Cerpen "Catatan hati seorang pengagum"
Tujuh tahun yang lalu. Di ujung bulan Mei, Ketika mentari pagi baru sejengkal meninggalkan tanah; aku, kau, mereka, dan juga dia, kita semua saling berteriak riang di halaman depan sekolah.
Meneriakkan hasil ujian nasional yang membanggakan. Tidak ada yang gagal. Kita semua lulus total. Termasuk juga dengan diriku, kau, dan juga dia.
Di ujung bulan Mei yang cerah itu, ada seberkas cerita yang tidak bisa aku lupakan.
Melihatmu tersenyum bahagia, rasanya sudah cukup untuk membalas cintaku yang tercuilkan olehmu. Begitulah pikirku. Akan tetapi, memang akulah yang salah. Dan memang akulah yang pengecut. Tak pernah bernyali perihal hati kepadamu.
Hingga karma pun datang berlaku menghukumku, menghukum seorang pengecut yang bersembunyi dengan perasaan nya sendiri.
Kau menarik pipiku. Dan kemudian menyalakan kamera untuk mengabadikan momen terakhir tentang kita di sekolah. Mengabadikan wajah kita yang lucu, yang berlumuran cerah oleh campuran cat yang berwarna-warni.
Dengan campuran tinta di wajahmu itu, kau terlihat jauh lebih cantik dari pada biasanya. Membuatku semakin kaku. Semakin kecut dan menyembunyikan rasa yang memberontak hebat ingin keluar. Aku tetap teguh dengan pendirianku. Selalu angkuh dan tak pernah mau mengungkapkan semuanya.
Namun, sepertinya kau kecewa. Wajahmu yang anggun itu mulai nampak memerah, cemberut kabut, tersipu malu oleh sikapku yang tak acuh kepadamu. Padahal kau butuh perhatian dan senyumanku, sebagai jawaban dari sebuah misteri yang mungkin selalu kau pertanyakan didalam hatimu.
Namun aku justru bermuram durja. Bagai wajah seorang raja penguasa yang bengis. Membuatmu takut dan menghindar.
Padahal semenjak pertama kali mengenalmu, di gerbang sekolah, sewaktu kita baru saja resmi menjadi siswa baru di sekolah itu, rasa ini sudah mulai bersemi indah di dalam kalbuku.
Namun, aku adalah seorang lelaki pendiam. Mendiamkan cintanya yang seharusnya di ungkapkan. Dan mungkin, seharusnya itulah peluang terbaik yang pernah kumiliki seumur hidup, dan kesempatan terakhirku untuk meluahkan semuanya. Namun, sekali lagi aku ini adalah seorang lelaki pendiam. Yang sudah terbiasa mengubur rasa dengan selimut perasaan.
Aku menyesal. Dan penyesalanku ini pun semakin memuncak ketika melihat dia menggenggam erat pergelangan tanganmu. Wajahmu yang merah kembali teduh. Berseri anggun menebar senyum. Menebarkan senyuman termanis untuknya. Seolah bagai pembalasan dendam dan hukuman kepadaku. Hingga membuatku tertunduk sayu ke bumi. Bersulam air bening yang mengalir kejam di celah wajah.
Entah mengapa asaku pudar. Dengan begitu mudahnya aku mengikhlaskanmu dimiliki olehnya. Dimiliki oleh seseorang lelaki yang belum pasti mencintaimu dengan tulus sepertiku.
Sejak hari itu, aku tak pernah lagi melihatmu. Sampai sekarang, wajahmu yang berlumuran tinta itulah yang masih membekas didalam ilusiku. Iya, kenangan sekecil itulah yang telah membawaku pergi sejauh ini.
Aku menghindar. Pergi menjauh. Ingin melupakanmu. Dan mengejar mimpiku di tanah Khilafah menghembuskan nafas terakhirnya. Turki.
Hari, bulan, dan tahun telah berlalu. Semuanya kulewati dengan separuh perasaan. Antara rindu dan mimpi. Dua-duanya berbaur akrab didalam hatiku.
Masih dalam satu musim yang sama, namun di waktu dan tempat yang berbeda.
