Cinta dalam doa

Bagian ke 2 (dua).

****

Senja hampir lenyap di permukaan langit barat. Menyisakan goresan-goresan jingga yang bergaris-bergaris.

Fadli mendorong kopernya. Berjalan pelan melewati tiang-tiang bangunan bendara. Dia hampir sampai di gerbang keluar.

Seseorang telah menunggu. Masih seperti dulu, dengan raut senyuman yang sama. Tanpa perubahan sedikitpun. Itulah ayahnya.

Fadli langsung memeluk erat tubuh ayahnya tersebut. Mereka bergegas pulang.

Tiga hari kemudian.

Fadli memberanikan diri untuk datang kerumah Anna. Untuk mengutarakan niat sucinya itu. Niat yang sudah sekian lamanya ia tunda. Yaitu melamar Anna.

Akan tetapi ada yang aneh. Rumah tersebut dipagari oleh tali segel. Di depan gerbang masuk tertulis di papan kecil
"Rumah ini disita".

Bukan main kagetnya Fadli melihat hal tersebut. Ia bahkan sampai memanjat pagar rumah tersebut. Lalu kemudian memeriksa seluruh halaman sambil berteriak. Namun tidak ada sahutan yang menjawab nya.

Seorang satpam datang menemui Fadli.

"Nyari siapa, mas?" Tanya satpam itu dengan sopan.

"Kemanakah pemilik rumah ini pergi? Kenapa rumah ini kosong?" Fadli bertanya penuh selidik kepada satpam.

"Mereka sudah pergi tiga tahun yang lalu. Mereka terjerat hutan yang melimpah ruah di bank. Pemilik rumah ini mengalami kerugian besar atas bangkrutnya perusahaan sawit yang mereka miliki. Ia terpaksa memberikan rumah ini kepada pihak bank untuk melunasi hutang-hutang nya yang menggunung" Begitulah terang satpam tersebut.

Hingga membuat Fadli menjadi semakin khawatir. Kaget. Panik.

"Apakah bapak tahu kemanakah mereka pergi? Tolong bantu saya untuk menemukan mereka, pak" Fadli memohon kepada bapak tersebut. Hingga membuat bapak satpam itu menjadi turut bersimpati melihatnya.

"Tunggu sebentar, ya. Saya telepon bos saya dulu buat nanyain alamat mereka, barangkali saja bos saya tahu alamatnya" Satpam tersebut berusaha untuk meyakinkan dan nenenangkan Fadli.

"Tunggu sebentar" Ujar satpam tersebut kepada Fadli. Fadli pun mengangguk mendengarnya. Satpam tersebut berlalu sedikit menjauhkan diri. Dia sedang berbicara dengan bos nya.

Kemudian mengeluarkan pena. Satpam tersebut nampak sibuk mengukir telapak tangan nya dengan pena tersebut. Sementara Fadli hanya meliriknya penuh harap.

"Ini alamat mereka, mas" Satpam tersebut memperlihatkan telapak tangan nya. Fadli langsung menilik dan kemudian memotretnya dengan ponsel genggam ditangan nya.

"Ini buat, bapak" Fadli memberikan uang 100 ribu kepada satpam tersebut. Ia langsung berlalu pergi memasuki mobilnya. Belum sempat bapak tersebut mengucapkan terimakasih. Fadli sudah melesat. Hilang di jalanan.

Kepalanya sibuk menoleh sana-sini mencari nama jalan yang tertera di ponselnya tersebut.

Beberapa kali ia berhenti di persimpangan jalan untuk menanyakan alamat tersebut kapada warga yang sedang nongkrong di warung-warung.

Cukup lama ia berkeliling. Berputar-putar di jalanan. Hingga akhirnya diapun teringat dengan sesuatu.

Ia langsung membuka google earht. Kemudian mengetik nama jalan tersebut. Alamat tersebut. Dan akhirnya diapun tersenyum lebar. Ia berhasil menemukan alamat nya.

Alamat tersebut sedikit terpencil. Berada di daerah yang sedikit sepi. Jarak rumah tersebut dengan pemukiman umum berkisar sekitar 500 meter. Tidak terlalu banyak rumah yang ada di sekitarnya. Hanya satu dua dan tiga.

Fadli menghentikan mobilnya itu tepat di depan halaman sebuah rumah yang berwarna coklat. Ukuran rumah tersebut tidak terlalu besar. Terkesan sederhana. Hanya satu lantai.

Fadli turun dari mobilnya. Kemudian berjalan pelan menuju pintu rumah tersebut yang nampak tertutup rapat.

"Assalaamuaalaikum" Fadli mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak ada suara yang menyahutinya. Fadli mengintip di balik celah jendela yang terhalang oleh tirai putih. Rumah terlihat dan terkesan hening.

"Maaf, anda sedang mencari siapa?" Tiba-tiba suara itu muncul dari belakang. Sontak Fadli langsung menoleh.

Seorang wanita cantik berdiri dengan sepedanya. Wanita tersebut menyandang sebuah tas kecil. Dikantong sepeda depan nya terdapat banyak jenis buku.

