CERITA MISTERI HUTAN LADANG KARET PART 7
PART 7
"AAAAaaaa...!"
Suara Logi terdengar semakin dekat, tebakanku sekitar 50 meter lagi di depan.
Pak Witan terus berlari di posisi paling depan, sementara aku dan Mardian masih juga tetap mengekor dari belakang.
Tiba-tiba Pak Witan berhenti, serentak aku dan Mardian-pun juga ikut berhenti.
"Awas! Pelan-pelan! Ini ada jembatan kayu! Seru Pak Witan kepada kami dengan nada keras. Untunglah saat itu kami sudah berhenti. Kamipun melanjutkan dengan berjalan pelan ke arah beliau.
"Lihat di bawah sana, ada sungai! Kata Pak Witan seraya menunjuk.
Kamipun segera menoleh. Benar, ternyata dibawah sana ada sungai yang selebar 10 meter. Jembatan itu cukup tinggi, jarak antara jembatan tersebut dengan permukaan sungai mungkin sekitar 15 meter. Jarak yang setinggi itu cukup membuat aku dan Mardian sedikit ragu untuk menyeberanginya.
Air sungai itu nampak keruh. Namun alirannya nampak pelan sekali, tidak juga begitu berisik. Kata orang, sungai yang diam itu bisa menghanyutkan. Kami harus berhati-hati.
Tanpa aba-aba si hitam malah sudah berlari pelan menyeberangi jembatan, aku tidak bisa lagi menahannya, karena posisinya cukup jauh dari jangkauan tanganku.
Aku kemudian melemparkan lampu oborku itu ke seberang jembatan, dalam sekejap semua pun dapat terlihat dengan jelas. Ternyata di seberang sana ada sedikit takah anak tangga yang naik. Dan di atas sana, terlihat pula sebuah lorong yang mengarah jauh ke dalam sana.
"Bagaimana? Begitu tanyaku kepada Pak Witan.
"Kita harus menyeberanginya satu persatu" begitu jawab beliau.
Mardian mengambil posisi paling depan, sepertinya dia akan menjadi orang pertama yang akan menyeberangi jembatan tersebut.
Dia mulai berpegangan pada gagang jembatan yang sudah lapuk dimakan ulat, lalu kemudian dengan pelan melangkahkan kaki. Dia terlihat sangat teliti dan berhati-hati, karena bila sedikit saja dia salah injak, maka dia akan jatuh kedalam sungai.
Kini Mardian sudah hampir sampai di bagian tengah jembatan, sementara aku malah berdiri sambil menggigit jari. Aku benar-benar tegang pada saat itu. Sedikit demi sedikit, akhirnya Mardianpun berhasil sampai di ujung jembatan dengan selamat.
Selanjutnya adalah giliran Pak Witan, kali ini perasaanku malah terasa lebih tegang daripada saat pertama, karena jelas-jelas postur tubuh Pak Witan lebih besar daripada postur tubuh Mardian. Akan tetapi, Pak Witan yang melewatinya malah terlihat lebih santai tanpa ragu, aneh, kok aku yang malah berlebihan.
Kini tiba pula giliranku. Perlahan kulangkahkan kaki, tangan kananku erat menggenggam gagang jembatan yang terbuat dari kayu yang kini telah berlubang-lubang dimakan ulat. Penuh ragu aku berjalan, selangkah demi selangkah terus aku ayunkan. Tatapan mataku fokus mencari tempat terbaik untuk menginjakkan kaki.
Aku pun berhasil menyeberanginya.
"Ayo, cepat! Anjing kakekmu sudah jauh tuh" Kata Pak Witan seraya memicingkan mulut, menunjuk. Kamipun kembali melanjutkan perjalanan.
Terlihat ada sekitar belasan takah anak tangga yang mengarah naik. Kami mulai menginjakkan kaki disitu. Aku masih berada di posisi paling belakang sembari memegang obor yang tadinya kulempar. Udara di ruangan seberang sungai ini terasa panas, hingga membuatku sampai beberapa kali membersihkan muka.
"Logi...! Logi..! Mardian berteriak memanggil temannya yang entah dimana keberadaanya. Namun tak ada suara sahutan yang terdengar menjawab. Yang ada hanyalah gemaan suaranya yang malah memantul hingga ke ujung lorong sana yang gelap.
Kami terus berjalan penuh selidik. Dasar jalan di lorong tersebut terbuat dari tanah dan debu-debu halus yang mudah melayang. Entah sudah berapa lama tempat ini tak dikunjungi oleh manusia. Begitulah gemingku dalam hati.
Tentang suara teriakan yang tadinya kami dengar, sampai sekarang malah sudah menghilang entah kemana. Aku merasa janggal dan separuh lagi merinding. Karena tempat ini benar-benar kumuh dan berantakan, entah kenapa aku malah berpikir pemandangan itu terlihat seperti yang ada di film-film horor.
