PULAU HANTU PART 2
PART 2
Pagi telah tiba.
Setelah fajar menampakkan dirinya, aku memberanikan diri keluar setelah Aldi datang menghampiri tenda kami. Kami kemudian langsung memeriksa barang-barang yang tadi malamnya terdengar berisik di ganggu oleh orang yang tidak kami ketahui. Anehnya, barang-barang kami masih terlihat rapi seperti sedia kala.
Kami beralih ke tempat lain. Kami berjalan ke sekeliling tenda untuk mencari bekas pijakan kaki dari suara yang kami dengar tadi malam. Dan parahnya lagi, kami tidak juga menemukan satu bekas pun yang tersisa di atas pasir, walaupun hanya satu pijakan kaki. Semuanya nihil dan bersih.
Kami bertiga sepakat untuk tidak menceritakan kejadian tadi malam kepada siapapun, termasuk kepada 3 teman kami yang lain. Karena kami takut itu akan membuat mereka menjadi panik dan takut.
Waktu terus berjalan. Matahari sudah mulai keluar. Perlahan dia terus bergerak pelan naik ke langit. Kini jam telah menunjukkan pukul 9 pagi. Barulah Abin dan 2 orang teman kami yang lain terbangun dari tidur mereka.
"Tumben, kalian bertiga udah bangun duluan, biasanya kesiangan terus" Abin berseru menyapa kami dari balik pintu tenda. Sedangkan Mela dan Raysa sibuk mencuci muka.
Setelah itu, kami melanjutkan dengan sarapan pagi.
Kejadian semalam masih terlintas di dalam benakku. Sehingga membuat aku dan Ani sering melamun dan berbisik saling bertanya-tanya mengenai kejadian yang terjadi tadi malam. Akan tetapi, Aldi sering memberikan kode untuk menegur kami agar tidak lagi membahas kejadian tersebut. Sepertinya dia takut Abin, Mela, dan Raysa tahu, katlrena mereka pasti akan menjadi panik dan takut untuk tinggal di pulau tersebut.
Matahari mulai jatuh dari posisi tertingginya. Siang telah lama tiba, tinggal beberapa jam lagi, akan berganti sore, dan setelah itu dunia akan kembali gelap oleh malam. Jam menunjukkan pukul 13:00 siang.
Semenjak kejadian semalam, entah mengapa aku mendadak suka memandangi jam tanganku, karena aku lebih suka siang lebih panjang agar malam akan lambat datang membungkus langit. Namun waktu terasa cepat berlalu.
Kami menghabiskan hari kedua kami di pulau tersebut dengan berfoto. Membuat beberapa video cinematik menggunakan kamera. Tak ketinggalan, kami juga membuat video vlog di pulau tersebut untuk mengabadikan momen liburan kami.
Aku dan Ani berusaha terlihat sewajarnya, berusaha terlihat bahagia walaupun sebenarnya ada separuh rasa cemas dan takut yang membungkus hati kami. Yaitu cemas dan takut akan gelapnya malam yang akan segera tiba membungkus dunia dalam 2 jam ke depan.
"Udah, jangan dipikirin. Di manapun, pasti yang namanya makhluk halus itu ada, kan jumlah mereka jauh lebih banyak dari kita, manusia" Aldi tiba-tiba datang menghampiriku yang duduk sendiri sekitar 15 meter dari tenda.
Aku segera memasang muka datar. Seolah tak memikirkan kejadian tersebut lagi.
"Iya, sih. Tapi aku heran, kok suara itu banyak banget, malahan sudah hampir terdengar seperti pasar malam" Begitu balasku seraya tersenyum kecil.
Aldi pun tersenyum menanggapinya. "Kamu gak tidur? Tadi malamkan begadang sampe pagi?" Aldi sedikit menyipitkan matanya.
"Iya belum, nggak tahu nih, belum juga ngantuk" Begitu balasku dengan nada yang sedikit kesal.
