Cerpen - Pertemuan - Part 1
Part 1
Tampias air hujan yang mengalir di permukaan jendela mobil membuat Fatih terbang begitu saja mengenang masa lalunya. Masa-masa di sekolah memang manis untuk ditelusuri.
Saat itu hujan lebat turun mengguyur atap pesantren klasik yang berlubang. Airnya menetes dan membanjiri lantai ruangan. Setiap kali musim hujan turun, maka proses belajar mengajar harus dihentikan. Karena para santri sibuk memindahkan bangku-bangku sekolah dan juga menimba air yang membanjiri lantai ruangan.
Dulu, Fatih sekolah di pesantren Raihanul Jannah, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dia sempat berhenti selama satu tahun untuk membantu orangtuanya memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja sebagai pemotong karet. Hasilnya tidak menentu. Saat musim hujan tiba, Fatih beralih profesi menjadi saudagar kayu bakar. Itulah yang dia lakukan untuk mengisi waktunya selama satu tahun.
Namun, setelah satu tahun berhenti dari sekolah, karena penghasilan kerjaannya itu juga kadang tidak menentu, entah kenapa tiba-tiba saja dirinya mendadak rindu kembali dengan suasana pesantren yang begitu menyenangkan. Setiap hari dia selalu menyetor hafalan qur’an, belajar, dan juga bercanda ria dengan para santri lainnya. Itulah yang membuatnya tertarik kembali untuk menjadi seorang santri.
Fatih memutuskan untuk kembali menyambung sekolahnya di pesantren tersebut setelah berhasil mengumpulkan sedikit uang dari hasil kerjanya selama satu tahun. Saat itulah dia berkenalan dengan seorang kakak kelas yang baik. Namanya adalah Ilham. Ilham lebih tua 3 tahun dari Fatih. Ilham-lah yang selalu memberikan motivasi dan juga mengajar Fatih setiap malam sebelum mereka tidur. Itulah yang membuat Fatih merasa nyaman dan semangat.
Setelah 2 tahun tinggal satu atap bersama kak Ilham, akhirnya waktu perpisahan-pun tiba. Kak Ilham harus pergi, karena Kak Ilham berhasil tamat dari pesantren tersebut dan mendapatkan nilai tertinggi dengan menyandang gelar sebagai santri terbaik. Pada saat itulah Fatih dan Kak Ilham mulai berpisah.
Awalnya semua terasa sulit untuk dijalani. Namun teringat dengan semua kata-kata dan pesan Kak Ilham padanya, Fatih menjadi kuat kembali. Dia bertekad ingin menjadi lulusan terbaik seperti yang telah Kak Ilham capai. Berkat kegigihan dan semangatnya itu, akhirnya Fatih pun berhasil tamat dari pesantren tersebut sebagai santri terbaik dua. Itu adalah kenangan indah lima tahun lalu yang tidak akan pernah terlupakan oleh Fatih.
Hari ini Fatih akan berangkat ke kota Bogor untuk menemui seorang temannya di sana, bahkan Fatih sudah menganggap sosok tersebut adalah kakaknya sendiri. Fatih sudah rindu sekali dengan Kak Ilham yang telah berjasa besar bagi dirinya. Sudah lima tahun mereka tidak pernah bertemu lagi. Walaupu dia belum tahu pasti di manakah sebenarnya alamat kak Ilham dengan jelas, akan tetapi dia percaya setiap usaha itu pasti ada hasilnya. Itulah yang membuatnya bertekad sekali untuk berangkat.
Hingga ia pun memutuskan untuk membeli tiket pesawat dan terbang dari kota Medan menuju Bogor. Di sanalah kota kelahiran Kak Ilham.
Setelah keluar dari bus yang ia tumpangi, Fatih dengan sedikit terburu-buru berlari ke dalam bandara, karena tidak lama lagi pesawat Air Asia yang ia tumpangi akan segera terbang ke pulau jawa.
Semuanya telah siap. Proses checkin barang-barang-pun juga telah selesai. Kini Fatih duduk di bangku ruangan tunggu untuk menunggu pengumuman terbang dengan wajah yang sedikit kebingungan. Ia bingung memikirkan di manakah dan sejak kapankah dompetnya itu jatuh.