Dindingnya dipenuhi retak, lumut-lumut bertebaran di dinding, akar-akar pohon yang entah darimana asalnya menjuntai di dinding-dinding ruangan. Tidak ada makhluk hidup yang terlihat bahkan semut dan cicak sekalipun. Tempat ini benar-benar sunyi dan jauh dari kehidupan.
Si hitam semakin jauh di depan, kini jaraknya mungkin hampir mencapai 50 meter dari kami. Kamipun sedikit mempercepat langkah untuk mengikutinya.
Gelap, sunyi dan mencekam. Begitulah yang aku rasakan. Kami terus berjalan mengikuti lorong kumuh itu yang entah berantah. Ragu takut dan cemas terus bergemuruh di dalam hati kami. Apakah kami akan berhasil menemukan Logi dan ataukah sebaliknya kami malah tersesat dan terjebak di dalam lorong yang gelap ini? Itulah yang mengusik benakku.
Kulihat jam sudah menunjukkan hampir pukul 6 pagi. Namun sampai pada detik ini kami belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Logi. Bahkan Mardian sampai menawarkan diri untuk keluar dari ruangan tersebut demi mencari bantuan kepada penduduk setempat. Namun itu adalah sebuah ide yang sangat berbahaya menurut kami, karena kami sudah tidak tahu lagi dimanakah jalan keluar dari bangunan tersebut. Karena kami sudah terlalu jauh berjalan entah kemana.
Si hitam sudah semakin jauh dan hampir tak terlihat lagi. Aku kemudian memanggilnya untuk kembali, namun percuma. Si hitam sudah menghilang dari pandangan kami entah kemana.
"Aku duluan ya! Kataku seraya berlari ke arah depan untuk mencari si hitam.
Pak Witan dan Mardian juga sedikit mempercepat laju kakinya untuk menyusulku.
"HUuuu...
"HHuuu..
Begitulah caraku berteriak memanggil anjing kakekku. Namun dia tidak menyahutinya. Ini benar-benar aneh sekali, biasanya sekali saja ku panggil si hitam langsung berlari ke arahku, namun ini sudah 8 kali ku panggil akan tetapi dia belum juga muncul untuk menampakkan dirinya.
Aku terus berlari dengan oborku yang mulai mengecil. Jarakku dan Pak Witan mungkin sudah terpaut sekitar 50 meter lebih.
"HHuuu...
"HHuuu..
Itu adalah panggilanku yang ke sembilan kalinya. Namun lagi-lagi percuma. Sepertinya si hitam benar-benar sudah menghilang dan luput dari jangkauan kamu. Akupun memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi lorong sembari menunggu Pak Witan dan Mardian tiba.
Mereka cukup jauh di belakang, jarak kami mungkin sudah terpaut sekitar 200 meter lebih. Pak Witan dan Mardian nampak berlari untuk mempercepat langkah mereka. Sementara aku duduk menunggu sambil menyingkirkan keringat.
Pada saat yang bersamaan pula, tiba-tiba aku mendengar ada suara gonggongan si hitam. Suaranya terdengar pelan sekali, sepertinya suara tersebut berasal dari tempat yang jauh. Entah dimana.
Aku tidak bisa mendengarnya lebih jelas, karena suara tersebut sedikit terhalang oleh suara pijakan kaki Pak Witan dan Mardian yang sedang berlari ke arahku. Dan kini, merekapun sudah tiba di dekatku.
"Coba dengar! Aku berkata setengah berisik dengan tatapan horor. Pak Witan dan Mardian terdiam sejenak menahan nafas untuk menyelidik.
Suara itu kembali terdengar, dan kali ini sedikit lebih jelas dari pada sebelumnya.
"Di depan sana, ayok! Pak Witan langsung bergerak, begitupun dengan kami.
"HHuuu... Hhuuu..."
Aku kembali memanggil si hitam. Anehnya suara itu malah menghilang dan lenyap.
Kami terus berjalan ke arah depan sembari memasang telinga dan mata penuh waspada.
"Huuuaaaaccrrrhhhh...
"Huuuwaaccrrhhh...
Suara auman tersebut mendadak menghentak jangtung kami, terdengar nyaring dan menyeramkan. Aku bahkan hampir tidak bisa lagi menggerakkan kakiku untuk berjalan. Begitupun dengan Mardian. Mental kami benar-benar sudah tergoncang hebat. Namun sepertinya Pak Witan masih bertahan penuh waspada.
"Persiapkan senjatamu, Mardian" Pak Witan berbisik pelan, menandakan situasi ini sudah berada pada tingkat bahaya dan darurat.
Mardian mengangguk pelan dan kembali mengumpulkan serpihan keberaniannya yang sempat hancur. Dan kini dia sudah kembali seperti semula.
"Keluarkan golokmu, Rai" Mardian mengingatkanku. Aku langsung mengeluarkannya.
