Melawan Kesendirian
Waktu terus berputar-membawa hadir bagi yang tiada dan menenggelamkan bagi yang telah ada. Kadang aku masih tak begitu yakin, tentang di posisi manakah saat ini aku berada? Mungkin saja aku sedang ditenggelamkan oleh sang waktu yang tidak pernah berbalik arah, yang saat ini sedang membawaku pergi menuju ke suatu tempat di dalam ruang ketiadaan.
Entahlah, bagiku semua itu sudah lumrah terjadi di dalam kehidupan ini. Semuanya tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Karena yang tiada pasti akan segera datang, dan yang ada pasti akan segera pergi. Hanya masalah waktu, maka kita semua akan mendapatkan giliran.
Namun, ada sesuatu hal yang sering membuat manusia menjadi resah. Di tengah perputaran waktu ini, ada suatu ruang yang sering membuat kita menjadi takut dan lemah, ruang itu adalah ruangan kesendirian.
Iya, benar, kesendirian.
Kesendirian adalah ; suatu ruangan yang kosong, ruangan yang sunyi, gelap, dan juga mencekam. Di sini seakan-akan tak ada kehidupan, yang ada hanyalah bayangan-bayangan kematian yang selalu melintas. Pada tahap inilah kita semua akan diuji.
Baiklah, kita akan bercerita tentang "Kesendirian."
Beberapa bulan yang lalu, seluruh waktu terasa masih kuat untuk memihak-ku. Matahari masih terlihat anggun dengan fajar dan senjanya di timur dan barat, hari masih begitu cerah, dan malam masih penuh dengan bintang-bintangnya. Pada tahap ini, kehidupan masih terasa begitu berwarna.
Namun semua itu tak berlangsung lama.
Ketika suara nafasnya sudah tak biasa, aku berlari dari atas sajadah putih untuk menggenggam tangannya. Kulihat tubuh kurus itu tengah berjuang untuk mengumpulkan sisa-sisa nafasnya yang hampir habis. Pria tangguh itu masih terbujur di atas ranjang putih.
Tak terkata lagi oleh mulutku yang kecil ini, ketika melihat pria tangguh itu sedang berjuang untuk melawan sang waktu yang ingin membawanya pergi.
Aku tahu bahwa air mata ini ingin segera tumpah untuk meluahkan lukanya, namun entah mengapa hatiku melarang.
Aku masih berada di dalam pelukannya, menggenggam tangannya dengan erat. Menuntunnya dengan kalimat-kalimat yang suci. Aku bahkan masih ingat sewaktu genggaman tangannya yang kuat itu mulai melemah, jari-jemarinya yang gersang mulai terasa dingin, dan pandangan matanya perlahan mulai redup.
Akhirnya, dimalam itu sang waktu berhasil membawa sang Ayah pergi menuju ke suatu tempat yang jauh. Waktu telah menenggelamkannya dari ada menuju ketiadaan. Sang Ayah pergi menyusul sang Ibu yang sudah lama menunggu di gerbang surga. Semoga mereka tenang dan bahagia. Amin.
Semenjak hari itu, seluruh waktu terasa seakan-akan menghimpitku. Matahari seakan kehilangan cahayanya, bintang-bintang seakan menghilang, malam terasa jauh lebih gelap dari pada sebelumnya. Saat itulah, kesendirian mulai menjebakku.
Dalam kesendirian, aku belajar untuk melewati berbagai fase kehidupan dengan penuh senyuman. Namun aku sering terjebak didalam halusinasi yang kosong.
Saat aku terbangun disepertiga malam, seolah pria itu masih bersimpuh di atas sajadahnya melantunkan zikir. Aku masih tak percaya bahwa dia telah pergi meninggalkan rumah dan kamar ini untuk selamanya.
Itulah yang membuatku merasa tak betah lagi untuk tinggal dirumah. Bayangan sosoknya selalu mengusikku di sepanjang malam. Hingga memaksaku untuk mengingat semua kenangan-kenangan tentangnya. Tentang cerita-cerita masa mudanya yang begitu luar biasa. Ayahku adalah seorang lelaki yang benar-benar tangguh.
Itulah yang membuat hatiku resah dan selalu berkata, "aku ingin pergi."