Ia berusaha untuk berkeliling di sekitar ruangan tunggu untuk mencari dompetnya yang hilang, akan tetapi dia gagal menemukannya. Saat itulah Fatih mulai khawatir.
Dari manakah dia akan mengambil uang untuk membayar ongkos bus yang nantinya akan membawanya keluar dari bandara menuju pusat kota bogor? Karena sedikitpun dia sudah tidak punya uang lagi. Semua uang yang Ia bawa tersimpan di dalam dompetnya yang hilang tersebut.
“Assalaamu’alaikum, ada yang bisa saya bantu?” Tiba-tiba muncul suara wanita yang sedikit mengagetkannya. Fatih segera beralih dari lantai ruangan ke arah suara itu berasal.
Dia sedikit gugup ketika melihat ada seorang wanita cantik yang mengenakan hijab panjang yang berwarna hitam. Wanita itu masih menatapnya dalam jarak dua meter.
“Wa’alaikumussalam...” Fatih menjawabnya dengan sedikit gugup. Dia belum pernah berhadapan dengan seorang wanita cantik dalam jarak yang sedekat itu. Fatih segera mengalihkan pandangannya pada saat itu juga karena takut wanita itu tahu bahwa dirinya sedang dilanda sebuah rasa yang tidak bisa dijelaskan.
“Hmm gak ada apa-apa, kok. Terimakasih, Mbak” Fatih berbicara tanpa menoleh. Dia salah tingkah. Tidak tahu harus berkata apa kepada wanita tersebut.
“Tapi kok kelihatannya Mas sedang nyari sesuatu? Beneran gak papa?” Wanita itu bertanya balik untuk memastikan.
“Iya, iya. Gak ada apa-apa, kok” Kali ini Fatih memberanikan diri untuk menoleh dengan pura-pura tersenyum lega seakan-akan tidak ada yang terjadi sama sekali.
“Mbak mau kemana?” Fatih mengajukan pertanyaan sekedar basa-basi untuk menghilangkan rasa gugupnya.
“Mau ke Bogor, Mas. Mas mau kemana?” Wanita itu balik bertanya.
“Hmm, sama. Saya juga mau ke Bogor, Mbak. Mau nyari teman satu pondok dulu sewaktu masih di pesantren” Kali ini Fatih sudah mulai terlihat lega tanpa ada lagi beban di dalam nada bicaranya.
“Owh, jadi dulunya Mas ini anak pondok juga, ya? Dulu Mas mondoknya di mana?” Sepetinya wanita tersebut mulai tertarik dengan tema pembicaraan tersebut.
“Dulu saya mondok di Pesantren Raihanul Jannah, Mandailing Natal. Emangnya kenapa, mbak?” Kali ini Fatih terlihat sedikit penasaran dengan pertanyaan tersebut.
“Gak ada, Mas. Cuma penasaran aja. Saya dulunya juga mondok, di pesantren sana juga. Tapi kok aku gak pernah lihat Mas, ya di sana?” Wanita itu bertanya kembali.
“Aku sih alumni tahun 2014 kemarin, Mbak. Dulu aku jarang keluar karena sibuk menghafal di dalam pondok. Lagian-kan asrama lelaki dan wanita itukan terpisah, jadi bagaimana mungkin kita bisa ketemu? Mbaknya alumni tahun berapa?” Fatih kembali bertanya. Kali ini dia mulai tertarik dengan pembicaraan tersebut.
“Hmm iya juga, ya. Asrama cewek dan cowok itukan terpisah, hehe. Aku alumni tahun 2016 Mas”
“Oo ya, perkenalkan, nama aku Syarah. Kalau boleh tahu, nama Mas, siapa?”
“Namaku Fatih, biasa dipanggil Fatih”
“Salam kenal, ya, Mas Fatih” Wanita itu tersenyum ramah.
“Itu pesawatnya udah mau berangkat, Mas Fat. Yuk cepat-cepat, nanti ketinggalan pesawat” Sarah sedikit terburu-buru dan segera beranjak dari ruangan tunggu untuk memasuki pintu pesawat yang sudah mulai dimasuki oleh para penumpang lainnya.
