Cerpen - Pertemuan - Part 2
Part 2
“Ayo dimakan kuenya, nak Fatih, Sarah. Ibuk mau masak-masak dulu di dapur buat makan malam kita nanti” Ibuk Sarah segera pamit ke dapur. Sarah juga pamit ikut untuk membantu Ibuk Rahma memasak.
Tinggallah Fatih dan Pak Bahri di ruangan tamu. Mereka asyik bercerita.
Setelah lama bercerita, ternyata Fatih baru tahu bahwa dulunya Pak Bahri itu adalah anak santri juga. Dulu beliau mondok di pesantren Purba Baru. Pesantren tersebut berada tidak terlalu jauh dari pesantren Fatih dan Sarah. Beliau adalah alumni pesantren tersebut.
Pak Bahri banyak bertanya tentang pelajaran ilmu nahwu yang sudah lama tidak pernah lagi beliau pelajari. Pak Bahri sudah banyak yang lupa tentang kajian ilmu tersebut. Kebetulan pula Fatih ada di sana, jadi kepada Fatihlah tempat beliau mengulang semua kajian yang pernah beliau pelajari selama beliau berada di pesantren.
Dan syukurlah Fatih bisa menjawab semua pertanyaan tersebut dengan mudah. Saat itulah Pak Bahri mulai tertarik pada Fatih.
Pak Bahri mengajak Fatih kerja sementara di perusahaan beliau, karena kebetulan pula beliau lagi butuh seorang tenaga kerja tambahan. Dan tanpa pikir panjang, Fatih-pun langsung bersedia untuk menerima tawaran tersebut.
Lama bercerita, akhirnya waktu sholat maghrib-pun sudah masuk. Fatih segera pamit untuk mengambil wuduk, disusul pula oleh Pak Bahri.
“Fatih, Bapak ini lagi batuk, kamu yang mimpin sholat maghrib, ya” Pak Bahri sudah membentangkan sajadah untuk Fatih di posisi paling depan. Sementara beliau berdiri di belakang Fatih bersama Ibuk Rahma dan Sarah yang juga sudah mengenakkan mukena mereka. Awalnya Fatih tidak enak, akan tetapi setelah mengetahui Pak Bahri ternyata beneran batuk, barulah Fatih mau memutuskan untuk menjadi pemimpin sholat berjama’ah tersebut.
Suara Fatih terdengar begitu merdu ketika dia sedang membacakan ayat-ayat suci Al-qur’an. Pak Bahri dan Sarah sampai terperangah mendengar suara Fatih. Sholat mereka menjadi lebih khusyuk dari biasanya. Sakin khusuknya dalam sholat berjama’ah tersebut, Sarah bahkan sampai menangis meneteskan air mata saat mendengar lantunan surat Al-waqiah yang di lantumkan oleh Fatih. Surat itu bercerita tentang hari kiamat.
Setelah sholat berjamaah berlangsung, Sarah dan Ibuk Rahma segera menyiapkan makan malam di meja makan.
“Luar biasa sekali kamu, Fatih. Sudah punya wajah yang tampan, pintar ngaji, dan suaranya pun juga merdu, kamu harus banyak-banyak bersyukur pada Allah karena telah diberikan karunia” Pak Bahri menepuk-nepuk pundah Fatih sambil tersenyum kagum.
“Ahh, Pak Bahri ini bisa aja. Biasa-biasa aja, kok” Fatih tersenyum kecil setelah mendengarkan ucapan Pak Bahri.
“Pak, ayo sini, Pak, makan malamnya udah siap” Ibuk Rahma memanggil dari meja makan.
“Ayo cepat, makan malamnya udah siap. Nanti obrolannya kita sambung di sana aja” Pak Bahri meanrik tangan Fatih. Fatih pun segera berdiri sambil tersenyum kecil dan beranjak menuju meja makan.
Setibanya di sana, Fatih dan Pak Bahri melanjutkan obrolan mereka.
“Fatih, umur kamu sudah berapa?” Pak Bahri bertanya di sela-sela waktu makan malam berlangsung.