Dipagi ini, dibawah langit yang cerah kota Istanbul, memory lama seakan kembali datang menghibas benakku. Memory tentang hari terakhir kita berada di sekolah.
Waktu seakan diputar kembali oleh Tuhan. Membuatku terjebak dan tak bisa lagi bersembunyi dibalik perasaan.
Lima menit yang lalu, ketika aku terburu-buru menuju ruangan kampus, ada suara yang memanggilku. Yang membuat benak ku ini seakan terasa kembali disiram oleh sejuta tebakan.
"Fatih...!" Begitulah seruan yang ku dengar dari belakang.
Hingga membuat kepala dan sekujur tubuhku inu berpaling melongak untuk mengikuti nya.
"Kau Fatih, kan?" Tanya wanita itu sembari menunjuk ku. Hidungnya mancung. Jilbab hitamnya membuat mulut dan mataku terbuka bagai takjub.
Ratusan lembaran kertas ditanganku langsung terjatuh. Berserakan di lantai. Tak kupedulikan. Aku hanya terpaku menatap wajahnya. Wajah yang sudah sekian lama ingin kulupakan. Namun justru semakin membuatku rindu.
Rasanya bagai mimpi. Bagaimana mungkin kau bisa sampai di kota yang penuh sejarah ini? Di negeri yang pernah membungkam seantero benua biru? Di negeri yang sebegitu jauhnya dengan rumahmu?
"Iya, namaku adalah Fatih" Suaraku masih sekaku dahulu sewaktu pertamakali berbicara denganmu. Seakan ingin memastikan bahwa lantai yang kujejaki itu bukanlah lantai di alam ilusi.
Benar, inilah realitanya. Real tanpa rekayasa. Dan nyata bukanlah mimpi.
"Masih ingat aku, kan? Aku Naisa, teman sekolahmu sewaktu di MA dulu?" Naisa membuka matanya dengan senyuman, seakan tengah berusaha untuk membawaku terbang mengenang kenangan dimasa sekolah.
"Iya, aku tahu. Namamu Naisa, kan? Naisa bin Abdul fikri" Aku sedikit mengoloknya.
Dia tersenyum mendengarku.
Dipagi yang cerah itu. Momen lama seakan diputar kembali oleh Tuhan. Seakan Dia ingin membayar ganti sesalku dahulu dengan buah kesabaran dan keihlasan yang telah aku lakukan.
Kau mengeluarkan kamera dari balik tas putih. Persis sama seperti kenangan dahulu. Lalu berdiri mendekatiku. Seakan ingin mengulang kembali masa-masa itu. Masa-masa yang tak sempat kita lakukan dimasa sekolah.
Aku sadar. Ternyata itu adalah peluang keduaku. Tuhan kembali menghadirkan momen yang sama agar aku bisa merubahnya. Mengganti sesalanku dengan sebuah peluang yang indah.
Aku menyambut manis senyumanmu. Dalam hitungan detik, belasan kali kilatan cahaya menyilaukan mataku. Dan hasilnya, peluang itu sudah berhasil kulakukan dengan baik.
Digambar tersebut, kau dan aku nampak romantis. Nampak ceria seakan baru saja melunaskan hutang yang sudah lama menunggak di benak kita.
Naisa kembali bertutur.
"Apakah kau ingat waktu terakhir kali kita bertemu?" Wajahnya sayu menatapku separuh menyelidik.
"Ya, momen tarakhir kali kita bertemu sudah diulang kembali oleh Tuhan" Aku tersenyum lega menatapnya. Tanpa ragu. Nyaliku seakan telah menjelma menjadi ribuan ganda.
Naisa tersenyum tipis. Seakan mengerti dengan ucapanku.
"Bagaimana kau bisa berada disini, Naisa?" Aku bertanya padanya.
Dia tersenyum tipis sebelum bercerita.
"Aku diutus oleh kampus untuk mengadakan penelitian akhir sebelum menyelesaikan gelar sarjana S2 ku . Namun ternyata semua ini bukanlah semata-mata hanya untuk mengejar hasil penelitian tersebut, ternyata Tuhan telah mengatur semuanya. "
"Aku tidak pernah menduga akan bertemu denganmu disini. Semenjak hari terakhir di sekolah, kau sudah terlalu sering masuk ke dalam ilusi tidurku. Hingga membuatku tak bisa berdusta, bahwa sejatinya hatiku ini telah lama memilihmu."