Fatih yang tadinya belum sempat menjawab sapaan salam kenal dari Sarah segera menyusul dari dari belakang. Akan tetapi Fatih sedikit pelan melangkahkan kaki sambil memeriksa kembali ruangan tersebut sebelum dia benar-benar pergi dari sana. Akan tetapi dompetnya itu benar-benar telah lenyap entah kemana. Fatih-pun memutuskan untuk mengihlaskannya. Dia mulai berjalan menuju pintu pesawat sebagai penumpang yang paling terakhir kali masuk.
“Apapun yang terjadi, biarlah Allah yang mengatur semuanya. Semoga Allah akan mempermudah segala urusanku selama di perjalanan nanti, Aamiin” Begitulah do’anya dalam hati ketika pertamakali sampai di dalam pesawat. Fatih sudah bertawakkal dalam hati, apapun yang terjadi akan dia serahkan kepada Allah. Ia kemudian berjalan menuju kursi nomor 26 C.
Saat ia tiba di sana, ternyata Sarah sudah duduk manis di kursi tersebut. Entah kebetulan atau tidak, ternyata Sarah dan Fatih duduk di kursi yang sama. Mereka bahkan sempat kaget ketika mengetahui bahwa ternyata kursi mereka itu sama.
Sepanjang perjalanan dari kota Medan menuju Bogor, Fatih dan Sarah bercerita tentang banyak hal. Perjalanan tersebut menghabiskan waktu kurang lebih hampir dua jam. Selama itulah mereka berbagi cerita.
Ternyata Sarah ingin pergi berkunjung ke rumah pamannya di Bogor. Paman Sarah punya sebuah perusahaan, yaitu perusahaan roti yang sudah berdiri selama kurang lebih delapan tahun. Dalam waktu yang sesingkat itu, Fatih dan Sarah tiba-tiba sudah menjadi akrab sekali seperti orang yang sudah lama saling kenal.
Setibanya di bandara, Sarah mengajak Fatih untuk makan siang. Namun Fatih sedikit keberatan untuk menerima ajakan tersebut, dia malu karena tidak punya uang sedikitpun. Lagian Fatih juga tengah kebingungan karena tidak tahu kemanakah dia harus pergi. Semua uangnya telah lenyap.
Karena sudah tidak punya pilihan lagi, dan juga karena merasa tidak enak dengan Sarah, akhirnya Fatih-pun menerima ajakan tersebut. Seperti di pesawat, Sarah dan Fatih kembali melanjutkan cerita mereka selama acara makan siang berlangsung. Saat itulah Fatih memberanikan diri untuk menceritakan semuanya. Fatih menceritakan tentang kejadian yang menimpanya di bandara Kualanamu sebelum bertemu dengan Sarah. Yaitu kejadian tentang dompetnya yang hilang.
Sarah sempat tertawa kecil mendengar cerita Fatih. Karena saat itulah dia baru tahu penyebab kenapa tadinya Fatih susah sekali untuk diajak mampir ke meja makan, ternyata Fatih sudah tidak punya uang lagi, bahkan untuk makan siang sekalipun. Namun Sarah juga turut prihatin, dia bahkan juga menawarkan Fatih agar mau ikut bersamanya ke rumah pamannya yang ada di Bogor dan bekerja dengan pamannya itu selama beberapa waktu. Jika Fatih sudah punya uang, nanti Fatih-pun bisa pergi melanjutkan perjalanan untuk mecari Kak Ilham yang menjadi tujuan utamanya. Fatih sudah tidak punya pilihan lain, dia-pun terpaksa menuruti tawaran tersebut.
Selesai makan siang, Sarah dan Fatih berjalan menuju terminal bus penjemputan. Dari sanalah mereka naik bus menuju kota Bogor yang hanya berjarak sekitar beberapa puluh kilometer dari bandara.
Sekeluarnya dari bus, Fatih dan Sarah melanjutkan dengan berjalan kaki dalam jarak sekitar 100 meter, barulah kemudian mereka sampai di gerbang masuk halaman rumah paman Sarah.
“Assalaamua’alaikum...