Aldi pun sedikit tertawa kecil mendengarnya. Setelah itu, kami mengobrol banyak hal. Saling bercerita tentang pengalaman kuliah kami. Dan serunya, ternyata Aldi itu orangnya gak pendiem-pendiem amat. Malahan dia jauh lebih asyik di bandingkan dengan teman-temanku yang lain. Karena tutur bahasanya halus dan mudah di pahami.
Asyik ngobrol, tal terasa kini senja telah tiba. Namun ada yang berbeda di sore tersebut, senja tak terlihat mewah seperti kemaren. Karena awan tebal menghalangi cahayanya. Sepertinya malam ini hujan akan turun. Begitulah gemingku.
"Oo ya, nanti malam tolong jangan matiin hp nya, ya, kalau ada apa-apa nanti aku wa aja" Nada suaraku sedikit manja dan memohon kepada Aldi. Diapun tersenyum kecil menanggapi sambil mengangguk pelan.
"Guys, sepertinya malam ini kita harus pindah dan mendirikan tenda di dalam sana, karena sepertinya hujan akan turun di malam ini" Tanganku menunjuk ke arah hutan yang berdekatan dengan pantai. Jarak kami dengan hutan tersebut hanya terpaut sekitar 50 meter.
"Bener, sepertinya kuta harus pindah untuk malam ini saja, ya" Ani ikut berseru menyetujui pendapatku. Dan hasilnya, semua pun setuju. Kami segera memindahkan barang-barang ke dalam hutan terdekat.
Setelah semua tenda dan barang-barang selesai dipindahkan, maka kami mulai membersihkan rumput-rumput di halaman tenda kami. Sementara Aldi sibuk membuat pagar dari tali Rapia. Dia menghabiskan cukup banyak tali hanya untuk membuat pagar tersebut, sekitar 2 ikat tali. Lalu kemudian dia menambahkan daun-daun untuk menjadi dindingnya. Pagar itu sengaja ia buat bulat mengelingi tenda kami.
Di luar pagar tali tersebut, Aldi juga memasang tali pancing, lalu tali pancing itu tersambung dengan lonceng pancing yang dia letakkan di tengah-tengah halaman. Dekat tempat duduk api unggun. Sehingga apabila nanti tali itu di sentuh, maka kami akan mendengar lonceng pancing itu berdering seperti pancing yang di sambar ikan.
Abin dan Ani sibuk mengumpulkan kayu bakar yang banyak, seolah-olah terlihat seperti anak pramuka yang ingin menyalakan api unggun perpisahan yang besar. Baguslah, aku senang melihatnya. Karena berharap malam ini api tersebut akan menyala menerangi malam ini.
Hari mulai gelap. Kami mulai sibuk menyalakan api dan memasak.
Tak lama kemudian, api pun mulai menyala. Namun tak lama setelah itu hujan juga turun. Setelah makan malam, kami semua terpaksa membuat tenda darurat dari plastik yang sepanjang 5 meter untuk berteduh sambil mengobrol di halaman.
Di malam itu hujan turun dengan begitu lebat. Angin kencang juga berhembus, sehingga membuat tenda darurat kami terhuyung ke sana kemari. Tenda darurat itu tak bertahan lama, angin kencang berhasil merobohkannya. Sehingga api yang berada di bawah mulai redup, dan padam.
Kami memutuskan untuk pindah ke dalam tenda masing-masing.
Jam baru menunjukkan pukul 9 malam. Namun rasanya sudah seperti di tengah malam. Hawa dingin terasa menyengati kulit. Aku bahkan sampai mengecut kedinginan di dalam selimut.
Malam nampak kelam, kilatan petir sesekali terlihat mengkilat di dalam lautan. Angin masih berhembus. Sunyi dan mencekam, begitulah yang aku rasakan.
"Aku tidur dulu, ya, Ni" Aku segera meraih selimut, dan kemudian membungkus diri.
"Aku juga mau tidur, iiii..." Ani menyusulku dengan selimutnya.