"Naisa.." Aku memotong pembicaraan nya. Dia menoleh, dan kemudian menatapku sayu penuh perasaan.
Dedaunan berjatuhan lembut tertiup angin. Suara berisik kesibukan kampus seakan lenyap begitu saja ditelinga kami. Di bawah pohon rindang halaman depan kampus itu, aku menjelma menjadi seorang lelaki yang tangguh.
"Aku mencintaimu, Naisa..." Telinga dan kepalaku ini terasa panas dingin setelah meluahkan kalimat tersebut. Namun hati dan benakku seakan terasa baru saja kehilangan beban yang menggunung. Lega.
Dia tersenyum menatapku dengan mata yang berbinar.
"Aku sudah tahu, Fatih" Naisa tersenyum sembari mengusir air matanya dengan jemari telunjuk.
"Maukah kau menikah denganku? Aku berjanji akan menjadi pemimpin yang baik untukmu, Naisa" Aku meluahkan isi hatiku untuk meyakinkan nya.
Dia semakin terharu. Isak tangisnya semakin menyayat hati.
"Aku tahu, Fatih.." Suaranya masih putus-putus dan terbata. Membuat bibirnya kelu.
Aku masih terdiam. Ikut terharu biru melihatnya.
"Fatih, kenapa baru sekarang kau mengungkapkan semuanya? Mengapa bukan dari dulu?" Naisa tersedu dengan pertanyaan nya.
"Dulu aku tak bernyali perihal hati kepadamu. Aku butuh waktu yang panjang untuk mengumpulkan keberanianku. Dan sekarang, aku rasa inilah waktu yang tepat aku meluahkan semuanya" Air mataku jatuh.
Semua isi hatiku ini telah kutumpahkan kepadanya. Namun Naisa masih meratap dengan tangisan sedunya. Menyayat hati.
"Fatih, aku juga mencintaimu..." Naisa kembali mengusir pergi air matanya dengan jemari telunjuk. Sementara aku masih terdiam bisu menyimaknya dengan sejuta harapan.
"Namun, aku akan berdosa bila mencintaimu, Fatih. Maafkan aku, karena aku telah menjadi seorang istri dari pria lain. Dan aku telah berjanji untuk selalu patuh dan setia kepadanya" Suara Naisa hampir lenyap di ujung kalimat.
Tanpa kusadari, air mataku ini semakin lebat mengguyur wajahku. Dadaku sesak. Hatiku remuk seakan baru saja ditikam oleh benda yang tajam.
Saat itu, pupuslah harapanku. Gugurlah mimpiku. Ternyata itu bukanlah kesempatan kedua, melainkan penjelasan dan jawaban dari kebodohanku dimasa lalu.
Pada akhirnya, aku masih tetap menjadi seorang lelaki pengecut yang dikalahkan oleh rasa malunya sendiri.
Aku adalah pria yang pengecut. Yang tak pernah bernyali perihal cinta.
Kini, hidupku semakin gelap. Hari-hariku seakan tanpa arti dan tujuan. Aku hanya bisa berharap, agar Tuhan benar-benar kembali memutarkan waktuNya untuk ku. Namun sepertinya itu mustahil.
Semoga cerita ini akan menjadi pelajaran untuk ku, untuk pembaca dan semuanya.
Jangan pernah menyembunyikan cinta, menunda perasaan. Karena bisa jadi itu adalah penentu akhir dari perjalanan hidupmu.
Jangan takut dan malu apabila cintamu di tolak. Karena itulah peluangmu. Dan kesempatan yang kau miliki sebelum kau menjadi seorang penyesal di kemudian hari.
Memang benar bahwa jodoh itu tidak akan kemana. Asal antum tahu, bahwa jodoh itu adalah rizki. Dan rizki itu harus dijemput dengan usaha dan pengorbanan.
Semoga cerita ini menjadi berkah dan manfaat untuk kita semua.
Amiin.
Comments
Post a Comment