Semenjak kepergiannya, ruangan di rumah ini seakan terasa kosong dan gelap. Bagaimana mungkin aku akan menetap lama di tempat ini? Sedangkan cahayanya telah pergi. Yang ada hanyalah kesunyian yang mencekam.
Tepat satu bulan setelah hari itu, aku memutuskan untuk pindah ke daerah lain dengan alasan untuk belajar bahasa Inggris.
Di tempat itulah aku menemukan sebuah rumah baru yang terang dan hangat. Hingga aku memutuskan untuk tinggal dan menetap di tempat kursus tersebut.
Hari-hariku yang kosong itu ku isi dengan aktifitas belajar. Aku sengaja memaksakan diri untuk mengusir sunyi yang sudah lama berakar di dasar hati. Aku ingin melupakan semuanya.
Di sana aku menemukan keluarga baru, dan aku juga belajar tentang banyak hal. Tentang bagaimana mengatur waktu, tentang berbagi, tentang syukur, dan juga tentang masa depan.
Di sanalah aku mendapatkan semangat baru. Rasa kesendirianku perlahan-lahan mulai lenyap. Waktu tiga bulan yang ku habiskan itu berakhir dengan manis. Syukurlah, aku bisa berbicara dalam bahasa Inggris dengan fasih.
Ketika Tuhan memberimu ujian, maka saat itu Dia juga tengah menyiapkan suatu rencana yang indah untukmu.
Seminggu sebelum aku keluar dari rumah kursus tersebut, Tuhan memberiku sebuah kejutan yang manis.
Seorang direktur dari perusahaan Tour and Travel menawariku sebuah pekerjaan. Beliau menawariku untuk bekerjasama dengan dengan perusahaan tersebut. Beliau menawarkan aku untuk menjadi kameraman of documentary video.
Dengan penuh syukur, aku-pun menerima tawaran tersebut.
Tepat setelah 3 minggu aku keluar dari rumah kursus, aku langsung memulai Training pertamaku di Thailand.
Sekarang, profesiku sebagai seorang Traveler baru saja dimulai.
Di sana, aku melihat berbagai bentuk kehidupan yang unik.
Masyarakat di sana sangat ramah dan baik, namun ketika mendengar mereka berbicara-aku selalu menutup mulut menahan tawa. Bahasa mereka sangat unik dan lucu. Aku bahkan sempat berpikir, bagaimana mungkin lawan bicaranya itu bisa paham dengan perkataan temannya.
Selain itu, rakyat Thailand juga punya tingkat kepatuhan yang tinggi. Mereka sangat menghormati raja mereka. Sehingga hampir di semua papan baliho pembatas jalan-penuh dengan gambar sang raja. Dan yang paling uniknya lagi, hampir di semua kedai-kedai besar maupun kecil semuanya memajang foto raja mereka. Itulah segelumit keunikan budaya yang aku lihat di sana.
Di Thailand, kami membawa hampir 40 orang tamu dari Jakarta. Kami berkunjung ke empat provinsi di Thailand. Di sana, aku benar-benar merasa telah menemukan jalan kehidupanku, yaitu sebagai seorang Video Maker.
Sepulang dari Thailand, kami mampir ke Malaysia selama beberapa hari. Di sana aku menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan kawan-kawan kerjaku dulu yang saat itu masih juga betah berkecamuk di dalam dunia perantauan.
Kami saling berpelukan, berbagi cerita demi cerita. Ternyata dunia perantauan masih juga begitu jauh dari kata senang. Dunia perantauan adalah dunia yang kejam. Itulah pengalaman yang pernah aku rasakan selama dua tahun bekerja di Malaysia di beberapa tahun yang lalu.
Sekitar 10 hari di Malaysia, akhir destinasipun telah tiba, waktunya pulang ke Indonesia.
Pak Direktur sangat puas atas hasil video-video yang telah aku selesaikan. Kontrakku telah di terima. Aku akan dikontrak selama 1 tahun, dan akan segera mulai bekerja di bulan depan.
Waktu terus berlalu. Panggilan sang direktur belum juga tiba.
Setelah sekian lama menunggu, masuklah panggilan. Ternyata yang datang adalah kabar yang tidak baik. Aku sempat kecewa dengan keadaan tersebut.