Hujan masih lebat di luar. Sepertinya hujan ini tidak akan reda sampai pagi datang. Begitulah gemingku dalam hati. Aku mulai memejamkan mata.
Akan tetapi tiba-tiba saja hujan mendadak reda. Aku sedikit penasaran untuk memastikan, segera ku bangun dan duduk untuk memasang telinga.
"Iyaa, sudah reda" Begitu gemingku dalam hati.
"Guys, hujan nya udah reda, keluar, yuk" Abin berseru dari balik tendanya.
"Yee, ayookk...! Mela menyahut dengan nada senang.
Ani masih tertidur. Aku segera bangun dan keluar tenda mengenakkan jacket. Abin, Aldi, dan 2 orang temanku yang lain juga mulai keluar.
Kulihat jam sudah pukul 12 malam. Aneh, biasanya jam sekarang adalah jam biasa kami pamit tidur, namun sekarang justru terbalik.
"Dingin banget, ya, guys" Aku masih menaruh tangan dalam jacket.
"Tunggu bentar, ya, kita nyalakan lagi api nya" Aldi mulai mengatur posisi kayu bakar. Dan kemudian meniup bara yang masih tersisa.
Aku sibuk menerawang ke sekeliling pantai dengan senterku. Setelah itu beranjak ke dalam hutan. Kabut malam sudah turun. Kelihatannya mengerikan sekali, seperti nuansa kabut yang ada di film horor. Namun aku cepat-cepat menyingkirkan pikiran tersebut.
Sejauh ini, tidak ada yang aneh dan janggal menurutku. Tidak ada suara keributan orang asing seperti tadi malam. Kini aku merasa sedikit lega.
"Di, temanin aku bentar, yuk" Abin sedikit memohon.
"Mau kemana?" Tanya Aldi penuh selidik. Tangannya masih sibuk mengatur posisi kayu bakar.
"Gak tahan, nih, mau BAB" Abin menjawab dengan nada keluh.
"Pergi aja sana, penakut kali kau, Bin" Aldi sedikit merendahkan Abin.
"Eiiihh, aku gak berani, Di, aku takut sendiri" Abin semakin memohon.
Sontak kami semua yang mendengarnya langsung terpingkal. Yang lebih parah adalah Mela.
"Disini aja, Bin, kita timbun aja pake tanah, hahaha" Mela terbahak-bahak setelah mencemooh Abin.
Abin tidak menanggapi, dia hanya memicingkan bibir. Kesal.
Aldi dan Abin sudah pergi ke arah dalam hutan. Mereka terus berjalan. Kulihat jarak mereka dengan tenda mungkin hanya sekitar 50 meter kurang lebih.
Mela dan Raysa kembali melanjutkan pekerjaan Aldi yang belum selesai, aku juga ikut membantu. Menyalakan api.
"Ani mana, Ran? Tanya Raysa pelan.
"Tuh, dia masih tidur di tenda"
"Kenapa gak dibangunin aja?"
"Kasian, dia kan gak tidur seharian" Aku sibuk meniup api.
Dan akhirnya, api itu pun berhasil menyala.
"Abin! Abin! MAU KEMANA, KAU?" Aldi berteriak ke dalam hutan. Kemudian dia segera berlari ke dalam hutan.
Kami yang mendengarnya langsung bingung. Ada apa? Begitulah tanyaku.
"Ranti, Mel, ayo sini! Abin tiba-tiba lari ke hutan, gak tau kenapa..! Aldi berteriak dari kejauhan sambil berlari.
Kami segera bangun dari tempat duduk. Kaget.
"Ran, cepet bangunin, ani, cepat!" Mela mendesakku.
Aku langsung bergegas ke dalam tenda untuk membangunkan Ani. Ani sudah bangun. Dia panik.
"Aku takut, Ran" Ani memelukku erat.
"Gak usah takut, Ni, semua akan baik-baik saja, kok" Aku memeluknya erat. Menenangkannya.
