam ruangan misterius tersebut. Beliau tampak tersenyum kecil sambil menengadah ke atas ke arah kami. Sedikitpun beliau tidak terlihat takut.
Setelah itu, kami bertiga pun menyusulnya satu persatu. Sedangkan anjing-anjing kami masih tinggal di atas.
Ruangan pertama yang kami masuki itu cukup besar, luasnya mungkin hampir sama dengan luas lapangan bulu tangkis. Akan tetapi sepertinya itu bukanlah satu-satunya ruangan tersembunyi yang ada di bawah sana. Terlihat ada lagi lorong panjang yang yang mengarah ke arah barat.
Aku mendekati dinding ruangan dan kemudian menempelkan tanganku untuk melihat dari bahan apakah ruangan ini di bangun. Ternyata ruangan itu di bangun menggunakan semen dan sebagiannya lagi dari batu alami yang di pahat rapi.
Pak Witan kembali menyalakan obornya, dan kemudian beliau meletakkan obor-obor tersebut di tepi-tepi lorong jalan supaya jalan di lorong tersebut dapat terlihat dengan jelas.
"Tempat apa ini?" Logi berbicara sendiri. Dari nadanya terdengar seperti orang yang masih bingung dan tidak percaya.
"Mungkin tempat ini adalah tempat ruangan bawah tanah milik penjajah Belanda ataupun Jepang pada zaman dulu yang sudah lama di tinggalkan" Begitu terang Pak Witan kepada Logi.
Aku juga sependapat dengan beliau.
"Hey, ayo kesini, coba lihat ini tulisan apa?" Mardian sedikit meninggikan nada suaranya. Kamipun segera bergegas untuk menilik.
"Sepertinya ini bahasa Belanda, tapi aku tidak tahu apakah artinya tulisan tersebut. Disana juga tertulis "1876".
Mungkin bangunan ini di dirikan pada tahun ini? Aku meletakkan telunjukku di atas angka tersebut.
"Waw, ini adalah sebuah keajaiban kita bisa menemukannya, tempat ini adalah salah satu tempat yang paling bersejarah di negara kita" Mardian menatap wajah kami satu persatu dengan tampan serius dan kagum.
Kami terus berjalan melihat-lihat satu ruangan ke ruangan yang lain. Ternyata ruangan bawah tanah itu sangat luas sekali, sudah lebih dari 30 ruangan yang telah kami temui, akan tetapi jalan masih juga terlihat panjang ke arah barat.
Kami terus berjalan pelan.
"Hey! Sini, Cepat!
Logi berteriak memanggil kami. Kamipun segera bergegas untuk melihat apakah benda yang hendak ia tunjukkan kepada kami itu.
"Bukankah itu adalah tulang-tulang manusia?" Logi bertanya dengan nada suara yang cukup tinggi, sehingga membuat aku sedikit terkejut mendengarnya. Apa lagi dia mengatakan tulang manusia, bukan main terkejutnya aku mendengarnya.
Benar itu adalah tulang manusia. Tulang tulang itu terlihat berserakan di lantai dalam ruangan yang tertutup rapat oleh jeruji besi. Tulang-tulang tengkorak itu terlihat sangat mengenaskan, hampir semua tulang-tulangnya itu terlihat banyak yang lepas dari anggota badannya. Mungkin mereka di bunuh dan kemudian di biarkan begitu saja hingga jasad mereka membusuk dan hancur. Begitulah dugaanku.
Setelah melihat kejadian tersebut, sekujur bulu romaku mulai berdiri. Aku dapat merasakan rasa takutku tiba-tiba saja datang menyerangku. Akan tetapi aku berusaha untuk tetap tenang dan berjalan dengan santai bersama teman-temanku.
Tidak lama setelah itu, tiba-tiba saja kami mendengar ada suara orang yang memukul besi dengan pukulan yang cukup keras. Bayangkan jika ada orang yang memukul besi dalam ruangan yang tertutup, bunyinya terdengar sangat jelas dan menggema.
