Cinta dalam doa

Bagian 1 ( pertama).

****

Minggu lalu, adalah hari terakhir Fadli berada di kampus nya. Ia berhasil mendapatkan toga sarjana S3 yang sudah lama ia impikan.

Kini saatnya ia mengemas barang, membulatkan hati untuk segera beranjak menuju negeri asalnya. Nusantara Indonesia.

Sebenarnya, separuh hatinya itu masih berat untuk meninggalkan negeri yang manis ini. Yaman. Karena ada seuntai perasaan yang mengusik relung hatinya. Sebaris kata cinta yang terpaksa ia tunda beberapa tahun lamanya.

Bersulang resah dan berselimutkan rindu. Antara bahagia dan malu. Malu untuk mengungkapkan kata-kata suci itu kepada Anna.

Belum pasti, apakah Anna masih utuh menjaga bahasa hati yang selalu Fadli tebarkan padanya delapan tahun yang lalu. Sewaktu mereka masih duduk di bangku kampus yang sama. Universitas Jambi.

Fadli dan Anna adalah dua karakter yang mirip. Sama-sama pendiam. Tapi sebenarnya amat cerewek setelah akrab, dan juga romantis.

Sabtu tanggal 5 september enam tahun yang lalu, itulah hari terakhir mereka saling beradu tatap dari kejauhan.

Anna adalah sosok wanita yang sholehah. Kemanapun ia pergi, hijab panjang selalu membungkus wajahnya yang anggun. Tidak jarang pula membuat banyak pria yang menjadi mabuk kepayang dibuatnya.

Sewaktu pertama kali mereka bertemu sembilan tahun yang lalu, Anna dan Fadli saling merunduk menyembunyikan wajah. Ada getaran hebat yang membuat keduanya tertunduk sayu. Bertasbih memuja Tuhan yang agung. Terkagum betapa indahnya ciptaan yang maha kuasa.

Itulah cinta yang telah di karuniakan oleh Allah kedalam jiwa Adam dan Hawa. Menyatukan hati mereka. Membuat keduanya saling menyayangi. Hingga dapat bertahan hidup meskipun berpisah selama puluhan tahun di bumi. Cinta lah yang kembali mempertemukan mereka.

Rasa suci itulah yang kemudian tumbuh dan bersemi kedalam darah daging mereka. Anak cucu mereka. Seperti mana yang di rasakan oleh Anna dan Fadli. Mereka jatuh cinta pada pandangan pertama.

Anna adalah wanita yang paling berseri di lokalnya. Di samping memiliki wajah yang cantik dan pintar, ternyata Anna adalah sosok wanita yang pemalu. Yang belum pernah bersalaman dengan pria manapun kecuali muhrimnya.

Setiap kali di goda oleh pria-pria tampan di kampus, ia selalu memalingkan wajah.

Akan tetapi berbeda halnya dengan Fadli, Anna justru sering terciduk sedang mencuri pandang ke wajah Fadli. Begitupun sebaliknya dengan Fadli.

Ada seberkas kenangan yang tak bisa mereka lupakan

Pernah disuatu ketika, hujan lebat turun mengguyur halaman kampus. Membuat semua mahasiswa memilih untuk diam. Diam sambil menikmati jutaan butir hujan yang menerjang dedaunan. Menggenangi tanah dan rumput. Hujan selalu dapat membius mata. Membuat halusinasi dapat tumbuh pesat di dalam otak.

Akan tetapi Fadli tidak hanyut didalam halusinasi sebagaimana teman-teman nya yang lain. Ia terpaksa pulang. Pulang karena ada sesuatu hal mendadak yang mengusik hatinya. Ada telepon dari ayahnya, bahwa adik nya Sarah mengalami kecelakaan.

Fadli bergegas bertolak. Ia mengendarai sebuah motor lengkap dengan mantel dan juga helmnya.