Setelah mengambil senter di tenda, kami segera berlari ke hutan untuk mencari Abin dan Aldi. Jejak Aldi hampir lenyap, namun kami masih bisa melihat ada sedikit cahaya senternya dari balik celah-celah dedaunan.
"Aldi! Tunggu kami! Mela berteriak memanggil Aldi.
"Ayo cepat! Abin sudah jauh, cepat! Aldi berseru dari kejauhan. Setelah itu dia kembali berlari.
Kami semakin mempercepat langkah ke depan.
Aldi terlalu cepat, kami kehilangan jejaknya. Kini kami sudah berada di tengah hutan. Kami tidak tahu harus berjalan kemana.
"Iii, takut" Ani menangis sambil menggenggam tanganku.
"Gak usah takut, tenang aja, ya" Aku berusaha untuk menenangkannya.
"Jangan sampai kita berempat juga berpisah, ya. Kita harus tetap bersama, apapun yang akan terjadi" Aku mengingatkan Mela dan Raysa. Mereka pun membalasnya dengan anggukan setuju.
Kami terus berjalan ke dalam hutan. Kabut tebal berkeliaran di mana-mana. Cahaya senter kami tidak bisa berkerja maksimal, terhalang oleh kabut malam.
Entah suara burung apa itu yang kami dengar, burung itu berbunyi hanya sesekali.
"Tuuwwuuuuukk" begitu suaranya yang hanya terdengar sekitar 20 detik sekali. Yang lebih parahnya lagi, saat itu hujan kembali turun mengguyur tanah. Gerimis.
Kami berempat terus berjalan menembus gelap dan kabut. Pohon-pohon besar gumbuh di mana-mana. Di dalam hati kami tersimpan rasa takut dan cemas yang menggunung.
"Kita cari mereka besok aja, yuk. Sekarang masih gelap, hujan juga sudah turun, lebih baik kita menunggu di tenda aja" Raysa mulai mengeluh. Sepertinya Ani juga setuju dengan pendapat tersebut.
Namun, kami sudah terlalu jauh ke dalam hutan. Kami sudah tidak tahu lagi di manakah jalan untuk kembali ke pantai. Kabut membuat kami terjebak.
Aldi dan Abin sudah menghilang entah kemana. Aku sempat menyesal dalam hati. Lebih baik aku tidak bangun dan tidur nyenyak di tenda kalau tahu begini. Begitu gumamku dalam hati.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Kami masih terjebak dalam kabut yang tebal.
"Jangan bergerak! Tiba-tiba Ani berseru setengah berbisik.
Tatapan matanya masih tertuju ke depan. Ke dalam gelap di sela-sela pepohonan rimbun.
"Ada apa, Ani?" Aku bertanya pelan setengah penasaran.
"Ada yang tidak beres di sini, ayo kita pergi, cepet!" Ani memberontak ketakutan. Sepertinya ada sesuatu yang ia lihat di balik pohon dan semak-semak di depan.
Namun kami menahannya. Ani tiba-tiba menangis seperti anak kecil yang takut nonton film hantu.
"Di sana, dia berdiri menatap kita semua" Ani mendayu sambil mengarahkan telunjuknya ke depan.
Pada saat itu juga, tiba-tiba sekujur bulu romaku ini langsung berdiri.
Jantungku berdegup kencang. Entah kenapa tiba-tiba saja aku di serang oleh rasa takut dan ngeri yang dahsyat.
Mela yang biasanya berani kini mulai menarik diri ke belakang. Begitupun dengan Raysa.
"Di mana, Ni?" Raysa berbisik setengah cemas.
"Di sana" Ani hanya mengarahkan telunjuk tanpa mau menoleh.
"Tubuhnya besar, Ran, dia berbulu.." Ani menangis dalam pelukanku.
Mendengar kata tersebut, kami semua langsung mundur ke belakang.
Aku sempat menyorotkan senterku ke sana, namun aku tidak melihat apapun selain dari pada kabut dan pohon-pohon yang rindang.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
>> CERITA LAINNYA
Pagi telah tiba.