“Umur saya baru 25, pak” Fatih menjawabnya singkat.
“Usia kalian hampir-hampir sama, ya. Usia Sarah baru 23, sekitar dua bulan lagi, umurnya genap 24. Iya kan, Sarah?” Pak Bahri menoleh ke Sarah.
“Iya, paman” Sarah juga menoleh ke wajah Pak Bahri.
“Eh, kok mata kamu memerah, kamu kenapa, Sarah?” Pak Bahri bertanya menyelidik.
“Sakin khusuknya dengerin nak Fatih melantumkan ayat suci Al-qur’an, Sarah sampai nangis di belakang” Ibuk Rahma menceritakan semuanya. Mendengar cerita buk Rahma, tiba-tiba Sarah menjadi salah tingkah.
“Owh gitu, ya... hahaha. Fatih, lihat tuh, masih gak percaya sama Bapak, Sarah-pun udah luluh hatinya saat mendengar kau melantumkan ayat suci Al-qur’an” Pak Bahri sedikit tertawa kecil mencandai Fatih dan Sarah.
Mendengar kata tersebut, Fatih tidak bisa berbuat banyak selain dari pada senyum dan senyum-senyum sambil pura-pura meneguk air di gelas.
“Udahlah, pak. Kasian Sarah dan nak Fatihnya, mereka jadi malu, pak” Ibuk Rahma menegur Pak Bahri dengan nada yang sedikit kesal.
“Malu itu tanda cinta, buk, hehehe” Pak Bahri tertawa sinis melihat tingkah Fatih dan Sarah yang tidak biasanya.
“Hahaha, Paman bercanda aja, kok. Jangan dimasukin ke hati, ya. Maafin Paman, ya, Sarah” Pak Bahri masih terkekeh kecil sewaktu meminta maaf kepada Sarah.
“Iya, deh gak papa, kok. Ayo tambah lagi nasinya, Paman, Mas Fatih” Sarah segera mengalihkan tema pembicaraan. Pak Bahri tersenyum kecil sambil mengangguk pelan. Begitupun Fatih. Makan malam berlangsung dengan khidmat dan mengesankan.
Sejak malam tersebut Fatih-pun mulai tinggal di sana dan bekerja sama Pak Bahri di perusahaan roti yang beliau punya.
Sebulan telah berlalu. Selama itu pula Fatih bekerja pada Pak Bahri di perusahaan tersebut. Fatih mulai merasa tidak enak karena harus tinggal di rumah Pak Bahri. Ia merasa segan sekali dan seolah-olah merepotkan keluarga mereka. Apalagi kini, setiap hari Sarah selalu mengantarkan makanan ke tempat kerjanya. Itulah yang membuat Fatih merasa tidak enak hati sama Pak Bahri.
Malam telah tiba.
Setelah makan malam berlangsung, Fatih datang menemui Pak Bahri karena ada sesuatu yang ingin dia katakan. Fatih mohon pamit dari rumah tersebut di pagi besok, karena dia merasa sudah terlalu lama tinggal di sana dan merepotkan keluarga pak Bahri. Dia mintak maaf karena harus mengatakannya secara mendadak. Pak Bahri sedikit terkejut ketika mendengar permohonan Fatih.
Akan tetapi sepertinya beliau mengerti perasaan Fatih. Beliaupun mengizinkan Fatih pergi. Akan tetapi Fatih harus berjanji akan tetap berkunjung ke rumah tersebut jika ada kesempatan.
“Apakah Sarah sudah tahu kamu akan pergi?” Pak Bahri bertanya setengah menyelidik.
“Tidak Paman. Tolong jangan beritahu dia” Fatih memohon kepada Pak Bahri. Akhirnya beliaupun setuju dengan permohonan tersebut. Pak Bahri tidak akan menceritakannya kepada Sarah.
Pagi telah tiba. Sebelum matahari terbit, Fatih sudah mulai pamit pergi sama buk Rahma dan Pak Bahri. Sarah sibuk memasak di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi tanpa mengetahuinya sedikitpun.