Jutaan butir hujan terus menerjang kepala dan tubuhnya, menimbulkan suara berisik yang tidak nyaman di telinga. Namun Fadli masih teguh menggenggam tali pacu gas  motornya. Melesat di jalanan. Membelah aspal yang berwarna hitam.

Bengkolan demi bengkolan ia lalui. Hingga akhirnya dia tersentak kaget, dan akhirnya memilih untuk menepikan motornya di tengah jalan.

Bukan karena lebatnya hujan yang menghalangi laju jalannya, akan tetapi ada sesuatu hal yang bahkan jauh lebih dahsyat dari pada lebatnya hujan di siang itu.

Ada seorang wanita yang terkapar di aspal. Dia pingsan. Darah merah nampak bercampur aduk dengan air. Memerah kan aspal yang berwarna hitam. Dan memerahkan hijab putih yang panjang meliliti wajah dan tubuh wanita tersebut.

Fadli langsung meraung. Berteriak keras untuk meminta bantuan. Namun sayang nya tak ada yang mendengar. Tak ada yang lewat. Sepertinya para tuan dari kendaraan-kendaraan lebih banyak yang memilih untuk menepi sejenak. Menunggu langit berhenti menangis.

Fadli panik. Ia segera memapah tubuh wanita tersebut ke atas motornya. Ia sudah tidak punya pilihan lain. Ia terpaksa membuka hijab panjang wanita tersebut untuk dijadikan sebagai tali pengikatnya agar wanita tersebut tidak jatuh di posisi belakang motornya.

Pada saat itulah ia menjerit. Jutaan butir hujan yang masih berjatuhan dari langit seakan turut berhenti. Berhenti karena kaget. Ternyata wanita tersebut adalah Anna Salsabilah. Wanita yang selalu membuat bibirnya bertasbih di sepertiga malam. Wanita yang semakin membuatnya dekat dengan tuhan nya.

Fadli menboncengkan Anna di belakang. Lalu mengikatnya erat dengan kain suci yang bersimbah darah dengan tubuhnya. Fadli melesat kencang di atas jalanan. Tanpa mantel dan helm yang membungkus tubuh dan kepalanya.

Kurang dari dua puluh menit, ia pun sampai di rumah sakit.

Para perawat segera berhamburan. Ikut membantu Fadli untuk membawakan Anna menuju sebuah ruangan. Ruangan yang membuat langkah kaki Fadli tertahan di gerbang nya. Para Dokter tidak memperbolehkan Fadli untuk ikut masuk. Karena Anna akan segera ditangani dengan cepat.

Fadli gelisah di luar. Baju kemeja putihnya itu bersimbah darah. Bersimbah merah oleh darah seorang wanita yang selama ini selalu ia ceritakan kepada tuhan dalam syair-syair doa sholatnya. Sakin gelisahnya, ia bahkan sampai lupa bahwa ternyata adiknya tersebut juga berada di rumah sakit itu.

Fadli segera beranjak mencari kamar 025. Itulah nomor ruangan tempat di mana adiknya Sarah di rawat. Tidak butuh waktu lama, ia sudah berhasil menemukan nya.

Fadli langsung masuk tanpa permisi. Membuat ibu dan ayahnya menjadi kaget separuh bingung. Bingung karena melihat baju anaknya tersebut basah kuyup dan berwarna merah.

"Fad, kamu gak papa, kan?" Ibunya menyipitkan mata sambil membenahi hijabnya. Sementara ayahnya mengerutkan dahi, heran. Bersiap-siap untuk menunggu jawaban dari putra sulung nya tersrbut.

"Ia, umi, abi. Fadli gak papa. Tadi Fadli habis nolongin teman Fadli yang juga kecelakaan di jalan" Fadli berkata datar. Tanpa ekspresi.

"Apakah temanmu itu baik-baik saja?" Ibunya kembali bertanya penuh selidik.

"Iya, dia baik-baik saja, bu. Sarah gimana? Apakah dia udah siuman?" Fadli sedikit cemas.

