Malam di balik kabut
Gonggongan anjing di seberang sungai semakin memacu adrenalin bagi para pemburu rusa yang sedang kewalahan mengejar mangsa. Sang Dewi hutan yang punya tanduk bercabang itu sepertinya lenyap begitu saja kedalam kabut yang menyebar luas di ujung petang. Tanpa jejak.
Para pemburu tercerai berai, berceceran di dalam hutan, terjebak oleh kabut hutan yang mendadak muncul di luar dugaan. Satu dua berteriak memanggil kembali anjing-anjingnya, namun hampir sebagian malah tak kembali sama sekali. Hilang dilahap kabut.
Sinar senja di ufuk barat perlahan luntur dan memudar, namun beberapa garis biasnya masih tampak hangat menimpa atap dedaunan dengan jingganya. Kemerahan. Setiap detik dan menit yang berlalu, seakan-akan memberikan ruang pada gelap untuk segera datang memeluk langit. Hari mulai gelap.
Andai kata jika semuanya berjalan dengan baik, seharusnya pada waktu itu mereka semua sudah berada di dalam perjalanan pulang. Namun apalah daya, takdir seringkali keluar dari jalur dugaan manusia. Mereka semua tercerai berai, dan terjebak dalam padang kabut yang seakan tak bertepi.
Karae terus berjalan melewati bayang-bayang jalan yang entah akan menuju ke arah mana. Meski telah berulang kali ia berteriak memanggil rekan-rekannya, namun tak ada satu pun yang menyahut. Hutan semakin mencekam.
Sudah begitu jauh dia berjalan, menelusuri kabut dan hutan, namun arah yang dituju seakan-akan tak kunjung menemukan ujung. Baik di air maupun di gunung, beruntunglah senter melautnya itu selalu rutin ia bawa. Sinar itulah yang perlahan-lahan menuntun langkahnya menyisir gelap. Hingga penat kakinya melangkah, menepilah ia di bawah sebatang pohon. Bersandar sembari menentukan arah langkah di sana.
Terang masih ada walaupun itu hanyalah sekedar bias-bias senja terakhir yang masih tersisa. Dipandangnya sekeliling, tampak kabut putih itu sudah mulai menipis. Belantara hutan pun mulai terlihat, walau tak begitu jelas, namun pohon-pohon yang tadinya tak terlihat, kini semuanya muncul memenuhi penjuru. Menjulang tinggi silang menyilang ke langit. Ia berada di sebuah tempat yang tak bernama. Tidak diketahui.
Di ujung sana, ada sebuah padang rumput yang tidak begitu luas, rumput-rumput berduri tampak lebih mencolok. Sebelum memasukinya, tampak ada sebatang pohon rindang yang cukup tinggi berdiri di antara padang rumput dan pepohonan. Ranting-rantingnya yang telah mati berceceran di tanah. Ada yang sebesar paha, sebesar betis, dan ada juga yang sukuran kelingking. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa di tempat itu.
Di antara sisa-sisa kabut yang masih menguap, dalam sekilas tampak seorang pria yang duduk setengah jongkok di bawah pohon tersebut. Posisinya agak menyamping dan bersandar. Kala itu, hutan mulai berdengung diisi oleh suara-suara hewan malam. Karae pun lega. Akhirnya, ia berhasil menemukan kembali rombongannya yang hilang.
Ia dekatilah temannya itu sambil mengajaknya berbincang, ia juga menanyakan beberapa hal. Namun, entah mengapa sosok tersebut seakan-akan sengaja untuk tidak menghiraukannya. Ia hanya terdiam di tempat itu dalam posisi duduk, menyamping, tanpa beranjak dan menolehkan mukanya sedikit pun. Mungkin dia ketiduran. Karae hanya menduga-duga.
Karae mulai mendekat untuk memastikan. Semakin dekat ia pada temannya tersebut, entah mengapa pula orang itu terasa semakin asing di matanya. "Apakah benar orang tersebut adalah salah satu dari rombongannya yang tersesat?" Begitulah pertanyaan yang pertamakali muncul.
Karae melangkah perlahan untuk mendekati pria itu, dan kemudian berhenti dalam jarak beberapa meter untuk memastikan keadaan. Rambutnya sebahu, agak kusam dan juga tidak terurus.
Wajahnya tak begitu jelas. Tubuhnya amat kurus, seakan hanya kulitlah yang masih tersisa membalut tulang. "Iya, benar, dia sedang tidur" Karae menggumam.
Namun, ada sebuah kejanggalan yang terlihat. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa duduk di atas ranting pohon mati yang bahkan lebih kecil dari kelingking tanpa sedikitpun mematahkan kayu tersebut?
Owh, sepertinya, orang itu bukanlah salah satu dari rombongannya. Begitu simpul Karae. Lantas, siapakah sosok tersebut?
Mendadak suasana hutan terasa mencekam. Untuk menjawab rasa penasaran yang terus bergejolak, segeralah ia maju sedikit lagi seraya mengarahkan senternya itu ke wajah pria tersebut. Ketika jarak mereka sudah begitu amat dekat, pria misterius itu tiba-tiba menolehkan wajahnya pada Karae.
Merinding. Sontak Karae melompat ke belakang. Mengerikan. Wajah sosok tersebut seperti tengkorak hidup. Hanya menyisakan kulit yang membalut tulang belulang di wajahnya. Pandangannya kosong tanpa ekspresi. Matanya yang tercekung kemerahan semakin membuatnya tampak menakutkan.
Karae benar-benar kaget. Sekujur tubuhnya bergoncang hebat. Jantungnya berdegup di luar kendali, membuat kedua kakinya hampir saja tak kuasa lagi menopang berat tubuhnya berdiri.
Mengerikan. Karae segera mundur ke belakang untuk meninggalkan tempat itu. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya. Makhluk itu terus menatapanya dari depan tanpa beranjak dan berkedip walau sedikitpun. Karae terus menjauh meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan, makhluk misterius itu tampak masih juga menatapnya dengan raut yang sama. Semakin jauh ia melangkah, akhirnya makhluk itupun lenyap di balik kabut dan pepohonan.
Karae terus berjalan menelusuri hutan meninggalkan tempat itu. Pikirannya penuh tanda tanya. Tak lama kemudian, bertemulah ia dengan rombongan nya yang lain. Karae segera menceritakan semuanya. Ia mengajak semua teman-temannya itu untuk kembali melihat makhluk tersebut, namun satu pun di antara mereka tidak ada yang berani. Mereka semua takut dan merinding mendengarkan cerita Karae.
Saat ceritanya menyebar di desa setempat, barulah diketahui, ternyata sekitar beberapa tahun yang lalu ada seorang pria yang hilang di desa tersebut. Sampai sekarang, pria itu belum juga ditemukan.
Apakah sosok itu adalah pria tersebut?
Gimana pendapat kalian?
Comments
Post a Comment