“Ini nomor hp Bapak, kalau nanti terjadi apa-apa telepon saja ke nomor ini, ya nak Fatih” Pak Bahri memberikan secarik kertas. Fatih langsung mengangguk seraya meraih kertas tersebut. Kemudian mengucapkan salam dan pamit pergi.
Masakan Sarah telah matang. Sarah mulai memanggil Buk Rahma dan Pak Bahri untuk sarapan pagi, tak ketinggalan juga dengan Fatih. Namun Sarah tidak menemukan Fatih di ruangan tamu. Biasanya Fatih selalu duduk di sana sambil membaca buku setelah sholat shubuh.
“Paman, Mas Fatih di mana?” Sarah bertanya setengah menyelidik. Wajahnya terlihat tak tak tenang.
“Mas Fatih sudah pergi tadi pagi. Katanya dia mau ke rumah temannya itu yang dia cari, mungkin dia udah dapat alamatnya” Pak Bahri menjawabnya dengan nada yang datar sambil menyendok nasi ke dalam piring.
“Loh, kok Paman gak ngasih tahu Sarah kalau Mas Fatih mau pergi?” Mimit wajah Sarah mulai memerah. Sepertinya dia terlihat sedikit kaget setelah mendengar jawaban Pamannya itu.
“Malam nanti-kan dia mau balik lagi ke sini, jadi paman rasa gak ada yang perlu di sampaikan sama Sarah” Pak Bahri sedikit meyakinkan Sarah. Berniat agar Sarah tidak terlalu khawatir dengan kepergian Fatih.
Setelah mendengar jawaban tersebut, Sarah pun terlihat sedikit lebih baik. Sarapan pagi-pun berjalan dengan khidmat seperti biasanya.
Malam telah tiba. Ternyata Fatih belum juga kembali. Kejadian tersebut berlanjut hingga satu minggu, Fatih belum juga kembali mengetuk pintu. Sarah mulai resah dan khawatir. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk menemukan Fatih. Sekedar bertanya tentang Fatih pada Pamannya saja dia tidak berani. Sarah adalah wanita yang pemalu tentang masalah perasaan. Dia terpaksa menjalani hari-harinya dalam kesendirian.
Waktu terus bergulir dengan begitu cepat, tak terasa satu bulan telah berlalu. Fatih belum juga menelepon Pak Bahri untuk memberikan kabar. Mungkin Fatih sedang sibuk. Begitulah prasangka Pak Bahri.
“Sarah, kamu sakit, ya?” Buk Rahma mendekapkan tangannya di dahi Sarah.
“Nggak, kok. Sarah gak sakit, buk” Sarah pura-pura senyum dengan memasang wajah baik-baik saja. Namun rona pucat di wajahnya itu tak bisa hilang.
“Tapi, kok wajah kamu pucat? Kita ke dokter, yuk..” Buk Rahma membujuk Sarah. Namun Sarah tak bisa dibujuk. Dia lebih memilih diam di halaman rumah bersama buku-buku Fatih yang masih tertinggal di rumah Pamannya.
Sarah selalu menghabiskan hari-harinya dengan lamunan. Keceriaannya seakan direnggut begitu saja tanpa tersisa. Buk Rahma dan Pak Bahri mulai khawatir melihat keponakan mereka. Akan tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Seminggu setelah Fatih pergi dari rumah Pak Bahri, Fatih sholat dzuhur di sebuah masjid tepi jalan sekaligus beristirahat sejenak dalam pencarian alamat rumah Kak Ilham. Saat itulah secara tak sengaja ternyata mereka bertemu di dalam masjid tersebut. Kak Ilham membawa Fatih ke rumahnya.
Mereka berbagi banyak cerita tentang pengalaman mereka dalam lima tahun terakhir. Ternyata Kak Ilham sudah menikah dengan seorang wanita cantik dan telah dikaruniai seorang putra. Kak Ilham mengajar di sebuah pesantren yang ada di Bogor. Kebetulan pula pesantren tersebut sedang membutuhkan seorang tenaga pengajar, maka Kak Ilham-pun menawarkan Fatih agar bersedia menjadi tenaga pengajar di sana.