"Udah, dia gak pingsan, kok. Hanya luka ringan di kedua belah kaki dan lengan nya" Ujar ayahnya sedikit menenangkan Fadli. Fadli membuang nafasnya. Sepertinya dia ikut merasa lega.

Jarum jam berputar-putar di dinding. Fadli telah mengganti bajunya. Ia sudah selesai melaksanakan sholat. Ia juga sudah menelepon polisi untuk melaporkan kejadian tersebut. Tentang kasus tabrak lari. Dan polisi pun juga sudah merespon nya. Motor Anna pun juga sudah di amankan di kantor polisi.

Ia duduk di bangku kamar adiknya bersama ibu dan sang ayah.

"Saudara Fadli, benarkah anda yang telah membawa pasien yang bernama Anna Salsabilah kerumah sakit ini?" Tanya seorang suster dengan suara yang lembut di gerbang pintu.

"Iya, kak. Saya orang nya" Fadli bangun dari kursi duduk.

"Anda di panggil oleh Dokter Nasir di depan" Ujar suster tersebut sambil berlalu pergi.

Fadli pun langsung mengekorinya dari belakang.

"Nak Fadli, pasien yang bernama Anna salsabilah ingin bertemu dengan anda, sekarang" Ujar Dokter Nasir padanya.

"Oh, ya Dok. Saya lagi menunggu keluarganya datang, karena saya bukan siapa-siapa nya dia" Fadli malu untuk menemui Anna.

"Tapi Fadli kenal Anna, kan?" Tanya dokter lagi penuh selidik.

"Iya, saya mengenalnya. Dia adalah teman selokal saya di kampus" Jawab Fadli menerangkan.

"Nah, itukan. Gak apa-apa, Fadli. Kau kan teman nya. Hanya kau satu-satunya orang yang dia kenal di sini. Ayo temani dia sekarang, kasihan Anna sendirian di dalam. Mana tahu nanti dia mau minum, makan, atau apalah. Kalau kau berada disana, setidaknya kau bisa membantu dia, kan?" Dokter Nasir terus mendesak Fadli.

"Iya, dok. Saya akan menemuinya" Ujar Fadli sambil menyemburkan nafas dari mulutnya. Tidak enak hati sama Dokter Nasir. Ia terpaksa menemui Anna. Seorang wanita yang belum pernah ia ajak bicara semenjak pertama kali ia mengenalnya. Yaitu sejak hari pertama masuk semester satu di kampus.

Sampai pada detik itu, semester lima. Ia memberanikan diri untuk menemui Anna. Wanita pertama yang berduaan dengan nya. Berduaan didalam sebuah ruangan yang senyap dan putih. Diruangan rumah sakit itulah mereka pertama kali ngobrol.

"Bagaimana kondisimu, Anna? Apakah sudah mulai baik?" Fadli sedikit gugup menyapanya.

"Alkhamdulillah, luka-luka nya tidak terlalu parah. Aku sudah merasa sedikit lebih baik" Anna memaksakan dirinya seramah mungkin kepada Fadli.

Sebenarnya dia sangat malu dan gugup. Jantungnya naik turun ketika pertama kali melihat Fadli datang memasuki ruangan. Antara gugup dan senang. Gugup karena malu. Dan senang karena cinta.

"Fadli, terimakasih ya kau telah menyelamatkanku" Anna berusaha untuk mengembangkan bibirnya. Menebarkan senyuman termanis.

"Oh ya, sama-sama Anna" Jawab Fadli dengan penuh senyum pula. Padahal dia hampir saja salah tingkah. Karena rasa gugup dan bahagia bercampur aduk membungkus hatinya dalam satu waktu yang bersamaan.

Ruangan kamar nomor 034 hening dan senyap. Fadli dan Anna kehabisan kata-kata untuk menjadi bahan obrolan mereka. Seraut muka mereka terlihat berkalut. Mereka gugup dan salah tingkah. Tidak tahu lagi harus membicarakan apa.