Kami terus berjalan pelan. Berhati-hati dan hampir tak terdengar. Cara jalan kami sudah macam para para prajurit yang sedang menjalankan misi rahasia.
Hening, senyap. Tidak ada yang terdengar selain dari pada suara jantungku yang berdetak. Aku belum pernah setegang ini seumur hidupku.
"BBUUUUWWHHHH...!
Suara itu muncul dari arah belakangku. Aku bahkan sampai melompat lari terkejut. Mardian dan Pak Witan juga tidak kalah kagetnya. Pak Witan bahkan mendadak jadi orang latah yang menjerit kaget. Mardian seperti orang yang kesetrum.
Melihat gaya dan ekspresi kaget mereka sebenarnya membuat tawaku hampir meledak, namun sepertinya itu bukanlah waktu yang tepat untuk tertawa.
"Suara apa itu? Tanya Mardian dengan nada panik.
Aku tidak menjawabnya, aku masih sibuk menoleh kebelakang dengan senterku untuk mencari tahu.
"Mungkin itu adalah suara jembatan yang runtuh" Begitu kata Pak Witan memecah kebingungan kami.
"Haah! Nanti kita pulang gimana? Mardian memekik dengan nada panik
"Kita cari aja jalan lain" Pak Witan berkata santai, seolah tak peduli dengan kejadian tersebut. Beliau kembali berjalan ke arah depan. Dan kamipun segera menyusul beliau.
Mardian tampak masih kesal dan khawatir mengenai kejadian tersebut. Namun aku segera menenangkannya. Kamipun melanjutkan perjalanan.
Pada waktu itu, mendadak ada suara si hitam yang menyalak di depan. Suara itu terdengar pelan sekali. Kami terus mengikutinya penuh selidik. Kami mempercepat langkah agar tidak lagi kehilangan jejak.
Sekitar 40 meter berlari, tiba-tiba kami mendapati suara itu malah berada di sanping kanan kami. Akan tetapi anehnya tidak ada apapun yang ada di sebelah kanan kami melainkan dinding lorong yang terbuat dari tanah kerang.
Suara anjing kakekku masih terdengar nyaring sekali.
"Cari lubang, anjing kakekmu berada di balik tembok ini" Pak Witan mulai men
Meriksa dengan senternya. Tak ketinggalan juga aku dan Mardian.
"Disini, cepat!" Mardian sedikit berteriak.
Kami segera mendekat untuk menyelidik. Dan benar, ternyata ada sebuah pintu rahasia yang sebesar 2 kali pintu ayam yang masih tertutup oleh penyumbatnya yang terbuat dari batu. Kami harus menyingkirkan batu tersebut agar bisa masuk ke dalam ruangan yang ada di balik tembok.
Si hitam masih menyalak di dalam, sepertinya dia tahu bahwa kami berada di balik dinding tersebut.
Mardian mulai memasukkan jarinya kedalam celah pintu batu tersebut, dan kemudian mulai menariknya dengan sekuat tenaga. Batu itu cukup besar dan berat. Tingginya sekitar 40 cm, dan lebarnya pun juga sekitar 40 cm. Akhirnya, Mardian pun berhasil menarik batu tersebut.
Terdengarlah suara si hitam semakin jelas. Aku kemudian segera masuk ke dalam pintu tersebut dengan cara tiarap ala tentara. Setelah itu disusul oleh dua orang temanku.
Setibanya aku di dalam ruangan tersebut, yang pertamakali kucari adalah si hitam. Aku berdiri dengan senterku, lalu menerawang ke segala arah. Si hitam masih menggonggong, namun aku belum bisa juga menemukan dimanakah keberadaanya.
Ternyata pintu kecil itu berada di tengah-tengah persimpangan lorong. Satu lorong mengarah ke depan, dan dua lorong lain berada di arah samping kiri dan kananku. Ada tiga lorong yang berada di depanku.
Kini, Pak Witan dan Mardian juga sudah berhasil masuk. Kami bertiga masih bingung menatap lorong-lorong yang ada di depan kami.
Pada saat itu juga, si hitam kembali menyalak, suaranya itu terdengar dari arah loring kanan. Tanpa aba-aba lagi, kami semua serentak berjalan ke arah yang sama.
Sekitar 20 meter berjalan menyusuri lorong tersebut melengkung ke kiri, ada sebuah ruangan penjara yang terbuat dari besi. Didalam penjara itulah si hitam berada.
Melihat kehadiran kami, dia nampak lega dan senang. Dia tidak lagi menggonggong seperti tadi, akan tetapi malah diam sambil menggerakkan ekornya.
Pintu itu terkunci, akan tetapi kuncinya bisa dibuka dengan cara ditarik. Itulah yang aku lakukan. Menarik kunci tersebut, lalu membuka pintu penjara, dan si hitam pun langsung berlari keluar. Aku langsung memeluknya.