"Anna! Kamu Anna, kan?" Fadli kaget sambil berteriak menebak.

"Fadli, kan?" Tanya Anna penuh selidik.

Mereka duduk di halaman depan rumah. Dibawah pohon. Di salah satu kursi kayu panjang yang melintang. Mereka saling berbagi cerita.

Fadli masih seperti dulu. Masih menjadi seorang lelaki yang pemalu. Sering salah tingkah. Akan tetapi senyuman dan raut mukanya masih terlihat awet. Meskipun enam tahun telah berlalu, raut wajah keduanya masih terlihat seanggun dan setampan waktu pertama kali rasa itu terbit di dalam hati mereka.

Hanya saja tubuh Anna sudah kontak. Kini ia sudah terlihat agak kurus. Akan tetapi hal tersebut tidak membuat Fadli merasa aneh. Baginya Anna yang sekarang adalah Anna yang dahulu.

"Udah selesai kuliahnya?" Ana membuka pertanyaan. Kali ini Anna sudah terlihat lebih dewasa. Tidak ada lagi raut gugup yang membentang di wajahnya.

"Alkhamdulillah. Semuanya telah selesai. Kalo kamu? Gimana kuliahnya, Anna?" Tanya Fadli kembali bertanya. Kali ini Fadli sudah berhasil mengontrol hatinya. Tidak ada lagi raut muka canggung seperti waktu pertama tadi mereka bertemu.

"Hm, aku tidak seberuntung kamu, Fadli" Pandangan mata Anna terlihat berat menatap jauh langit yang biru di angkasa. Meskipun ia tersenyum, akan tetapi Fadli tahu bahwa senyuman itu adalah senyuman palsu.

"Maksud kamu gimana, Anna?" Tanya Fadli penuh selidik.

Anna terdiam sejenak. Tiba-tiba air matanya mengalir. Butiran nya berjatuhan lembut membungkus wajah putihnya. Akan tetapi dia adalah sosok wanita yang kuat. Dia masih bisa tersenyum menatap Fadli. Tanpa beban.

Namun, senyuman itu tak bisa di palsukan. Fadli tahu bahwa kondisi hati Anna pada saat itu sedang dilanda oleh kabut yang tebal. Ia segera mengusap air mata Anna.

"Ada apa? Ayo ceritakan semuanya, Anna. Aku adalah teman mu" Fadli mengusap air mata Anna yang mengalir deras bagai sungai.

Anna mulai bercerita;

" Dulu, tiga tahun semenjak kepergianmu ke Yaman. Aku berhenti kuliah. Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan demi membantu orangtuaku yang sedang dilanda oleh musibah. Perusahaan sawit milik ayahku bangkrut.

Ayahku dililiti oleh hutang yang banyak. Hingga membuat pabrik tersebut terjual untuk menutupi hutangnya. Akan tetapi semua itu masih belum cukup. Ayahku bahkan sampai terpaksa menjual rumah kami. Dan kami pun memutuskan untuk pindah kerumah ini. Ini adalah rumah kontrakan.

Kini, ayahku sudah tiada lagi. Beliau meninggal akibat struk yang di deritanya. Sedangkan ibuku berada di RSJ. Jiwanya terpukul hebat setelah kematian ayahku.

Kini aku tinggal bersama adik ku. Dia masih duduk di bangku kelas dua SMA. Aku berkerja di sebuah perpustakaan untuk membiayai sekolah adik ku dan juga biaya kontrakan rumah ini".

Fadli langsung memeluk erat tubuh Anna. Dia mengusap air mata yang mengalir di celah pipi wanita tersebut.

"Anna, ini adalah sebuah cobaan untukmu. Allah tidak akan membebani hambanya sesuai dengan batas kemampuan nya. Kau adalah wanita yang kuat, Anna" Air mata Fadli berjatuhan. Ia terharu.

Ia sedih. Sedih karena melihat wanita pujaan hatinya itu tenggelam didalam derita kehidupan yang berkepanjangan.

Keduanya saling mendekap. Mendekap penuh keluh dan kesah. Semuanya terasa damai. Semua beban Anna seakan leyap di pangkuan Fadli.

Anna sudah kembali tenang. Ia segera melepaskan pelukan Fadli yang sedang merengkuh tubuhnya.

Ia salah tingkah. Malu dan gugup. Malu karena tidak sadar baru saja melakukan sesuatu hal keji di dalam agama islam.

Dia beristighfar beberapa kali. Begitupun dengan Fadli. Mereka sama-sama malu.

Mereka saling berdiam diri. Kehabisan kata-kata seperti dulu saat mereka berada di dalam sebuah ruangan yang putih di ruamah sakit.

Fadli terlebih dahulu mengembalikan suasana.

"Anna, dimana suami, mu?" Fadli memberanikan diri untuk bertanya.

"Hah, suami? Haha" Anna terkekeh. Merasa ada yang lucu dengan pertanyaan tersebut. Sementara Fadli masih membuka matanya. Penasaran dengan tawa Anna tersebut.

"Aku masih lajang, Fadli. Mana ada lelaki yang mau kepadaku. Aku sudah tidak seperti yang dulu lagi" Anna tersenyum kepada Fadli.