Setelah fajar menampakkan dirinya, aku memberanikan diri keluar setelah Aldi datang menghampiri tenda kami. Kami kemudian langsung memeriksa barang-barang yang tadi malamnya terdengar berisik di ganggu oleh orang yang tidak kami ketahui. Anehnya, barang-barang kami masih terlihat rapi seperti sedia kala.
Kami beralih ke tempat lain. Kami berjalan ke sekeliling tenda untuk mencari bekas pijakan kaki dari suara yang kami dengar tadi malam. Dan parahnya lagi, kami tidak juga menemukan satu bekas pun yang tersisa di atas pasir, walaupun hanya satu pijakan kaki. Semuanya nihil dan bersih.
Kami bertiga sepakat untuk tidak menceritakan kejadian tadi malam kepada siapapun, termasuk kepada 3 teman kami yang lain. Karena kami takut itu akan membuat mereka menjadi panik dan takut.
Waktu terus berjalan. Matahari sudah mulai keluar. Perlahan dia terus bergerak pelan naik ke langit. Kini jam telah menunjukkan pukul 9 pagi. Barulah Abin dan 2 orang teman kami yang lain terbangun dari tidur mereka.
"Tumben, kalian bertiga udah bangun duluan, biasanya kesiangan terus" Abin berseru menyapa kami dari balik pintu tenda. Sedangkan Mela dan Raysa sibuk mencuci muka.
Setelah itu, kami melanjutkan dengan sarapan pagi.
Kejadian semalam masih terlintas di dalam benakku. Sehingga membuat aku dan Ani sering melamun dan berbisik saling bertanya-tanya mengenai kejadian yang terjadi tadi malam. Akan tetapi, Aldi sering memberikan kode untuk menegur kami agar tidak lagi membahas kejadian tersebut. Sepertinya dia takut Abin, Mela, dan Raysa tahu, katlrena mereka pasti akan menjadi panik dan takut untuk tinggal di pulau tersebut.
Matahari mulai jatuh dari posisi tertingginya. Siang telah lama tiba, tinggal beberapa jam lagi, akan berganti sore, dan setelah itu dunia akan kembali gelap oleh malam. Jam menunjukkan pukul 13:00 siang.
Semenjak kejadian semalam, entah mengapa aku mendadak suka memandangi jam tanganku, karena aku lebih suka siang lebih panjang agar malam akan lambat datang membungkus langit. Namun waktu terasa cepat berlalu.
Kami menghabiskan hari kedua kami di pulau tersebut dengan berfoto. Membuat beberapa video cinematik menggunakan kamera. Tak ketinggalan, kami juga membuat video vlog di pulau tersebut untuk mengabadikan momen liburan kami.
Aku dan Ani berusaha terlihat sewajarnya, berusaha terlihat bahagia walaupun sebenarnya ada separuh rasa cemas dan takut yang membungkus hati kami. Yaitu cemas dan takut akan gelapnya malam yang akan segera tiba membungkus dunia dalam 2 jam ke depan.
"Udah, jangan dipikirin. Di manapun, pasti yang namanya makhluk halus itu ada, kan jumlah mereka jauh lebih banyak dari kita, manusia" Aldi tiba-tiba datang menghampiriku yang duduk sendiri sekitar 15 meter dari tenda.
Aku segera memasang muka datar. Seolah tak memikirkan kejadian tersebut lagi.
"Iya, sih. Tapi aku heran, kok suara itu banyak banget, malahan sudah hampir terdengar seperti pasar malam" Begitu balasku seraya tersenyum kecil.
Aldi pun tersenyum menanggapinya. "Kamu gak tidur? Tadi malamkan begadang sampe pagi?" Aldi sedikit menyipitkan matanya.
"Iya belum, nggak tahu nih, belum juga ngantuk" Begitu balasku dengan nada yang sedikit kesal.