Melihat kesempatan tersebut, Fatih-pun tidak mau menyia-nyiakannya. Sejak hari itu, Fatih sudah resmi mulai mengajar di pesantren tersebut.
Empat bulan telah berlalu. Musim libur sekolah telah tiba. Saat itulah Fatih meluangkan waktunya untuk berkunjung ke rumah Pak Bahri.
Setibanya Fatih di sana, Pak bahri langsung menyambutnya dengan ramah seperti layaknya keluarga beliau sendiri. Fatih menceritakan semuanya, termasuk juga dengan pekerjaan barunya tersebut.
Fatih juga menanyakan tentang Sarah, kata Pak Bahri, Sarah sudah pulang ke Medan satu minggu yang lalu. Dia terlihat kurang sehat, wajahnya pucat karena jarang makan. Sarah juga sering melamun sendirian di halaman depan. Sekarang orangtuanya sering membawanya berobat ke salah satu dokter yang ada di sana. Begitulah terang Pak Bahri.
Mendengar hal tersebut, Fatih langsung meminta alamat Sarah. Dia langsung memesan tiket pesawat ke Medan untuk pulang menjenguk keluarganya, sekaligus juga menjenguk Sarah yang sedang sakit. Dengan senang hati Pak Bahri-pun memberikan alamat rumah Sarah. Besok harinya, Fatih langsung berangkat ke Medan.
Setibanya di Medan, Fatih langsung pulang ke rumahnya untuk menjenguk keluarganya yang sudah hampir enam bulan tidak bertemu. Syukurlah orangtua Fatih masih sehat wal-aafiat. Dia juga bercerita tentang pengalamannya selama dia berada di kota Bogor. Orangtuanya pun ikut bahagia dan bangga mendengarnya.
Hari kedua di kota Medan. Fatih langsung bergegas mencari alamat rumah Sarah yang sudah tertera di dalam kertas pemberian Pak Bahri. Dia menumpangi angkot. Lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki. Sesekali Fatih juga bertanya kepada beberapa orang di jalan. Dan akhirnya Fatih-pun menemukan rumah Sarah.
Dia sedikit terkejut, ternyata Sarah adalah anak orang kaya. Rumahnya megah bak istana. Sebenarnya Fatih sempat ingin pergi dari rumah tersebut, akan tetapi saat itu dia kembali teringat dengan keterangan Pak Bahri. Bahwa Sarah sedang sakit. Maka Fatih-pun memutuskan memberanikan diri untuk mengetuk pintu pagar rumah tersebut.
Pintu pagar-pun sudah terbuka lebar oleh salah satu satpam penjaga rumah.
“Assalaamua’alaikum, pak. Benarkah ini rumah Sarah?” Fatih bertanya dengan sopan.
“Wa’alaikumussalam. Iya, Mas. Mas siapa, ya? Ada yang bisa saya bantu?” Bapak yang membuka pagar itu balik bertanya dengan ramah.
“Saya Fatih, pak. Saya teman Sarah, katanya Sarah sakit, ya, Pak?” Fatih kembali bertanya.
“Iya, mas. Itu dek Sarahnya lagi baca buku di halaman depan, ayo masuk, Mas” Bapak yang membukakan pintu pagar mempersilakan Fatih masuk. Dengan segala hormat, Fatih-pun mulai melangkah pelan ke dalam halaman rumah tersebut.
Saat Fatih baru saja setengah jalan di dalam halaman rumah tersebut, dia terkejut melihat Sarah yang sudah terlihat kurus duduk di salah satu kursi panjang dekat halaman rumah. Sarah terlihat sibuk membaca buku. Dia tidak menyadari kehadiran Fatih dirumahnya.
“Assalaamua’alaikum....” Fatih mengucapkan salam dengan suara yang paling rendah dengan maksud agar tidak membuat Sarah terkejut.
Comments
Post a Comment