"Aneh, tidak mungkin anjing ini bisa masuk sendiri kedalam ruangan ini, pasti ada orang lain yang sengaja mengurungnya" Pak Witan berbicara dengan nada yang penuh curiga. Tatapannya matanya horor. Sepertinya ada yang tidak beres di tempat ini.
Kamipun segera berjalan untuk mencari Logi sekaligus juga mencari jalan keluar.
Beberapa menit berjalan, tiba-tiba muncul bayangan hitam yang begitu cepat melompat dari atas sebelah kiri menyerang Pak Witan, beruntung saja Pak Witan berhasil menyingkir. Makhluk itu kembali menyerang beliau dengan suara yang mengerang seperti orang yang kerasukan.
Aku lansung melompat dengan golokku, si hitam juga tak mau tinggal diam. Namun tiba-tiba Mardian malah berteriak keras dari belakang.
"Jangan..! Itu Logi, Ray..!
Sontak aku langsung berhenti dan mematung. Ternyata benar, itu adalah Logi.
Akan tetapi yang membuatku bingung ialah kenapa dia malah menyerang kami?
Dan kenapa dengan wajahnya itu? Merah penuh darah, seakan Dia sengaja mengoleskan darah ke wajahnya.
Pak Witan kembali ke belakang. Mardian langsung maju ke depan untuk menyadarkan temannya itu yang sudah macam orang gila yang kehilangan akal sehatnya.
"Logi.. Ini aku, Mardian"
"Logi.... Logi..
Mardian meninggikan nada suaranya. Namun Logi tidak menjawab. Dia masih berdiri menatap Mardian dengan ekspresi buas. Seakan Mardian itu adalah orang yang paling dia benci.
"Logi...
"Ini aku, temanmu Mardian!
Logi malah menyerang Mardian dengan tinjunya. Pukulan itu tepat mengenai wajah Mardian, hingga diapun langsung jatuh ke tanah. Melihat hal tersebut, amarahku mendadak naik macam api yang disiram bensin. Aku langsung melompat kedepan, dan kemudian melayangkan pukulan pertamaku ke wajah Logi. Aku berhasil mengenainya, namun anehnya pukulanku itu seakan tak berarti apa-apa baginya.
Dia kembali membalas seranganku itu dengan tinjunya, namun aku berhasil menghindari serangan tersebut. Aku langsung membalasnya dengan tendangan, dan itu tepat mengenai perutnya.
Lalu si hitam datang menyerang kaki logi, Logi pun mengerang keras seperti orang yang kerasukan setan. Saat itulah aku langsung melompat ke bagian belakang, dan kemudian mengunci kedua tangannya di bagian belakang.
"Cepat! Ikat tangannya Pak Witan! Aku berteriak. Pak Witan langsung melompat dan mengikat tangan Logi dengan baju jacketnya. Dan syukurlah kamipun berhasil mengikatnya. Kini Logi sudah tidak bisa lagi menyerang kami. Dan kami juga bisa dengan leluasa untuk menyadarkannya
Logi terua memberontak untuk melepaskan diri. Wajahnya benar-benar berantakan. Merah penuh darah.
"Makhluk itu telah mempengaruhi Logi, sehingga membuatnya tidak sadarkan diri"
"Terus kita harus gimana?" Mardian sedikit panik sembari mengusap pipi kirinya yang sedikit bengkak.
"Kalian bawa air putih? Tanya Pak Witan.
Kami hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Baiklah, tolong pegang dia, jangan sampai dia memberontak.
Pak Witan kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya. Sepertinya itu adalah bawang merah dan putih. Juga ada sirih dan kemenyang.
Lalu kemudian beliau mulai berdoa. Membaca ayat kursi, surah tiga kul fan juga ayat seribu dinar.
Setelah itu beliau kemudian mengoleskan bawang merah dan putih bagian atas kepala Logi. Logi langsung mengerang keras. Memberontak ingin melepaskan dirinya. Namun aku dan Mardian sudah bersiap dengan sekuat tenaga menahannya.
Kemudian beliau menguyah sirih, dan menyemprotnya di bagian kepala Logi. Dan yang terakhir, beliau kemudian menyalakan kemenyang, kemudian mencubit-cubit dan menekan ujung-ujung jemari Logi dengan keras.
Setelah itu beliau menutup doa beliau dengan bacaan hamdallah. Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Logi yang tadinya galak itu langsung diam dan tertidur.
Ada begitu banyak luka yang ada di tubuh Logi. Punggungnya nampak sedikit robek. Lengan kanannya juga terluka. Ada begitu banyak darah merah yang mengalir di tubuhnya. Mardian bahkan sampai melepaskan jacket untuk membalut luka-luka tersebut.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DI SINI..
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
"AAAAaaaa...!"