Anna memecah keheningan.

"Fadli. Tahukah kau? Selama ini aku belum pernah berbicara dan berduaaan dengan pria manapun?

"Aku bingung. Entah mengapa hari ini aku menjadi begitu berani berduaan dan mengobrol dengan mu. Kau adalah lelaki pertama yang membuka kerudungku. Kau juga adalah seorang lelaki yang ku ajak bercerita, berduaan di dalam sebuah ruangan yang seukuran 5 kali 6 meter ini" Anna memberanikan diri untuk menatap mata Fadli. Sementara Fadli menjadi salah tingkah.

"Kenapa kau diam seperti itu, Fadli, haha" Anna pura-pura terkekeh. Dia sedang berusaha untuk mengembalikan suasana di ruangan 034 yang mulai tegang. Yang mulai berkalut oleh dua rasa yang bertempur hebat. Gugup dan bahagia.

"Anna. Kita sama" Fadli mendinginkan ruangan.

"Maksudmu??" Tanya Anna penuh selidik.

"Kau adalah wanita pertama yang berduaan denganku. Beecerita dan bercanda ria. Kau juga adalah seorang wanita yang pertama kali ku sentuh" Fadli mengarahkan tatapan matanya ke langit-langit ruangan.

"Maafkan aku atas lancangnya menyentuhmu" Fadli merasa bersalah atas perbuatan nya.

"Tidak apa-apa. Itukan kondisi terdesak. Gak dosa, kok" Anna tersenyum tipis menenangkan Fadli yang sedikit salah tingkah.

Dia masih kaku dan tidak berani untuk beradu tatap dengan Anna seorang wanita yang beralis mata melengkung. Paras wajahnya itu seperti campuran arab melayu. Behidung mancung dan berbibir ranum.

Keduanya kembali terdiam. Sambil membendung senyuman tipis yang hampir terbit.

"Aku harap, kau adalah orang pertama dan terakhir" Anna tersenyum menatap wajah Fadli yang masih berpaling sok cuek. Menyembunyikan rasa bahagianya.

Itulah pertama kali jantungnya berdenyup kencang. Seakan turut menari anggun mengikuti irama getaran cinta yang mulai mengalir.

Fadli memberanikan diri menatap wajah Anna. Menatap wajah seorang wanita yang kini sedang mentapanya. Dan akhirnya, empat bola mata yang sayu itu-pun berhasil bergandengan dengan pasangan nya. Sampai tidak sadar, cairan bening membelah pipi mereka.

Air mata cinta. Mengalir lembut karena sudah tidak sanggup lagi menutupi dasar hati mereka yang penuh warna. Pada saat itu, pelangi seakan tumbuh di mana-mana.

Hati mereka bersatu dalam satu rasa yang indah. Seperti dua tangan yang di kontrol oleh otak. Mereka saling memahami bahasa hati, meskipun tanpa ungkapan suci yang keluar dari mulut mereka. Mereka saling memahami. Mereka saling mencintai.

"Anna, apakah kau baik-baik saja?" Tanya suara itu bernada panik. Di temani suara tapak sepatu yang berlari mendekat dan menghantam lantai batu musik yang keras.

Keduanya tersadar kembali dari lamunan yang panjang. Segera mereka usap air mata yang masih meraja lela di pipi. Keduanya panik. Panik seperti pencuri yang sedang terciduk.

"Iya, ma. Anna baik-baik saja, kok" Ujar Anna mencoba untuk menyembunyikan keadaan. Suaranya terdengar gugup menjawab.

"Syukurlah. Ibu sampai teriak-teriak memaki tukang ojek yang lambat di jalan. Ibu sangat menghawatirkan mu, Anna" Ibunya memeluk tubuh Anna dengan erat. Tidak lama kemudian datang pula ayahnya.

Mereka terlihat lega. Lega karena melihat putri sulung mereka itu masih terlihat ceria seperti biasa.