Dalam panggilan itu, sang direktur meminta maaf kepadaku. Beliau memberitahuku bahwa saat ini sudah tersebar virus yang mematikan di berbagai negara. Semua penerbangan keluar negeri terpaksa di hentikan. Atas kejadian tersebut, mau tidak mau perusahaan tour and travel tersebut akan segera bangkrut. Karena tidak ada lagi pelanggan yang berani keluar untuk berlibur.
Beliau memintaku untuk bersabar selama beberapa bulan ke depan, hingga situasi ini benar-benar aman. Aku-pun setuju dengan saran dari beliau.
Untuk mengisi waktu kosongku yang mulai terasa membosankan, aku menghabiskan waktu untuk menulis. Oh iya, aku lupa memberitahu, bahwa aku ini sebenarnya adalah seorang penulis.
Aku sudah berhasil menulis tiga buku novel, aku juga gemar menulis puisi, menulis cerpen, dan juga menulis lagu.
Namun, sekian lama berkecamuk dalam dunia tulisan, sampailah aku pada titik jenuh.
Rasa sepi dan kesendirian yang pernah hilang itu kini telah datang kembali menjebakku. Aku mulai tenggelam dalam ratapan kehidupan.
Yang paling menyakitkan itu adalah ketika aku ingin bercerita, namun tidak ada yang mendengar. Aku terpaksa memendam semua perasaanku dalam diam. Dan menumpahkannya kedalam bait-bait lagu yang semu.
Untunglah aku masih punya kakakku, dialah yang telah banyak menolongku. Memberiku makan. Suatu hari nanti, aku pasti akan membalas semua kebaikannya kepadaku.
Aku tidak tahan berlama-lama berada di rumah ini, kenangan demi kenangan terhibas kembali. Hingga akhirnya pasti akan berakhir dengan sebuah ratapan. Aku tidak mau lagi berada di rumah ini. Aku harus pergi.
Aku memutuskan untuk bekerja sebagai seorang Barber (tukang pangkas rambut). Di sana aku bekerja dari pagi hingga larut malam.
Disuatu ketika, aku pernah pulang sendirian di tengah malam. Saat itu hujan lebat turun membasahi jalan yang sepi. Gelap, tak ada orang yang terlihat. Hanya aku sendiri. Motorku malah mogok ke habisan bensin.
Kadang saat itu aku merasa sakit, sakitnya menjalani hidup ini dalam kesendirian. Sebatang kara.
Setelah sekian lama aku bekerja disana, namun sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi. Karena aku harus masuk pagi dan pulang larut malam. Selain itu, para pelanggan yang berkunjung juga tidak begitu banyak. Kadang-kadang kosong sama sekali.
Pernah suatu ketika, aku duduk dari pagi hingga larut malam menunggu para pelanggan datang untuk memangkas rambut, namun satu orang-pun tak ada yang datang.
Selain itu, alasan lain yang membuat aku berhenti adalah bos ku. Dia selalu menawarkan aku agar membeli obat dan kacamata anti radiasi yang dia jual. Meskipun aku selalu menolaknya dengan halus, namun beliau masih juga tak mau berhenti menawarkannya padaku.
Padahal aku ini adalah orang sehat, jadi, untuk apa beli obat? Bos saya ini ada-ada saja tingkahnya.
Karena bosan dengan tawaran tersebut, karena kemasukan tidak seberapa, maka akupun memutuskan untuk berhenti kerja disana.
Aku mencari pekerjaan baru.
Kebetulan salah satu temanku adalah seorang sopir, dia mengajakku untuk ikut bersamanya mengantar jemput para penumpang antar kota demi kota. Aku pun setuju, dan mulai bekerja bersamanya.
Kami mulai berangkat setelah maghrib hingga shubuh barulah kami sampai di kota tujuan.
Begitulah pekerjaanku selama 3 minggu belakangan, hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti, karena wabah virus yang mematikan itu sudah menyebar dimana-mana. Bahkan sudah sampai di kota kelahiranku.
Begitulah cerita tentang kesendirian. Kesendirian yang selalu ku jalani di sepanjang malam. Kesendirian seringkali menjebakku dalam ilusi-ilusi yang hitam.