Suara Logi terdengar semakin dekat, tebakanku sekitar 50 meter lagi di depan.
Pak Witan terus berlari di posisi paling depan, sementara aku dan Mardian masih juga tetap mengekor dari belakang.
Tiba-tiba Pak Witan berhenti, serentak aku dan Mardian-pun juga ikut berhenti.
"Awas! Pelan-pelan! Ini ada jembatan kayu! Seru Pak Witan kepada kami dengan nada keras. Untunglah saat itu kami sudah berhenti. Kamipun melanjutkan dengan berjalan pelan ke arah beliau.
"Lihat di bawah sana, ada sungai! Kata Pak Witan seraya menunjuk.
Kamipun segera menoleh. Benar, ternyata dibawah sana ada sungai yang selebar 10 meter. Jembatan itu cukup tinggi, jarak antara jembatan tersebut dengan permukaan sungai mungkin sekitar 15 meter. Jarak yang setinggi itu cukup membuat aku dan Mardian sedikit ragu untuk menyeberanginya.
Air sungai itu nampak keruh. Namun alirannya nampak pelan sekali, tidak juga begitu berisik. Kata orang, sungai yang diam itu bisa menghanyutkan. Kami harus berhati-hati.
Tanpa aba-aba si hitam malah sudah berlari pelan menyeberangi jembatan, aku tidak bisa lagi menahannya, karena posisinya cukup jauh dari jangkauan tanganku.
Aku kemudian melemparkan lampu oborku itu ke seberang jembatan, dalam sekejap semua pun dapat terlihat dengan jelas. Ternyata di seberang sana ada sedikit takah anak tangga yang naik. Dan di atas sana, terlihat pula sebuah lorong yang mengarah jauh ke dalam sana.
"Bagaimana? Begitu tanyaku kepada Pak Witan.
"Kita harus menyeberanginya satu persatu" begitu jawab beliau.
Mardian mengambil posisi paling depan, sepertinya dia akan menjadi orang pertama yang akan menyeberangi jembatan tersebut.
Dia mulai berpegangan pada gagang jembatan yang sudah lapuk dimakan ulat, lalu kemudian dengan pelan melangkahkan kaki. Dia terlihat sangat teliti dan berhati-hati, karena bila sedikit saja dia salah injak, maka dia akan jatuh kedalam sungai.
Kini Mardian sudah hampir sampai di bagian tengah jembatan, sementara aku malah berdiri sambil menggigit jari. Aku benar-benar tegang pada saat itu. Sedikit demi sedikit, akhirnya Mardianpun berhasil sampai di ujung jembatan dengan selamat.
Selanjutnya adalah giliran Pak Witan, kali ini perasaanku malah terasa lebih tegang daripada saat pertama, karena jelas-jelas postur tubuh Pak Witan lebih besar daripada postur tubuh Mardian. Akan tetapi, Pak Witan yang melewatinya malah terlihat lebih santai tanpa ragu, aneh, kok aku yang malah berlebihan.
Kini tiba pula giliranku. Perlahan kulangkahkan kaki, tangan kananku erat menggenggam gagang jembatan yang terbuat dari kayu yang kini telah berlubang-lubang dimakan ulat. Penuh ragu aku berjalan, selangkah demi selangkah terus aku ayunkan. Tatapan mataku fokus mencari tempat terbaik untuk menginjakkan kaki.
Aku pun berhasil menyeberanginya.
"Ayo, cepat! Anjing kakekmu sudah jauh tuh" Kata Pak Witan seraya memicingkan mulut, menunjuk. Kamipun kembali melanjutkan perjalanan.
Terlihat ada sekitar belasan takah anak tangga yang mengarah naik. Kami mulai menginjakkan kaki disitu. Aku masih berada di posisi paling belakang sembari memegang obor yang tadinya kulempar. Udara di ruangan seberang sungai ini terasa panas, hingga membuatku sampai beberapa kali membersihkan muka.
"Logi...! Logi..! Mardian berteriak memanggil temannya yang entah dimana keberadaanya. Namun tak ada suara sahutan yang terdengar menjawab. Yang ada hanyalah gemaan suaranya yang malah memantul hingga ke ujung lorong sana yang gelap.
Kami terus berjalan penuh selidik. Dasar jalan di lorong tersebut terbuat dari tanah dan debu-debu halus yang mudah melayang. Entah sudah berapa lama tempat ini tak dikunjungi oleh manusia. Begitulah gemingku dalam hati.
Tentang suara teriakan yang tadinya kami dengar, sampai sekarang malah sudah menghilang entah kemana. Aku merasa janggal dan separuh lagi merinding. Karena tempat ini benar-benar kumuh dan berantakan, entah kenapa aku malah berpikir pemandangan itu terlihat seperti yang ada di film-film horor.