“Assalaamua’alaikum...” Sarah mengetuk pintu. Sementara Fatih duduk di kursi tamu dalam keadaan gelisah. Dia gelisah karena tidak tahu apa yang akan dia katakan jika paman Sarah bertanya tentang dirinya.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahiwabarokaatuh...”
“Ehh Sarah, keponakan paman yang paling cantik, kenapa gak bilang-bilang kalo mau kesini?” Pak Bahri keluar membukakan pintu dengan ramah.
“Loh, kok Sarah gak bilang-bilang sama paman kalo Sarah sudah punya suami? Kapan nikahnya?” Pak Bahri sedikit terkejut melihat kehadairan Fatih bersama Sarah.
Mendengar pertanyaan tersebut, sontak pipi Sarah langsung bersemu memerah. Begitupun dengan Fatih. Dia menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus menjawab apa.
“Bukan paman, bukan. Saya ini temannya Sarah, paman. Kami belum nikah, kok, hehe” Fatih menjawab pertanyaan tersebut dengan suara yang sedikit tersendat. Wajahnya terlihat gugup.
“Iya, paman. Kami berdua cuma temenan biasa aja, kok, paman” Sarah berusaha menjawabnya dengan ekspresi yang datar untuk menghilangkan semu merah yang masih terlihat di wajahnya.
“Oh, teman. Paman kirain kalian berdua itu teh udah nikah. Kenapa gak nikah aja? Padahalkan serasi banget, loh, hehe... Ayo masuk.. Namanya siapa?”
“Nama saya Fatih, paman” Fatih berusaha menjawabnya dengan tersenyum ramah.
“Owh, namanya bagus sekali. Ayo masuk nak Fatih” Pak Bahri mempersilakan Sarah dan Fatih untuk masuk ke dalam rumah beliau. Dan mereka berdua-pun segera masuk tanpa berani lagi saling bertegur sapa.
“Ayo diminum airnya nak Fatih, Sarah” Ibuk Rahma menjamu mereka berdua dengan teh hangat.
“Iya, Buk. Terimakasih” Fatih menawabnya dengan ramah.
“Ohh ya, kok Sarah gak pernah ceritain sama ibuk kalo Sarah itu punya temen cowok? Biasanyakan teman Sarah itukan cewek semua. Jangan-jangan nak Fatih ini tunangannya Sarah, ya?” Kali ini Ibuk Rahma pula yang menjadi penasaran.
Mendengar pertanyaan yang lebih dahsyat dari pertanyaan paman Bahri tersebut, sontak mulut Fatih langsung terkunci karena tidak tahu harus menjawab apa sama Ibuk Rahma. Akan tetapi beruntunglah kali ini Sarah pula yang mau menjawabnya.
“Begini ceritanya, Buk. Tadi pas waktu Sarah mau berangkat ke Bogor, tak sengaja ternyata Sarah dan Mas Fatih duduk satu kursi yang sama di pesawat. Saat itulah Sarah dan Mas Fatih mulai berkenalan. Setelah bercerita panjang lebar, ternyata Mas Fatih ini adalah alumni dari pesantren tempat Sarah mondok dulu. Mas Fatih mau berangkat ke Bogor untuk mencari teman mondoknya waktu Mas Fatih masih mondok dulu, karena kawannya Mas Fatih ini berasal dari Bogor juga. Akan tetapi Mas Fatih tidak tahu pasti di manakah alamat temannya tersebut. Melihat Mas Fatih kebingungan, jadi Sarah ajak saja kesini untuk menginap.” Kali ini Sarah menceritakan semuanya dengan jelas kepada Pamannya dan Ibuk Rahma istri pamannya itu supaya mereka tidak salah paham lagi menilai mereka.
Fatih juga turut mengiyakan cerita tersebut. Setelah mendengar cerita Sarah itu, barulah Ibuk Rahma dan Paman Bahri tidak lagi salah paham.
“Owh begitu teh, ceritanya. Ibuk kirain tadi Sarah udah punya gebetan atau tunangan, hehe. Maaf ya, ibuk salah paham, maklum udah tua, hehe” Ibuk Rahma tertawa sambil menutup mulut.
Comments
Post a Comment