Aldi pun sedikit tertawa kecil mendengarnya. Setelah itu, kami mengobrol banyak hal. Saling bercerita tentang pengalaman kuliah kami. Dan serunya, ternyata Aldi itu orangnya gak pendiem-pendiem amat. Malahan dia jauh lebih asyik di bandingkan dengan teman-temanku yang lain. Karena tutur bahasanya halus dan mudah di pahami.
Asyik ngobrol, tal terasa kini senja telah tiba. Namun ada yang berbeda di sore tersebut, senja tak terlihat mewah seperti kemaren. Karena awan tebal menghalangi cahayanya. Sepertinya malam ini hujan akan turun. Begitulah gemingku.
"Oo ya, nanti malam tolong jangan matiin hp nya, ya, kalau ada apa-apa nanti aku wa aja" Nada suaraku sedikit manja dan memohon kepada Aldi. Diapun tersenyum kecil menanggapi sambil mengangguk pelan.
"Guys, sepertinya malam ini kita harus pindah dan mendirikan tenda di dalam sana, karena sepertinya hujan akan turun di malam ini" Tanganku menunjuk ke arah hutan yang berdekatan dengan pantai. Jarak kami dengan hutan tersebut hanya terpaut sekitar 50 meter.
"Bener, sepertinya kuta harus pindah untuk malam ini saja, ya" Ani ikut berseru menyetujui pendapatku. Dan hasilnya, semua pun setuju. Kami segera memindahkan barang-barang ke dalam hutan terdekat.
Setelah semua tenda dan barang-barang selesai dipindahkan, maka kami mulai membersihkan rumput-rumput di halaman tenda kami. Sementara Aldi sibuk membuat pagar dari tali Rapia. Dia menghabiskan cukup banyak tali hanya untuk membuat pagar tersebut, sekitar 2 ikat tali. Lalu kemudian dia menambahkan daun-daun untuk menjadi dindingnya. Pagar itu sengaja ia buat bulat mengelingi tenda kami.
Di luar pagar tali tersebut, Aldi juga memasang tali pancing, lalu tali pancing itu tersambung dengan lonceng pancing yang dia letakkan di tengah-tengah halaman. Dekat tempat duduk api unggun. Sehingga apabila nanti tali itu di sentuh, maka kami akan mendengar lonceng pancing itu berdering seperti pancing yang di sambar ikan.
Abin dan Ani sibuk mengumpulkan kayu bakar yang banyak, seolah-olah terlihat seperti anak pramuka yang ingin menyalakan api unggun perpisahan yang besar. Baguslah, aku senang melihatnya. Karena berharap malam ini api tersebut akan menyala menerangi malam ini.
Hari mulai gelap. Kami mulai sibuk menyalakan api dan memasak.
Tak lama kemudian, api pun mulai menyala. Namun tak lama setelah itu hujan juga turun. Setelah makan malam, kami semua terpaksa membuat tenda darurat dari plastik yang sepanjang 5 meter untuk berteduh sambil mengobrol di halaman.
Di malam itu hujan turun dengan begitu lebat. Angin kencang juga berhembus, sehingga membuat tenda darurat kami terhuyung ke sana kemari. Tenda darurat itu tak bertahan lama, angin kencang berhasil merobohkannya. Sehingga api yang berada di bawah mulai redup, dan padam.
Kami memutuskan untuk pindah ke dalam tenda masing-masing.
Jam baru menunjukkan pukul 9 malam. Namun rasanya sudah seperti di tengah malam. Hawa dingin terasa menyengati kulit. Aku bahkan sampai mengecut kedinginan di dalam selimut.
Malam nampak kelam, kilatan petir sesekali terlihat mengkilat di dalam lautan. Angin masih berhembus. Sunyi dan mencekam, begitulah yang aku rasakan.
"Aku tidur dulu, ya, Ni" Aku segera meraih selimut, dan kemudian membungkus diri.
"Aku juga mau tidur, iiii..." Ani menyusulku dengan selimutnya.