Hingga saat ini, aku masih bertanya, kapankah rumah ini akan kembali berwarna? Kapankah sang fajar dan senja akan kembali indah? Kapankah bintang-bintang akan berseri? Dan kapankah kesendirian ini akan berakhir?
Entahlah, bagiku semua itu sudah lumrah terjadi di dalam kehidupan ini. Semuanya tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Karena yang tiada pasti akan segera datang, dan yang ada pasti akan segera pergi. Hanya masalah waktu, maka kita semua akan mendapatkan giliran.
Namun, ada sesuatu hal yang sering membuat manusia menjadi resah. Di tengah perputaran waktu ini, ada suatu ruang yang sering membuat kita menjadi takut dan lemah, ruang itu adalah ruangan kesendirian.
Iya, benar, kesendirian.
Kesendirian adalah ; suatu ruangan yang kosong, ruangan yang sunyi, gelap, dan juga mencekam. Di sini seakan-akan tak ada kehidupan, yang ada hanyalah bayangan-bayangan kematian yang selalu melintas. Pada tahap inilah kita semua akan diuji.
Baiklah, kita akan bercerita tentang "Kesendirian."
Beberapa bulan yang lalu, seluruh waktu terasa masih kuat untuk memihak-ku. Matahari masih terlihat anggun dengan fajar dan senjanya di timur dan barat, hari masih begitu cerah, dan malam masih penuh dengan bintang-bintangnya. Pada tahap ini, kehidupan masih terasa begitu berwarna.
Namun semua itu tak berlangsung lama.
Ketika suara nafasnya sudah tak biasa, aku berlari dari atas sajadah putih untuk menggenggam tangannya. Kulihat tubuh kurus itu tengah berjuang untuk mengumpulkan sisa-sisa nafasnya yang hampir habis. Pria tangguh itu masih terbujur di atas ranjang putih.
Tak terkata lagi oleh mulutku yang kecil ini, ketika melihat pria tangguh itu sedang berjuang untuk melawan sang waktu yang ingin membawanya pergi.
Aku tahu bahwa air mata ini ingin segera tumpah untuk meluahkan lukanya, namun entah mengapa hatiku melarang.
Aku masih berada di dalam pelukannya, menggenggam tangannya dengan erat. Menuntunnya dengan kalimat-kalimat yang suci. Aku bahkan masih ingat sewaktu genggaman tangannya yang kuat itu mulai melemah, jari-jemarinya yang gersang mulai terasa dingin, dan pandangan matanya perlahan mulai redup.
Akhirnya, dimalam itu sang waktu berhasil membawa sang Ayah pergi menuju ke suatu tempat yang jauh. Waktu telah menenggelamkannya dari ada menuju ketiadaan. Sang Ayah pergi menyusul sang Ibu yang sudah lama menunggu di gerbang surga. Semoga mereka tenang dan bahagia. Amin.
Semenjak hari itu, seluruh waktu terasa seakan-akan menghimpitku. Matahari seakan kehilangan cahayanya, bintang-bintang seakan menghilang, malam terasa jauh lebih gelap dari pada sebelumnya. Saat itulah, kesendirian mulai menjebakku.
Dalam kesendirian, aku belajar untuk melewati berbagai fase kehidupan dengan penuh senyuman. Namun aku sering terjebak didalam halusinasi yang kosong.
Saat aku terbangun disepertiga malam, seolah pria itu masih bersimpuh di atas sajadahnya melantunkan zikir. Aku masih tak percaya bahwa dia telah pergi meninggalkan rumah dan kamar ini untuk selamanya.
Itulah yang membuatku merasa tak betah lagi untuk tinggal dirumah. Bayangan sosoknya selalu mengusikku di sepanjang malam. Hingga memaksaku untuk mengingat semua kenangan-kenangan tentangnya. Tentang cerita-cerita masa mudanya yang begitu luar biasa. Ayahku adalah seorang lelaki yang benar-benar tangguh.
Itulah yang membuat hatiku resah dan selalu berkata, "aku ingin pergi."
Semenjak kepergiannya, ruangan di rumah ini seakan terasa kosong dan gelap. Bagaimana mungkin aku akan menetap lama di tempat ini? Sedangkan cahayanya telah pergi. Yang ada hanyalah kesunyian yang mencekam.