Dindingnya dipenuhi retak, lumut-lumut bertebaran di dinding, akar-akar pohon yang entah darimana asalnya menjuntai di dinding-dinding ruangan. Tidak ada makhluk hidup yang terlihat bahkan semut dan cicak sekalipun. Tempat ini benar-benar sunyi dan jauh dari kehidupan.
Si hitam semakin jauh di depan, kini jaraknya mungkin hampir mencapai 50 meter dari kami. Kamipun sedikit mempercepat langkah untuk mengikutinya.
Gelap, sunyi dan mencekam. Begitulah yang aku rasakan. Kami terus berjalan mengikuti lorong kumuh itu yang entah berantah. Ragu takut dan cemas terus bergemuruh di dalam hati kami. Apakah kami akan berhasil menemukan Logi dan ataukah sebaliknya kami malah tersesat dan terjebak di dalam lorong yang gelap ini? Itulah yang mengusik benakku.
Kulihat jam sudah menunjukkan hampir pukul 6 pagi. Namun sampai pada detik ini kami belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Logi. Bahkan Mardian sampai menawarkan diri untuk keluar dari ruangan tersebut demi mencari bantuan kepada penduduk setempat. Namun itu adalah sebuah ide yang sangat berbahaya menurut kami, karena kami sudah tidak tahu lagi dimanakah jalan keluar dari bangunan tersebut. Karena kami sudah terlalu jauh berjalan entah kemana.
Si hitam sudah semakin jauh dan hampir tak terlihat lagi. Aku kemudian memanggilnya untuk kembali, namun percuma. Si hitam sudah menghilang dari pandangan kami entah kemana.
"Aku duluan ya! Kataku seraya berlari ke arah depan untuk mencari si hitam.
Pak Witan dan Mardian juga sedikit mempercepat laju kakinya untuk menyusulku.
"HUuuu...
"HHuuu..
Begitulah caraku berteriak memanggil anjing kakekku. Namun dia tidak menyahutinya. Ini benar-benar aneh sekali, biasanya sekali saja ku panggil si hitam langsung berlari ke arahku, namun ini sudah 8 kali ku panggil akan tetapi dia belum juga muncul untuk menampakkan dirinya.
Aku terus berlari dengan oborku yang mulai mengecil. Jarakku dan Pak Witan mungkin sudah terpaut sekitar 50 meter lebih.
"HHuuu...
"HHuuu..
Itu adalah panggilanku yang ke sembilan kalinya. Namun lagi-lagi percuma. Sepertinya si hitam benar-benar sudah menghilang dan luput dari jangkauan kamu. Akupun memutuskan untuk berhenti sejenak di tepi lorong sembari menunggu Pak Witan dan Mardian tiba.
Mereka cukup jauh di belakang, jarak kami mungkin sudah terpaut sekitar 200 meter lebih. Pak Witan dan Mardian nampak berlari untuk mempercepat langkah mereka. Sementara aku duduk menunggu sambil menyingkirkan keringat.
Pada saat yang bersamaan pula, tiba-tiba aku mendengar ada suara gonggongan si hitam. Suaranya terdengar pelan sekali, sepertinya suara tersebut berasal dari tempat yang jauh. Entah dimana.
Aku tidak bisa mendengarnya lebih jelas, karena suara tersebut sedikit terhalang oleh suara pijakan kaki Pak Witan dan Mardian yang sedang berlari ke arahku. Dan kini, merekapun sudah tiba di dekatku.
"Coba dengar! Aku berkata setengah berisik dengan tatapan horor. Pak Witan dan Mardian terdiam sejenak menahan nafas untuk menyelidik.
Suara itu kembali terdengar, dan kali ini sedikit lebih jelas dari pada sebelumnya.
"Di depan sana, ayok! Pak Witan langsung bergerak, begitupun dengan kami.
"HHuuu... Hhuuu..."
Aku kembali memanggil si hitam. Anehnya suara itu malah menghilang dan lenyap.
Kami terus berjalan ke arah depan sembari memasang telinga dan mata penuh waspada.
"Huuuaaaaccrrrhhhh...
"Huuuwaaccrrhhh...
Suara auman tersebut mendadak menghentak jangtung kami, terdengar nyaring dan menyeramkan. Aku bahkan hampir tidak bisa lagi menggerakkan kakiku untuk berjalan. Begitupun dengan Mardian. Mental kami benar-benar sudah tergoncang hebat. Namun sepertinya Pak Witan masih bertahan penuh waspada.
"Persiapkan senjatamu, Mardian" Pak Witan berbisik pelan, menandakan situasi ini sudah berada pada tingkat bahaya dan darurat.
Mardian mengangguk pelan dan kembali mengumpulkan serpihan keberaniannya yang sempat hancur. Dan kini dia sudah kembali seperti semula.
"Keluarkan golokmu, Rai" Mardian mengingatkanku. Aku langsung mengeluarkannya.