Hujan masih lebat di luar. Sepertinya hujan ini tidak akan reda sampai pagi datang. Begitulah gemingku dalam hati. Aku mulai memejamkan mata.
Akan tetapi tiba-tiba saja hujan mendadak reda. Aku sedikit penasaran untuk memastikan, segera ku bangun dan duduk untuk memasang telinga.
"Iyaa, sudah reda" Begitu gemingku dalam hati.
"Guys, hujan nya udah reda, keluar, yuk" Abin berseru dari balik tendanya.
"Yee, ayookk...! Mela menyahut dengan nada senang.
Ani masih tertidur. Aku segera bangun dan keluar tenda mengenakkan jacket. Abin, Aldi, dan 2 orang temanku yang lain juga mulai keluar.
Kulihat jam sudah pukul 12 malam. Aneh, biasanya jam sekarang adalah jam biasa kami pamit tidur, namun sekarang justru terbalik.
"Dingin banget, ya, guys" Aku masih menaruh tangan dalam jacket.
"Tunggu bentar, ya, kita nyalakan lagi api nya" Aldi mulai mengatur posisi kayu bakar. Dan kemudian meniup bara yang masih tersisa.
Aku sibuk menerawang ke sekeliling pantai dengan senterku. Setelah itu beranjak ke dalam hutan. Kabut malam sudah turun. Kelihatannya mengerikan sekali, seperti nuansa kabut yang ada di film horor. Namun aku cepat-cepat menyingkirkan pikiran tersebut.
Sejauh ini, tidak ada yang aneh dan janggal menurutku. Tidak ada suara keributan orang asing seperti tadi malam. Kini aku merasa sedikit lega.
"Di, temanin aku bentar, yuk" Abin sedikit memohon.
"Mau kemana?" Tanya Aldi penuh selidik. Tangannya masih sibuk mengatur posisi kayu bakar.
"Gak tahan, nih, mau BAB" Abin menjawab dengan nada keluh.
"Pergi aja sana, penakut kali kau, Bin" Aldi sedikit merendahkan Abin.
"Eiiihh, aku gak berani, Di, aku takut sendiri" Abin semakin memohon.
Sontak kami semua yang mendengarnya langsung terpingkal. Yang lebih parah adalah Mela.
"Disini aja, Bin, kita timbun aja pake tanah, hahaha" Mela terbahak-bahak setelah mencemooh Abin.
Abin tidak menanggapi, dia hanya memicingkan bibir. Kesal.
Aldi dan Abin sudah pergi ke arah dalam hutan. Mereka terus berjalan. Kulihat jarak mereka dengan tenda mungkin hanya sekitar 50 meter kurang lebih.
Mela dan Raysa kembali melanjutkan pekerjaan Aldi yang belum selesai, aku juga ikut membantu. Menyalakan api.
"Ani mana, Ran? Tanya Raysa pelan.
"Tuh, dia masih tidur di tenda"
"Kenapa gak dibangunin aja?"
"Kasian, dia kan gak tidur seharian" Aku sibuk meniup api.
Dan akhirnya, api itu pun berhasil menyala.
"Abin! Abin! MAU KEMANA, KAU?" Aldi berteriak ke dalam hutan. Kemudian dia segera berlari ke dalam hutan.
Kami yang mendengarnya langsung bingung. Ada apa? Begitulah tanyaku.
"Ranti, Mel, ayo sini! Abin tiba-tiba lari ke hutan, gak tau kenapa..! Aldi berteriak dari kejauhan sambil berlari.
Kami segera bangun dari tempat duduk. Kaget.
"Ran, cepet bangunin, ani, cepat!" Mela mendesakku.
Aku langsung bergegas ke dalam tenda untuk membangunkan Ani. Ani sudah bangun. Dia panik.
"Aku takut, Ran" Ani memelukku erat.
"Gak usah takut, Ni, semua akan baik-baik saja, kok" Aku memeluknya erat. Menenangkannya.