"Istri kamu dimana? Udah berapa anaknya?" Tanya Anna penuh selidik kepada Fadli. Senyuman manis selalu menghiasi tiap ujung kalimat yang ia ucapkan.

Fadli tersenyum mendengar pertanyaan tersebut.

"Aku udah punya dua bayi. Mereka kembar. Satunya laki-laki, dan satunya perempuan. Namanya Raihan dan Raihanah" Fadli menerangkan kepada Anna.

"Owh, ya? Pasti bayinya cantik seperti ayah dan ibunya, kan? " Anna tersenyum bahagia mendengar berita tersebut.

"Tapi, sayangnya ibu mereka belum ada" Fadli memiringkan bibirnya. Terlihat seperti raut wajah orang yang dilanda kesedihan.

"Maksud kamu?" Tanya Anna penuh selidik.

"Iya, ibu mereka belum ada sampai pada detik ini. Karena aku juga masih lajang, Anna, haha" Fadli terkekeh di ujung kalimat. Sehingga membuat Anna menjadi kesal. Ia mencubit Fadli dengan keras. Hingga membuat Fadli menjerit kesakitan.

"Anna, cukup, cukup. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, boleh gak?" Fadli menatap wajah Anna dengan penuh keseriusan manja. Tanpa senyuman. Tanpa canggung dan malu lagi.

"Mau nanya apa? Silahkan" Anna masih tersenyum manis. Masih memendam sedikit rasa kesal dihatinya.

"Maukah kamu menjadi seorang ibu untuk Raihan dan Raihanah?" Fadli serius mengungkapkan isi hatinya.

"Maksud kamu?" Anna masih sedikit kebingungan. Tersenyum salah tingkah.

"Maukah kamu menjadi istriku, Anna?" Fadli terdiam sembari menatap bola mata Anna. Begitupun Anna. Sontak terdiam kecut setelah mendengarkan pertanyaan tersebut.

Raut wajah riangnya langsung berubah seketika. Seperti langit cerah yang tertutup awan mendung. Menghitam. Hampir hujan.

"Aku tidak pantas untukmu, Fadli. Aku tidak seperti Anna yang dulu lagi" Anna membendung air matanya.

"Anna. Bagaimanapun keadaan mu, bagiku kau masih terlihat seperti Anna yang dulu. Kau adalah wanita pertama yang menyentuhku"

"Anna, aku mencintaimu. Maukah kau menjadi istriku? Menjadi seorang ibu yang baik untuk anak-anak ku kelak. Dan menjadi seorang bidadari dunia dan akhiratku. Aku mohon, terimalah lamaranku, Anna" Fadli menggenggam jemari Anna.

Anna menangis. Menagis terharu. Ia tidak menyangka lelaki yang pernah ia dambakan dari dahulu, yang pernah hadir kedalam hidupnya, dan yang pernah menghilang ke ujung dunia itu, akan kembali datang menemuinya.

Kini, lelaki tersebut datang untuk meminangnya.

Anna menarik nafas dalam. Jantungnya berdegup kencang seakan tak sanggup lagi menahan rasa bahagia yang belum pernah ia rasakan seumur hidup.

"Lamaran anda, diterima" Suara Anna hampir tak terdengar di ujung kalimat. Tersendat oleh isak tangisnya yang begitu dahsyat.

Air mata haru Fadli langsung jatuh. Ia terharu.

Pada saat itu, pelangi seakan tumbuh di mana-mana. Salju seakan turun mengguyur bumi. Bunga-bunga seakan bermekaran di taman hatinya.

Enam hari kemudian, Anna dan Fadli sudah resmi menjadi pasangan yang sah dan halal. Mereka di restui oleh kedua orangtua Fadli.

"Abang, sejak kapankah abang mulai mencintaiku?" Tanya Anna sebelum tidur.

"Semenjak ruh ku ini di ciptakan, dan semenjak tubuhmu itu di bentuk dari tulang rusuk ku" Fadli mengecup dahi istrinya.

Anna tersentuh bahagia. Membuat butiran air mata haru birunya berguguran lembut. Mereka tertidur didalam satu pelukan.

Anna dan Fadli hidup bahagia.

Kebahagiaan itu semakin memuncak setelah mereka mendapatkan dua bayi kembar. Raihan dan Raihanah.

Tenyata benar. Allah tidak akan pernah membebani seorang hambanya diatas kemampuanya.

Jika hidupmu sempit, maka bedoa dan bersabarlah.

Kebahagiaan akan senantiasa muncul ketika dua hal tersebut sudah kita lakukan.

Tetaplah menjadi hamba Nya yang patuh dan taat. Karena yang mengendalikan tampuk kehidupan ini, adalah Dia yang maha kuasa.

Baca bagian pertama

Cerita lainnya


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

ISIM MUFRAD, MUTSANNA, DAN JAMAK

TERNYATA KEBERADAAN TEMBOK YA'JUJ WA MA'JUJ ADA DI....

Kisah pertarungan burung srigunting vs elang siraja udara