Kami terus berjalan pelan. Berhati-hati dan hampir tak terdengar. Cara jalan kami sudah macam para para prajurit yang sedang menjalankan misi rahasia.
Hening, senyap. Tidak ada yang terdengar selain dari pada suara jantungku yang berdetak. Aku belum pernah setegang ini seumur hidupku.
"BBUUUUWWHHHH...!
Suara itu muncul dari arah belakangku. Aku bahkan sampai melompat lari terkejut. Mardian dan Pak Witan juga tidak kalah kagetnya. Pak Witan bahkan mendadak jadi orang latah yang menjerit kaget. Mardian seperti orang yang kesetrum.
Melihat gaya dan ekspresi kaget mereka sebenarnya membuat tawaku hampir meledak, namun sepertinya itu bukanlah waktu yang tepat untuk tertawa.
"Suara apa itu? Tanya Mardian dengan nada panik.
Aku tidak menjawabnya, aku masih sibuk menoleh kebelakang dengan senterku untuk mencari tahu.
"Mungkin itu adalah suara jembatan yang runtuh" Begitu kata Pak Witan memecah kebingungan kami.
"Haah! Nanti kita pulang gimana? Mardian memekik dengan nada panik
"Kita cari aja jalan lain" Pak Witan berkata santai, seolah tak peduli dengan kejadian tersebut. Beliau kembali berjalan ke arah depan. Dan kamipun segera menyusul beliau.
Mardian tampak masih kesal dan khawatir mengenai kejadian tersebut. Namun aku segera menenangkannya. Kamipun melanjutkan perjalanan.
Pada waktu itu, mendadak ada suara si hitam yang menyalak di depan. Suara itu terdengar pelan sekali. Kami terus mengikutinya penuh selidik. Kami mempercepat langkah agar tidak lagi kehilangan jejak.
Sekitar 40 meter berlari, tiba-tiba kami mendapati suara itu malah berada di sanping kanan kami. Akan tetapi anehnya tidak ada apapun yang ada di sebelah kanan kami melainkan dinding lorong yang terbuat dari tanah kerang.
Suara anjing kakekku masih terdengar nyaring sekali.
"Cari lubang, anjing kakekmu berada di balik tembok ini" Pak Witan mulai men
Meriksa dengan senternya. Tak ketinggalan juga aku dan Mardian.
"Disini, cepat!" Mardian sedikit berteriak.
Kami segera mendekat untuk menyelidik. Dan benar, ternyata ada sebuah pintu rahasia yang sebesar 2 kali pintu ayam yang masih tertutup oleh penyumbatnya yang terbuat dari batu. Kami harus menyingkirkan batu tersebut agar bisa masuk ke dalam ruangan yang ada di balik tembok.
Si hitam masih menyalak di dalam, sepertinya dia tahu bahwa kami berada di balik dinding tersebut.
Mardian mulai memasukkan jarinya kedalam celah pintu batu tersebut, dan kemudian mulai menariknya dengan sekuat tenaga. Batu itu cukup besar dan berat. Tingginya sekitar 40 cm, dan lebarnya pun juga sekitar 40 cm. Akhirnya, Mardian pun berhasil menarik batu tersebut.
Terdengarlah suara si hitam semakin jelas. Aku kemudian segera masuk ke dalam pintu tersebut dengan cara tiarap ala tentara. Setelah itu disusul oleh dua orang temanku.
Setibanya aku di dalam ruangan tersebut, yang pertamakali kucari adalah si hitam. Aku berdiri dengan senterku, lalu menerawang ke segala arah. Si hitam masih menggonggong, namun aku belum bisa juga menemukan dimanakah keberadaanya.
Ternyata pintu kecil itu berada di tengah-tengah persimpangan lorong. Satu lorong mengarah ke depan, dan dua lorong lain berada di arah samping kiri dan kananku. Ada tiga lorong yang berada di depanku.
Kini, Pak Witan dan Mardian juga sudah berhasil masuk. Kami bertiga masih bingung menatap lorong-lorong yang ada di depan kami.
Pada saat itu juga, si hitam kembali menyalak, suaranya itu terdengar dari arah loring kanan. Tanpa aba-aba lagi, kami semua serentak berjalan ke arah yang sama.
Sekitar 20 meter berjalan menyusuri lorong tersebut melengkung ke kiri, ada sebuah ruangan penjara yang terbuat dari besi. Didalam penjara itulah si hitam berada.
Melihat kehadiran kami, dia nampak lega dan senang. Dia tidak lagi menggonggong seperti tadi, akan tetapi malah diam sambil menggerakkan ekornya.
Pintu itu terkunci, akan tetapi kuncinya bisa dibuka dengan cara ditarik. Itulah yang aku lakukan. Menarik kunci tersebut, lalu membuka pintu penjara, dan si hitam pun langsung berlari keluar. Aku langsung memeluknya.