" Siapa ini, Ann?"  Tanya ibu Anna penuh selidik.

"Ini Fadli, ma. Dialah orang yang membawa Anna kerumah sakit. Dia juga teman satu lokal Anna di kampus" Terang Anna kepada ibunya.

"Owh, ya. Ibu ingat. Fadli yang sering Anna ceritain sama mama itu, ya?" Wajah Ibu Anna terlihat mengembang. Sementara Anna menjadi kecut tersipu malu.

"Ya ampun, Fadli. Kamu tampan sekali. Anna sering menceritakan kamu sama ibuk. Dia bilang kamu anaknya pendiam dan baik. Kamu juga tampan, Fadli" Ibu Anna tersenyum bahagia memuji Fadli. Sehingga membuat Fadli semakin menjadi salah tingkah. Tersipu malu menahan pujian yang terlalu berlebihan.

"Anna sering menceritakanku sama ibuk? Emangnya dia bilang apa, buk?" Tanya Fadli dengan raut muka serius.

Mendengar pertanyaan tersebut, sehingga membuat Anna menjadi semakin malu. Dia kesal kepada ibunya sendiri karena telah membocorkan rahasia terbesar di dalam hidupnya.

"Anna bilang, dia suka sama nak Fadli" Ibu Anna mencolek Anna.

"Bukan, bukan. Mama ku bohong, Fadli. Jangan percaya, mamaku bercanda" Anna memprotes dengan raut muka merah.

"Jika benar, tidak masalah, kok" Fadli tersenyum kepada Anna. Sehingga membuat Anna menjadi semakin tersudutkan. Ia malu. Malu karena rahasia terbesarnya sudah rerbongkar habis oleh ibunya sendiri.

Semenjak momen hujan di siang itu, sampai pada bulan september enam tahun yang lalu, Anna dan Fadli sering beradu tatap dan senyum sendiri. Saling memendam perasaan yang sama, akan tetapi ragu untuk meluahkan semuanya.

Mereka merajut cinta dalam do'a. Bertasbih kepada tuhan dan saling mendoa'kan.

Sampai pada detik ini, Fadli masih ingat. Ingat akan ungkapan kata terakhirnya di Jambi pada waktu itu.

"Jika kau sanggup, jagalah hatimu untuk kita. Suatu saat nanti aku akan kembali untuk meminangmu" Itulah ucapan terakhir yang Fadli ucapkan melalui amplope putih. Ungkapan suci sebelum detik-detik perpisahan itu tiba. Detik-detik dimana dia akan berlalu pergi untuk meninggalkan tanah kelahiran menuju negeri padang pasir, Yaman.

Kini semuanya telah usai. Begitupun dengan perihal penundaan rasa yang sudah sekian lama ia pendam.

Kini Fadlu sudah memiliki nama Baru. Ada tambahan Doctor di awal namanya. Ia sudah berhasil menamatkan S3 nya di Yaman.

Hari ini Fadli akan pulang menuju Indonesia. Pulang untuk menemui kekasih dalam doa dan tasbihnya. Seorang wanita yang selalu ia ceritakan kepada tuhan di sepertiga malam. Dialah Anna salsabilah.

Si burung besi mulai mengepakkan sayapnya. Dihiasi dengan bunyi suara dentuman mesin raksasa yang padat. Bergemuruh. Hingga membuat getaran kecil di atas permukaan tanah.

Pesawat yang berwarna putih biru itu mulai berlari. Menjejaki aspal hitam dengan kaki bundarnya. Semakin kencang. Semakin tajam dan melesat ke udara. Menerobos awan-awan putih yang berlapis lapis. Dan semakin anggun di udara.

Baca bagian kedua

Lihat cerita lainnya

Comments

Popular posts from this blog

ISIM MUFRAD, MUTSANNA, DAN JAMAK

TERNYATA KEBERADAAN TEMBOK YA'JUJ WA MA'JUJ ADA DI....

Kisah pertarungan burung srigunting vs elang siraja udara