Tepat satu bulan setelah hari itu, aku memutuskan untuk pindah ke daerah lain dengan alasan untuk belajar bahasa Inggris.
Di tempat itulah aku menemukan sebuah rumah baru yang terang dan hangat. Hingga aku memutuskan untuk tinggal dan menetap di tempat kursus tersebut.
Hari-hariku yang kosong itu ku isi dengan aktifitas belajar. Aku sengaja memaksakan diri untuk mengusir sunyi yang sudah lama berakar di dasar hati. Aku ingin melupakan semuanya.
Di sana aku menemukan keluarga baru, dan aku juga belajar tentang banyak hal. Tentang bagaimana mengatur waktu, tentang berbagi, tentang syukur, dan juga tentang masa depan.
Di sanalah aku mendapatkan semangat baru. Rasa kesendirianku perlahan-lahan mulai lenyap. Waktu tiga bulan yang ku habiskan itu berakhir dengan manis. Syukurlah, aku bisa berbicara dalam bahasa Inggris dengan fasih.
Ketika Tuhan memberimu ujian, maka saat itu Dia juga tengah menyiapkan suatu rencana yang indah untukmu.
Seminggu sebelum aku keluar dari rumah kursus tersebut, Tuhan memberiku sebuah kejutan yang manis.
Seorang direktur dari perusahaan Tour and Travel menawariku sebuah pekerjaan. Beliau menawariku untuk bekerjasama dengan dengan perusahaan tersebut. Beliau menawarkan aku untuk menjadi kameraman of documentary video.
Dengan penuh syukur, aku-pun menerima tawaran tersebut.
Tepat setelah 3 minggu aku keluar dari rumah kursus, aku langsung memulai Training pertamaku di Thailand.
Sekarang, profesiku sebagai seorang Traveler baru saja dimulai.
Di sana, aku melihat berbagai bentuk kehidupan yang unik.
Masyarakat di sana sangat ramah dan baik, namun ketika mendengar mereka berbicara-aku selalu menutup mulut menahan tawa. Bahasa mereka sangat unik dan lucu. Aku bahkan sempat berpikir, bagaimana mungkin lawan bicaranya itu bisa paham dengan perkataan temannya.
Selain itu, rakyat Thailand juga punya tingkat kepatuhan yang tinggi. Mereka sangat menghormati raja mereka. Sehingga hampir di semua papan baliho pembatas jalan-penuh dengan gambar sang raja. Dan yang paling uniknya lagi, hampir di semua kedai-kedai besar maupun kecil semuanya memajang foto raja mereka. Itulah segelumit keunikan budaya yang aku lihat di sana.
Di Thailand, kami membawa hampir 40 orang tamu dari Jakarta. Kami berkunjung ke empat provinsi di Thailand. Di sana, aku benar-benar merasa telah menemukan jalan kehidupanku, yaitu sebagai seorang Video Maker.
Sepulang dari Thailand, kami mampir ke Malaysia selama beberapa hari. Di sana aku menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan kawan-kawan kerjaku dulu yang saat itu masih juga betah berkecamuk di dalam dunia perantauan.
Kami saling berpelukan, berbagi cerita demi cerita. Ternyata dunia perantauan masih juga begitu jauh dari kata senang. Dunia perantauan adalah dunia yang kejam. Itulah pengalaman yang pernah aku rasakan selama dua tahun bekerja di Malaysia di beberapa tahun yang lalu.
Sekitar 10 hari di Malaysia, akhir destinasipun telah tiba, waktunya pulang ke Indonesia.
Pak Direktur sangat puas atas hasil video-video yang telah aku selesaikan. Kontrakku telah di terima. Aku akan dikontrak selama 1 tahun, dan akan segera mulai bekerja di bulan depan.
Waktu terus berlalu. Panggilan sang direktur belum juga tiba.
Setelah sekian lama menunggu, masuklah panggilan. Ternyata yang datang adalah kabar yang tidak baik. Aku sempat kecewa dengan keadaan tersebut.
Dalam panggilan itu, sang direktur meminta maaf kepadaku. Beliau memberitahuku bahwa saat ini sudah tersebar virus yang mematikan di berbagai negara. Semua penerbangan keluar negeri terpaksa di hentikan. Atas kejadian tersebut, mau tidak mau perusahaan tour and travel tersebut akan segera bangkrut. Karena tidak ada lagi pelanggan yang berani keluar untuk berlibur.