"Aneh, tidak mungkin anjing ini bisa masuk sendiri kedalam ruangan ini, pasti ada orang lain yang sengaja mengurungnya" Pak Witan berbicara dengan nada yang penuh curiga. Tatapannya matanya horor. Sepertinya ada yang tidak beres di tempat ini.
Kamipun segera berjalan untuk mencari Logi sekaligus juga mencari jalan keluar.
Beberapa menit berjalan, tiba-tiba muncul bayangan hitam yang begitu cepat melompat dari atas sebelah kiri menyerang Pak Witan, beruntung saja Pak Witan berhasil menyingkir. Makhluk itu kembali menyerang beliau dengan suara yang mengerang seperti orang yang kerasukan.
Aku lansung melompat dengan golokku, si hitam juga tak mau tinggal diam. Namun tiba-tiba Mardian malah berteriak keras dari belakang.
"Jangan..! Itu Logi, Ray..!
Sontak aku langsung berhenti dan mematung. Ternyata benar, itu adalah Logi.
Akan tetapi yang membuatku bingung ialah kenapa dia malah menyerang kami?
Dan kenapa dengan wajahnya itu? Merah penuh darah, seakan Dia sengaja mengoleskan darah ke wajahnya.
Pak Witan kembali ke belakang. Mardian langsung maju ke depan untuk menyadarkan temannya itu yang sudah macam orang gila yang kehilangan akal sehatnya.
"Logi.. Ini aku, Mardian"
"Logi.... Logi..
Mardian meninggikan nada suaranya. Namun Logi tidak menjawab. Dia masih berdiri menatap Mardian dengan ekspresi buas. Seakan Mardian itu adalah orang yang paling dia benci.
"Logi...
"Ini aku, temanmu Mardian!
Logi malah menyerang Mardian dengan tinjunya. Pukulan itu tepat mengenai wajah Mardian, hingga diapun langsung jatuh ke tanah. Melihat hal tersebut, amarahku mendadak naik macam api yang disiram bensin. Aku langsung melompat kedepan, dan kemudian melayangkan pukulan pertamaku ke wajah Logi. Aku berhasil mengenainya, namun anehnya pukulanku itu seakan tak berarti apa-apa baginya.
Dia kembali membalas seranganku itu dengan tinjunya, namun aku berhasil menghindari serangan tersebut. Aku langsung membalasnya dengan tendangan, dan itu tepat mengenai perutnya.
Lalu si hitam datang menyerang kaki logi, Logi pun mengerang keras seperti orang yang kerasukan setan. Saat itulah aku langsung melompat ke bagian belakang, dan kemudian mengunci kedua tangannya di bagian belakang.
"Cepat! Ikat tangannya Pak Witan! Aku berteriak. Pak Witan langsung melompat dan mengikat tangan Logi dengan baju jacketnya. Dan syukurlah kamipun berhasil mengikatnya. Kini Logi sudah tidak bisa lagi menyerang kami. Dan kami juga bisa dengan leluasa untuk menyadarkannya
Logi terua memberontak untuk melepaskan diri. Wajahnya benar-benar berantakan. Merah penuh darah.
"Makhluk itu telah mempengaruhi Logi, sehingga membuatnya tidak sadarkan diri"
"Terus kita harus gimana?" Mardian sedikit panik sembari mengusap pipi kirinya yang sedikit bengkak.
"Kalian bawa air putih? Tanya Pak Witan.
Kami hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Baiklah, tolong pegang dia, jangan sampai dia memberontak.
Pak Witan kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya. Sepertinya itu adalah bawang merah dan putih. Juga ada sirih dan kemenyang.
Lalu kemudian beliau mulai berdoa. Membaca ayat kursi, surah tiga kul fan juga ayat seribu dinar.
Setelah itu beliau kemudian mengoleskan bawang merah dan putih bagian atas kepala Logi. Logi langsung mengerang keras. Memberontak ingin melepaskan dirinya. Namun aku dan Mardian sudah bersiap dengan sekuat tenaga menahannya.
Kemudian beliau menguyah sirih, dan menyemprotnya di bagian kepala Logi. Dan yang terakhir, beliau kemudian menyalakan kemenyang, kemudian mencubit-cubit dan menekan ujung-ujung jemari Logi dengan keras.
Setelah itu beliau menutup doa beliau dengan bacaan hamdallah. Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Logi yang tadinya galak itu langsung diam dan tertidur.
Ada begitu banyak luka yang ada di tubuh Logi. Punggungnya nampak sedikit robek. Lengan kanannya juga terluka. Ada begitu banyak darah merah yang mengalir di tubuhnya. Mardian bahkan sampai melepaskan jacket untuk membalut luka-luka tersebut.
>> BACA KELANJUTAN CERITANYA DI SINI..
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
>> CERITA LAINNYA
Aihh udh mulai masuk adegan berdarah aja,serem
ReplyDelete