Setelah mengambil senter di tenda, kami segera berlari ke hutan untuk mencari Abin dan Aldi. Jejak Aldi hampir lenyap, namun kami masih bisa melihat ada sedikit cahaya senternya dari balik celah-celah dedaunan.
"Aldi! Tunggu kami! Mela berteriak memanggil Aldi.
"Ayo cepat! Abin sudah jauh, cepat! Aldi berseru dari kejauhan. Setelah itu dia kembali berlari.
Kami semakin mempercepat langkah ke depan.
Aldi terlalu cepat, kami kehilangan jejaknya. Kini kami sudah berada di tengah hutan. Kami tidak tahu harus berjalan kemana.
"Iii, takut" Ani menangis sambil menggenggam tanganku.
"Gak usah takut, tenang aja, ya" Aku berusaha untuk menenangkannya.
"Jangan sampai kita berempat juga berpisah, ya. Kita harus tetap bersama, apapun yang akan terjadi" Aku mengingatkan Mela dan Raysa. Mereka pun membalasnya dengan anggukan setuju.
Kami terus berjalan ke dalam hutan. Kabut tebal berkeliaran di mana-mana. Cahaya senter kami tidak bisa berkerja maksimal, terhalang oleh kabut malam.
Entah suara burung apa itu yang kami dengar, burung itu berbunyi hanya sesekali.
"Tuuwwuuuuukk" begitu suaranya yang hanya terdengar sekitar 20 detik sekali. Yang lebih parahnya lagi, saat itu hujan kembali turun mengguyur tanah. Gerimis.
Kami berempat terus berjalan menembus gelap dan kabut. Pohon-pohon besar gumbuh di mana-mana. Di dalam hati kami tersimpan rasa takut dan cemas yang menggunung.
"Kita cari mereka besok aja, yuk. Sekarang masih gelap, hujan juga sudah turun, lebih baik kita menunggu di tenda aja" Raysa mulai mengeluh. Sepertinya Ani juga setuju dengan pendapat tersebut.
Namun, kami sudah terlalu jauh ke dalam hutan. Kami sudah tidak tahu lagi di manakah jalan untuk kembali ke pantai. Kabut membuat kami terjebak.
Aldi dan Abin sudah menghilang entah kemana. Aku sempat menyesal dalam hati. Lebih baik aku tidak bangun dan tidur nyenyak di tenda kalau tahu begini. Begitu gumamku dalam hati.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Kami masih terjebak dalam kabut yang tebal.
"Jangan bergerak! Tiba-tiba Ani berseru setengah berbisik.
Tatapan matanya masih tertuju ke depan. Ke dalam gelap di sela-sela pepohonan rimbun.
"Ada apa, Ani?" Aku bertanya pelan setengah penasaran.
"Ada yang tidak beres di sini, ayo kita pergi, cepet!" Ani memberontak ketakutan. Sepertinya ada sesuatu yang ia lihat di balik pohon dan semak-semak di depan.
Namun kami menahannya. Ani tiba-tiba menangis seperti anak kecil yang takut nonton film hantu.
"Di sana, dia berdiri menatap kita semua" Ani mendayu sambil mengarahkan telunjuknya ke depan.
Pada saat itu juga, tiba-tiba sekujur bulu romaku ini langsung berdiri.
Jantungku berdegup kencang. Entah kenapa tiba-tiba saja aku di serang oleh rasa takut dan ngeri yang dahsyat.
Mela yang biasanya berani kini mulai menarik diri ke belakang. Begitupun dengan Raysa.
"Di mana, Ni?" Raysa berbisik setengah cemas.
"Di sana" Ani hanya mengarahkan telunjuk tanpa mau menoleh.
"Tubuhnya besar, Ran, dia berbulu.." Ani menangis dalam pelukanku.
Mendengar kata tersebut, kami semua langsung mundur ke belakang.
Aku sempat menyorotkan senterku ke sana, namun aku tidak melihat apapun selain dari pada kabut dan pohon-pohon yang rindang.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
>> CERITA LAINNYA
Comments
Post a Comment