Beliau memintaku untuk bersabar selama beberapa bulan ke depan, hingga situasi ini benar-benar aman. Aku-pun setuju dengan saran dari beliau.
Untuk mengisi waktu kosongku yang mulai terasa membosankan, aku menghabiskan waktu untuk menulis. Oh iya, aku lupa memberitahu, bahwa aku ini sebenarnya adalah seorang penulis.
Aku sudah berhasil menulis tiga buku novel, aku juga gemar menulis puisi, menulis cerpen, dan juga menulis lagu.
Namun, sekian lama berkecamuk dalam dunia tulisan, sampailah aku pada titik jenuh.
Rasa sepi dan kesendirian yang pernah hilang itu kini telah datang kembali menjebakku. Aku mulai tenggelam dalam ratapan kehidupan.
Yang paling menyakitkan itu adalah ketika aku ingin bercerita, namun tidak ada yang mendengar. Aku terpaksa memendam semua perasaanku dalam diam. Dan menumpahkannya kedalam bait-bait lagu yang semu.
Untunglah aku masih punya kakakku, dialah yang telah banyak menolongku. Memberiku makan. Suatu hari nanti, aku pasti akan membalas semua kebaikannya kepadaku.
Aku tidak tahan berlama-lama berada di rumah ini, kenangan demi kenangan terhibas kembali. Hingga akhirnya pasti akan berakhir dengan sebuah ratapan. Aku tidak mau lagi berada di rumah ini. Aku harus pergi.
Aku memutuskan untuk bekerja sebagai seorang Barber (tukang pangkas rambut). Di sana aku bekerja dari pagi hingga larut malam.
Disuatu ketika, aku pernah pulang sendirian di tengah malam. Saat itu hujan lebat turun membasahi jalan yang sepi. Gelap, tak ada orang yang terlihat. Hanya aku sendiri. Motorku malah mogok ke habisan bensin.
Kadang saat itu aku merasa sakit, sakitnya menjalani hidup ini dalam kesendirian. Sebatang kara.
Setelah sekian lama aku bekerja disana, namun sepertinya aku sudah tidak sanggup lagi. Karena aku harus masuk pagi dan pulang larut malam. Selain itu, para pelanggan yang berkunjung juga tidak begitu banyak. Kadang-kadang kosong sama sekali.
Pernah suatu ketika, aku duduk dari pagi hingga larut malam menunggu para pelanggan datang untuk memangkas rambut, namun satu orang-pun tak ada yang datang.
Selain itu, alasan lain yang membuat aku berhenti adalah bos ku. Dia selalu menawarkan aku agar membeli obat dan kacamata anti radiasi yang dia jual. Meskipun aku selalu menolaknya dengan halus, namun beliau masih juga tak mau berhenti menawarkannya padaku.
Padahal aku ini adalah orang sehat, jadi, untuk apa beli obat? Bos saya ini ada-ada saja tingkahnya.
Karena bosan dengan tawaran tersebut, karena kemasukan tidak seberapa, maka akupun memutuskan untuk berhenti kerja disana.
Aku mencari pekerjaan baru.
Kebetulan salah satu temanku adalah seorang sopir, dia mengajakku untuk ikut bersamanya mengantar jemput para penumpang antar kota demi kota. Aku pun setuju, dan mulai bekerja bersamanya.
Kami mulai berangkat setelah maghrib hingga shubuh barulah kami sampai di kota tujuan.
Begitulah pekerjaanku selama 3 minggu belakangan, hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti, karena wabah virus yang mematikan itu sudah menyebar dimana-mana. Bahkan sudah sampai di kota kelahiranku.
Begitulah cerita tentang kesendirian. Kesendirian yang selalu ku jalani di sepanjang malam. Kesendirian seringkali menjebakku dalam ilusi-ilusi yang hitam.
Hingga saat ini, aku masih bertanya, kapankah rumah ini akan kembali berwarna? Kapankah sang fajar dan senja akan kembali indah? Kapankah bintang-bintang akan berseri? Dan kapankah kesendirian ini akan berakhir?
Comments
Post a Comment