Kami semua langsung berhenti. Kami diam di tempat masing-masing untuk mencari tahu dari arah manakah suara pukulan itu berasal. Dan ternyata suara pukulan itu berasal dari belakang ruangan yang berada di samping kiri Pak Witan.
Pak Witan mengarahkan senternya ke arah ruangan tersebut, namun beliau tidak menemukan apapun. Akan tetapi, tiba-tiba beliau berjalan sedikit cepat ke arah depan, dan kemudian belok ke arah kiri hingga tubuhnya pun lenyap terhalang dinding. Kami semua langsung menyusul dari belakang.
Ternyata ada jalan kecil yang mengarah ke belakang ruangang tersebut. Dan mengejutkan lagi, ternyata jalan kecil itu menghubungkan kami dengan sebuah lorong yang jauh lebih besar dari pada jalan lorong yang tadinya kami lewati. Benar-benar misterius sekali tempat itu.
Suara itu terdengar semakin dekat. Bunyinya semakin nyaring sekali. Aku bahkan sudah bersiap-siap dengan ketapel di tangan. Sementara Mardian dan Logi bersiap-siap dengan senjata api mereka. Mereka berjalan mengikuti Pak Witan dengan amat pelan, begitu juga denganku.
Pak Witan menoleh ke belakang untuk melihat apakah kami masih berada di belakangnya atau tidak. Sepertinya beliau juga mulai diserang oleh rasa takut.
Mardian menggerakkan kepalanya untuk bertanya kepada Pak Witan dengan bahasa isyarat, Pak Witan menjawabnya dengan muka sipit sembari menggeleng tidak tahu. Suara itu kini sudah semakin dekat sekali dengan kami.
Suara itu terdengar seperti orang yang memberontak untuk merobohkan jeruji besi penjara dengan tangan kosong. Dia terdengar terus memberontak seolah-olah ingin keluar dari jeruji tersebut. Begitulah bunyi suaranya yang kami dengar.
Aku terus berjalan pelan dengan hati dan perasaan yang bercampur aduk antara takut dan penasaran. Dadaku berdetak lebih kencang. Keringat mulai bercucuran deeas di dahi dan juga wajahku. Aku terus melihat ke depan menggunakan cahaya senter yang ada di kepalaku.
Pak Witan tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Beliau perlahan mundur ke belakang dengan sangat hati-hati sekali. Sementara Mardian dan Logi pun juga mengehentikan langkah mereka untuk menunggu Pak Witan tiba di dekat mereka.
Setelah Pak Witan sampai, beliau kemudian menggerakkan tangan seolah menggambarkan sesuatu dengan tangan nya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Dari bahasa isyarat beliau tersebut dapat ku pahami bahwa beliau sedang menjelaskan rupa sebuah makhluk yang memiliki wajah yang sangat buruk dan juga punya rambut yang panjang.
Mardian dan Logi bahkan juga terlihat kaget setelah mendengar penjelasan Pak Witan. Mereka kemudian perlahan-lahan mundur kebelakang untuk menemui ku. Sementara Logi berjalan mundur dalam posisi siaga dengan menodongkan senjata ke arah punca suara aneh itu berasal.
Kini suara aneh tersebut tiba-tiba berhenti. Pak Witan mulai menjelaskannya sekali lagi kepada kami. Dan ternyata beliau mengatakan bahwa di sana ada beberapa makhluk yang sedang berdiri memegang besi jeruji penjara, akan tetapi beliau belum sempat melihatnya dengan jelas. Di sana nampak banyak sekali warna merah seperti darah yang tergenang di lantai.
Setelah mendengar hal tersebut, untuk memastikannya, Mardian pun memberanikan diri untuk melihatnya sekali lagi. Sedangkan Logi bersiap-siap menodongkan senjatanya dari belakang untuk menjaga Mardian.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DI SINI
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
Ihh kok serem banget sih. Huwaaa ngeri
ReplyDelete